Ulil Abshar-Abdalla (UAA):
Sent: Saturday, December 14, 2002 11:59
PM
Subject: Wahyu itu non-hisoris dan hitoris sekaligus!
Pak Nur yang
baik,
Semula saya enggan menanggapi posting-posting anda, karena nadanya
yang
memperlihatkan seolah-olah andalah pemegang kebenaran mutlak,
dan
menempatkan saya sebagai pihak yang sudah pasti salah (ini sangat
tidak
sesuai dengan "adabul khilaf" yang dikenal dalam tradisi pemikiran
Islam
klasik); juga kata-kata "kasar" yang anda pakai membuat saya
agak
sedikit ogah-ogahan untuk membuat tanggapan balik. Pelan-pelan
anda
mulai menggunakan bahasa yang sopan, sehingga saya mulai percaya
bahwa
anda menghendaki suatu "mujadalah billati hiya ahsan". Islam itu
agama
rahmat, jadi jangan dibuat seram dan menakutkan, seperti yang
dilakukan
oleh Abu Bakar Ba'asyir dan kawan-kawannya itu (anda setuju
dia?).
Saya hendak mencicil dengan menanggapi sedikit demi sedikit
keberatan
anda pada pemikiran saya. Pokok soal yang anda ulang-ulang terus
adalah
bahwa pernyataan saya tentang adanya pengaruh kultur Arab dalam
ajaran
Islam anda anggap sebagai penghinaan atas Allah. Saya tidak tahu,
dari
mana anda berkesimpulan seperti itu. Kalau saya tidak setuju
dengan
pendapat seseorang mengenai Islam, saya tidak akan mengatakan
bahwa
orang itu telah menghna Allah; sebab, siapakah yang tahu kehendak
Allah
secara persis. Kalau saya tidak sepakat dengan pendapat anda dalam
hal
"pengaruh kebudayaan Arab dalam ajaran Islam," dan kemudian karena
itu
anda mengatakan bahwa saya telah menghina Allah, maka yang
terjadi
adalah: seolah-olah anda mengetahui dengan persis kehendak Allah;
lebih
celaka lagi, seolah-olah anda mau meletakkan pendapat anda setara
dengan
"Tuhan" itu sendiri, sehingga orang-orang yang berlawanan
dengan
pendapat anda sama dengan melawan Allah. Cara berargumen yang
sehat
adalah: jika anda tak setuju dengan penafsiran seseorang atas
Islam,
kemukakan kritik dan argumentasi anda, tetapi tidak usah menuduh
bahwa
lawan diskusi anda, misalnya, telah keluar dari "manhaj" Islam,
telah
menghina Allah, menghina Rasul, menghina Islam. Kalau mau jujur,
saya
mau katakan: bukan melawan Allah, tetapi melawan pendapat anda
sendiri.
Dan janganlah "GR" bahwa pendapat anda adalah mewakili seluruh
kebenaran
Islam.
Anda mentakan bahwa, "Budaya bersumber dari akar yang
historis,
sedangkan wahyu sumbernya non-historis yaitu Allah SWT." Oke, itu
adalah
pemahaman anda, bukan gambaran dari kebenaran Islam itu sendiri.
Saya
tak tahu, dari mana anda mempunyai kesmpulan seperti itu.
Pandangan
seperti itu meletakkan seolah-olah antara "budaya" dan "wahyu"
adalah
saling bertentangan. Sumber wahyu memang "non-historis", tetapi
ketika
Allah hendak berbicara dengan manusia melalui Rasul-Nya, maka
Allah
menggunakan peralatan yang "historis" untuk bisa menyampaikan
pesan
kepada manusia. Qur'an sendir berfirman, "wa likullin ja'alna
minkum
syir'atan wa minhaja," masing-masing umat suatu rasul diberikan
syari'at
dan "manhaj" yang sesuai dengan kondisi sosial mereka
masing-masing.
Artinya, wahyu dan firman Tuhan mewujudkan diri melalui bahasa
budaya
lokal. Itulah sebabnya, Qur'an turun secara "tadarruj", gradual,
karena
Allah tidak bisa mengabaikan begitu saja konteks historis yang
ada.
Bagaimana mungkin Allah yang "non-historis" berbicara dengan
manusia
yang "historis" kalau tidak menggunakan piranti-piranti kultural
yang
historis. Contoh kongkret: karena Qur'an turun di tanah Arab,
maka
dengan sendirinya wahyu Allah turun dengan menggunakan piranti
kultural
yang historis, yaitu bahasa Arab, "Inna anzalnahu qur'anan
'arabyyan
la'allaku ta'qilun". Karena Qur'an turun dalam bahasa Arab,
maka
struktur linguistik Arab jelas mempegaruhi ajaran Islam itu
sendiri.
Kalau anda mengikuti studi-studi linguistik modern (karena studi
ini
berkembang di Barat, mungkin anda tak mau terima ya? Barat kan
"kafir"),
maka dengan jelas diperlihatkan bahwa sesungguhnya bahasa bukan
sekedar
deretan kalimat, tetapi juga "pandangan dunia". Jadi, karena wahyu
Islam
turun dalam bahasa Arab, maka "pandangan dunia" orang Arab
jelas
mempengaruhi ajaran Islam. Dengan mengatakan ini, saya tidak
sedang
menghina Allah. Di mana menghinanya? Kalau Allah menggunakan bahasa
Arab
(sesuatu "yang historis") untuk berkomunikasi dengan orang Arab,
apakah
Allah menghina dirinya sendiri? Pendapat anda bahkan tidak pernah
saya
temukan dalam tradisi kajian hukum Islam klasik yang paling
konservatif
pun. Di kalangan juris Islam, pengaruh budaya atas ajaran Islam
itu
diakui sebagai sesuatu yang absah. Itulah sebabnya ada diktum "al
'adah
muhakkamah", adat masyarakat bisa dijadikan sumber hukum Islam.
Artinya:
hukum Islam itu dipengaruhi oleh kultur setempat. Apanya yang
salah
dengan fakta semacam ini. Contoh anda tentang "fil", gajah, dan
unta
sangat superfisial dan tidak relevan, juga tidak jelas arahnya ke
mana.
Anda juga mengatakan, "Artinya menurut uaa-jil-kiuk ==> "Ada
wahyu yang
dipengaruhi kultur Arab", itu sudah menghina Allah SWT. Artinya
juga ==>
uaa bervisi "Al Quran tidak murni terdiri atas wahyu, sebab
ada
sebahagian yang dipengaruhi kultur Arab. Artinya ==> uaa
telah
mendustakan Nabi Muhammad SAW. ==> uua telah melebihi ghulam ahmad,
nabi
palsu dari India itu. Sebab ? ghulam ahmad walaupun mengaku
menerima
wahyu, masih mengakui bahwa Al Quran itu murni dari
wahyu."
Sekali lagi, kalau saya berbeda pandangan dengan anda, anda tidak
usah
menempatkan diri sejajar dengan Nabi Muhammad, sehingga
berlawanan
dengan pendapat anda sama dengan mendustakan Nabi. Kalau wahyu
tidak
dipengaruhi oleh budaya lokal, kenapa setiap datang Nabi baru,
sebagian
ajaran Nabi sebelumnya dibatalkan? Alasannya jelas: setiap Nabi
membawa
wahyu yang sesuai dengan kondisi historis yang dihadapinya;
wahyu,
dengan demikian, dikondisikan oleh konteks yang historis. Wahyu
ada
"dalam" sejarah manusia, bukan di "luar" sejarah manusia. Anda
akan
mengatakan bahwa Qur'an adalah wahyu terakhir, sehingga
hukum-hukumnya
tidak akan mungkin dibatalkan oleh ajaran lain; sebab setelah
Qur'an
tidak ada wahyu lagi. Saya setuju bahwa Qur'an adalah wahyu
terakhir;
tetapi apa sih yang disebut dengan "hukum Qur'an" itu? Osamah ben
Laden,
meniru Hasan Al Banna, melontarkan semboyan yang ditiru oleh
pengikutnya
Abu Bakar Ba'asyir di sini, "Al Qur'an dusturuna," Qur'an
adalah
undang-undang kami, konstitusi kami. Itulah landasan orang-orang
yang
ingin menegakkan syari'at Islam. Apa sih yang disebut hukum Qur'an
itu?
Qur'an memang panduan dan "guide" bagi kehidupan umat Islam (hudan
lin
nas), tetapi dia bukan kitab hukum. Teks-teks Qur'an bisa
ditafsirkan
secara berbeda-beda oleh para ulama dan sarjana. Ambil contoh:
apakah
bunga bank itu adalah "riba" seperti yang dimaksud oleh Qur'an,
dan
kerana itu haram? Ayatnya memang jelas, "wa ahallahul bai'a wa
harramar
riba." Tetapi "riba" didefenisikan secara berbeda-beda oleh
ulama,
sehingga status bunga bank-pun diperselisihkan. Kalau ada hukum
Qur'an
dalam soal bunga bank, maka pertanyaannya: manakah pendapat yang
paling
sesuai dengan hukum Qur'an, pendapat yang menghalalkan
atau
mengharamkan. Apakah orang yang menghalalkan bunga bank adalah
menghina
Qur'an, Allah, dan Nabi? Soal riba ini juga memperlihatkan
bahwa
sebetulnya wahyu Qur'an itu sangat dipengaruhi oleh budaya
Arab
setempat. Sebab, istilah "riba" itu memang sudah ada dalam
masyarakat
Arab saat itu; pengertian mengenai "riba" seperti disebut Qur'an
juga
merujuk kepada bagaimana istilah itu dimengerti oleh masyarakat
Arab.
Karena pengertian "riba" dalam Qur'an terkait dengan penggunaannya
dalam
masyarakat Arab maka para ulama modern berbeda pendapat: apakah
bunga
bank termasuk dalam pengertian "riba" dalam Qur'an itu.
Contoh
lain: penggambaran sorga dalam Qur'an jelas sekali dipengaruhi
oleh
"ekspektasi" yang khas Arab terhadap apa yang disebut dengan
"jannah" atau
kebun (sorga). Qur'an menggambarkan sorga sebagai
"mengalir di bawahnya
sungai-sungai". Dalam surah Al Ghasyiyah
dikatakan, "fiha 'ainun jariyah,
fiha sururun marfu'ah, wa akwabun
maudlu'ah, wa namariqu mashfufah, wa
zarabiyyu mabtsutsah.......". Sorga
dalam surah Al Ghasyuyah ini persis
seperti bayangan orang-orang Arab
mengenai istana raja-raja yang mereka kenal
pada saat itu. Apakah sorga
seperti itu? Kalau anda berandangan literalistik,
dan beranggapan bahwa
sorga ya seperti digambarkan Qur'an itu, maka sorga
semacam itu hanyalah
sorganya orang Arab. Kalau anda mengatakan: ya itu kan
ilustrasi saja
agar orang Arab paham, maka anda telah menempuh suatu metode
penafsiran
yang dalam tradisi tasawwuf disebut "ta'wil", yaitu memahami
kalimat
bukan berdasarkan makana lahiriahnya, tetapi berdasarkan
esensi
"esoterik" (bathin)-nya. Metode "ta'wil" inilah yang saya pakai
untuk
memahami ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum pidana dan yang
lain.
Menurut saya: qishash, rajam, dan lain-lain itu adalah
cara
menerjemahkan nilai dasar Islam tentang "perlindungan nyawa
dan
keturunan" yang merupakan bagian dari "al kulliyyatul khamsah"
dalam
cara yang sesuai dengan kultur Arab saat itu. Qishash tidak wajib
kita
ikuti, yang wajib kita ikuti adalah nilai esensial yang ada di
baliknya.
Umat Islam diwajibkan untuk berijtihad untuk mencari
kerangka
kelembagaan agar nilai esensial tentang "perlindungan nyawa" itu
bisa
terwujud dalam kehidupan yang kongkret. Itulah ta'wil. Dan
janganlah
anda kalau tak seutuju dengan pendapat ini langsung mengecapnya
sebagai
"menghina Allah".
Kalau saya mau meradikalkan pendapat saya,
maka saya akan mengatakan:
bahwa wahyu tidak bisa tidak kecuali dipengaruhi
oleh budaya setempat.
Sebab wahyu sebagai "kehendak" Allah harus memakai
"baju" yang kongkret,
yaitu kultur masyarakat yang ada. Kalau wahyu adalah
sepenuhnya
"non-historis', maka dia akan seperti "hantu" yang melayang-layang
tanpa
tubuh (Ini tamsil saja Pak, jangan "diambil hati" lalu anda
simpulkan
lagi sebagai menghina Allah dan Qur'an; jangan mudah beranggapan
begitu
ah....ndak baik). Jadi, struktur wahyu itu adalah begini:
Pesan
universal (seperti tersimpan dalam "Loh Mahfudz") -----> Kultur
setempat
(sebagai "baju") = wahyu
Kita hanya diwajibkan untuk mengikuti pesan
universalnya, bukan "baju"
tempat pesan itu menemukan wadahnya. Jadi, bukan
qishash atau rajam atau
jilbab yang wajib diikuti, tetapi nilai-nilai yang
ada di baliknya.
Bagaimana nilai-nilai itu diterjemahkan kedalam kehidupan
kongkret, itu
terserah kepada ijtihad
manusia.
Salam,
ulil
H. M. Nur Abdurrahman
(HMNA):
Assalamu 'alaykum wr.wb.
Pertama-tama kita sepakati dahulu
mengenai term budaya/kultur, atau
kalau tidak bisa sepakat sekurang-kurangnya
anda sudah faham apa yang
saya maksud dengan budaya, singkatnya budaya itu
adalah 'produk" akal
manusia itulah yang saya maksud dengan kebudayaan itu
sumbernya
historis, artinya lahir oleh sejarah pertumbuhan hasil
budi-daya
manusia. Wahyu itu non historis, karena wahyu itu tidak dilahirkan
oleh
sejarah. Dari sinilah saya bertitik tolak untuk "menyalahkan" visi
anda
yang mengatakan "Ada wahyu yang dipengaruhi kultur Arab".
Artinya
menurut persepsi saya berdasar atas pengertian istilah "pengaruh"
==>
yang dipengaruhi itu posisinya dibawah dari yang mempengaruhi.
Oleh
sebab itu visi Ada wahyu yang dipengaruhi kultur Arab, bukankah
itu
sudah jelas bahwa posisi kultur Arab itu "mengatasi" wahyu? ==>
Artinya
kebudayaan yang produk akal manusia itu posisinya mengatasi wahyu
yang
bersumber dari Allah SWT? Bukankah itu menghina Allah SWT?
Selanjutnya,
jika ada wahyu yang dipengaruhi oleh kultur Arab, maka berarti
Al Quran
samalah kedudukannya dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru,
yang
ayat-ayatnya bercampur aduk dengan kultur Bani Istail? ==> Artinya
Al
Quran itu tidak murni terdiri dari wahyu. Apakah ini tidak
mendustakan
Nabi Muhammad SAW, menuduh Nabi Muhammad SAW mencampur adukkan
wahyu
dengan kultur Arab dalam Al Quran?
Ini dulu kita finalkan baru
beralih ke substansi yang lain.
Wassalam,
HMNA
UAA:
Sent: Sunday, December 15, 2002 2:26 AM
Subject:
Re: Wahyu itu non-hisoris dan hitoris sekaligus!
Pak Nur,
Apapun
pengertian yang anda tempelkan pada kata "budaya" (konon,
Kluckhon pernah
menghitung defenisi yang pernah dipakai dalam tradisi
kesarjanaan Barat, dan
jumlahnya lebih dari seratus; Terry Eagleton
menulis buku khusus tentang
defenisi budaya itu beratus-ratus lembar,
dalam buku berjudul "The Idea of
Culture"), tetap saya mengatakan: tak
ada salahnya wahyu dipengaruhi oleh
budaya. Apakah wahyu kurang nilainya
kalau dipengaruhi budaya Arab? Tidak!
Kalau anda memaknai wahyu secara
general, tidak saja wahyu dalam Qur'an, maka
jelas sekali Qur'an
mengatakan bahwa wahyu Allah kepada setiap Nabi itu
dipengaruhi oleh
masing-masing kultur umatnya; "wa likullin ja'alna minkum
syir'atan wa
minhaja". Qur'an sendiri menegaskan itu. Karena wahyu Allah
dalam bentuk
"minhaj" yang turun pada Nabi Musa sudah tidak sesuai
dengan
perkembangan dan kultur masyarakat yang ada, maka Allah menurunkan
wahyu
baru dalam bentuk "manhaj" baru, yaitu wahyu yang turun pada Nabi
Isa.
Wahyu Isa dkoreksi oleh wahyu yang turun pada Nabi Muhammad. Kalau
wahyu
dipengaruhi oleh kultur Arab, maka kultur Arab mengatasi wahyu,
kata
anda. Dari mana anda dapat pemahaman seperti ini?
Sekarang saya
tanya: apa bahasa Allah itu? Apakah Allah itu berbahasa
Arab, Inggris,
Belanda, Sunda, atau yang lain? Jawaban saya: Allah
menggambarkan diri-Nya
dalam Qur'an, "Laisa kamitslihi syai'un", Allah
tidak menyerupai apapaun.
Artinya: Allah tidak mempunyai bahasa; Allah
itu "beyond languages, beyond
symbols," begitulah orang-orang sufi
sering menggambarkan zat Allah. Tetapi
ketika Allah hendak "berbicara"
kepada manusia, "terpaksa" Allah memakai
bahasa. Ketika Allah hendak
"berkomunikasi" dengan komunitas yang kebetulan
adalah orang-orang Arab,
maka "terpaksa" Allah menggunakan bahasa Arab.
Karena "pesan" Allah
dikomunikasikan dalam bahasa yang spesifik, yaitu bahasa
Arab, sudah
logis kalau "pesan universal" Allah itu juga terpengaruh untuk
kultur
Arab. Seperti sudah saya katakan, bahasa itu bukan sekedar
susunan
kata-kata, tetapi juga membawa pandangan dunia, kultur,
dan
prasangka-prasangka masyarakat yang memakainya. Seandainya "pesan
Allah"
itu turun di tanah Jawa dan dikomuniakasikan dalam bahasa Jawa,
sudah
pasti wahyu Allah akan berbeda.
Saya bertanya: kata-kata Nabi
yang terhimpun dalam hadis itu wahyu atau
tidak? Qur'an mengatakan, "wa ma
yanthiqu 'anil hawa, in huwa illa
wahyun yuha." Nabi tidak pernah
berkata-kata dari hawa nafsunya sendiri,
semua yang diuajarkannya adalah
wahyu. Pasti ada perbedaan pemahaman
atas ayat ini. Kalau kita mengikuti
pandangan orang yang mengatakan
bahwa berdasarkan ayat itu, hadis-pun adalah
wahyu dari Allah juga, maka
saya akan ajukan sebuah hadis yang terang-terang
dipengaruhi oleh
kebudayaan Arab: "A'ful liha", panjangkan jenggot kalian.
Ini hadis
sahih. Dalam teori hukum Islam klasik, disebut ushul fiqh,
dikatakan:
setiap ketentuan hukum yang disampaikan dalam bentuk "kata
perintah"
(fi'il amar), maka hukumnya adalah wajib. Jadi, memanjangkan
jenggot
adalah wajib hukumnya. Pemerintah Saudi pernah membiayai
pencetakan
ribuan pamflet tentang wajibnya memanjangkan jenggot berdasarkan
hadis
itu. Pemerintahan Taliban ketika masih berkuasa di Afghanistan
pernah
menghukum orang-orang yang mencukur jenggotnya, berdasarkan hadis
ini
pula. Kalau hadis adalah juga merupakan wahyu Allah, maka
pertanyaan
saya: berarti ajaran tentang jenggot adalah wahyu Allah juga.
Bukankah
memanjangkan jenggot adalah khas tradisi Arab? Bukankah wahyu,
dalam
kasus ini, sangat dipengaruhi oleh kultur Arab?
Saya telah
menunjukkan dengan gamblang, bahwa bahkan Qur'an pun
menyatakan bahwa ajaran
Allah itu disesuaikan dengan masing-masing tahap
perkembangan umat yang
menerimanya, dus dengan demikian juga sesuai
dengan kulturnya. Begitulah kata
Qur'an. Bagaimana anda ngotot bahwa
statemen semacam itu adalah menghina
Allah, mendustakan Nabi. Anda tidak
menunjukkan argumen apapun kepada saya.
Anda mengulang-ulang kesimpulan
yang tidak ada dasarnya sama sekali.
Mengatakan "menghina Allah, Rasul,
Islam" kepada orang-orang yang berbeda
pendapat itu memang mudah; tetapi
dengan cara begitu, anda menyamakan
pemahaman anda sendiri dengan
kebanaran sebagaimana ada dalam kehendak Allah.
Siapa yang tahu kehendak
Allah. Setiap mufassir besar selalu menutup
uraiannya dengan mengatakan
"wallahu a'lam bish shawab," dan Allah lah yang
paling tahu dengan apa
yang benar dalam penafsiran ayat ini atau itu. Kalau
ada orang datang
dengan tafsiran lain, itu bukan berarti menentang
Allah.
Udahlah, jangan terlalu mudah mengobaral kata-kata semacam itu.
Jangan
terlalu gegabah menyimpulkan orang yang berbeda pendapat dengan
anda
sebagai menghina agama Allah. Tunjukkan argumen anda, dari mana
anda
menyimpulkan bahwa kalau wahyu itu dipengaruhi budaya Arab, maka
dengan
demikian wahyu rendah nilainya? bahka mengatakan hal demikian
adalah
mendustakan Nabi? Apa agumen anda? Saya telah tunjukkan ayat
dalam
Qur'an yang justru menolak pemahaman anda.
Bagaimana dong,
Pak?
salam,
ulil
HMNA:
Tidak perlu ke cabang
dahulu, seperti jilbab dsb. Konsentrasi pada
intinya, yaitu : wahyu dan
kultur. Dan juga marilah menghindarkan diri
dari permainan semantik. Pada
pokoknya kultur itu bersumber dari
"manusia", wahyu bersumber dari
Allah.
Untuk menghindarkan permainan semantik, saya pakai pendekatan
diagram:
input ---------> [proses] --------> output
Maka,
input----------->wahyu [proses dalam diri Nabi Muhammad SAW]
input----------->-------->output Al Quran
Bedanya dengan
kultur
input-------->alam sekitar [proses adaptasi dan pembelajaran dalam
input-------->kumpulan masyarakat Arab] ------>output kultur
Arab
Diagram tersebut dahulu anda jawab, mengerti atau tidak.
Kalau
mengerti supaya dijawab: sepakat atau tidak.
Kalau sepakat mujadalah
dilanjutkan.
Kalau tidak sepakat apa alasan anda.
Kalau tidak mengerti,
maka metode diskusi diubah.
Saling mengirimkan tulisan tanpa
bersoal-jawab.
Wassalam
UAA:
Sent: Sunday, December 15,
2002 7:16 PM
Subject: Re: Wahyu itu non-hisoris dan hitoris sekaligus! =>
Konsentrasi
pada inti; hindarkan permainan semantik
Pak Nur,
Tidak
ada sesuatu yang prinsipil dalam diagram anda. Meskipun begitu,
saya sepakat
dengan diagram itu. Pertanyaannya: kalau diagram itu
dipakai, apakah bisa
disimpulkan --seperti anda lakukan dalam posting
lalu-- bahwa kalau wahyu
dipengaruhi kultur, wahyu akan turun nilainya?
Dan dari mana anda
menyimpulkan bahwa orang yang berpendapat seperti itu
adalah menghina Allah?
Dari mana? Dari diagram itu bisa disimpulkan
seperti itu?
Bagaimana
anda mengartikan ayat "wa ma arsalna min rasulin illa bi
lisani
qaumihi"?
Diagram anda itu, dalam pandangan saya, tak menunjukkan
kesimpulan
apa-apa. Kultur dari manusia, wahyu dari Tuhan. So,
what?
salam,
ulil
HMNA:
AlhamduliLlah, anda
sepakat dengan diagram itu, walaupun anda mengatakan
tak ada yang prinsipiel.
Anda menghendaki mujadalah ini billatiy hiya
ahsan. Suatu diskusi dapat
berlangasung dengan ahsan, apabila ada
kesepakatan term-term substansi
terlebih dahulu tanpa larut dalam
pertikaian semantik yang makan banyak
energi. Jadi tidak perlu
tergesa-gesa dan impulsif untuk cepat-cepat langsung
masuk ke dalam
substansi yang belum kita bicarakan kesepakatan atasnya,
seperti ta'wil
misalnya. Ibarat kata pepatah berjenjang naik. Maka kita
upayakan dahulu
bersepakat dalam term-term substansi yang diperbincangkan
yang akan kita
jadikan semacam paradigma, di mana di atasnya kita dapat
melakukan
mujadalah billatiy hiya ahsan, terhindar dari pertikaian semantik.
Terlalu banyak ta'rif mengenai kultur / kebudayaan. Akan saya
kemukakan
ta'rif yang sederhana saja. Kebudayaan adalah buah dari semua
perbuatan
dan usaha yang berpangkal dari kesadaran manusia. Manusia sadar
perlu
berlindung dari teriknya matahari, dari siraman hujan, dari
terpaan
angin. Maka tebing-tebing batu dilubangi, gubuk-gubuk,
rumah-rumah,
gedung-gedung dibangun. Itulah kebudayaan bangun-membangun
bangunan.
Manusia sadar perlu mengisi perut dan berpakaian dalam
kehidupan
sehari-hari. Maka ditempuhlah cara-cara untuk memperoleh rezeki.
Itulah
kebudayaan yang disebut ekonomi. Manusia sadar akan perlunya
hiburan
untuk konsumsi jiwanya. Maka lahirlah kebudayaan yang disebut
kesenian.
Manusia sadar akan perlunya tata-tertib dalam pergaulan
hidup
sehari-hari, maka lahirlah etika dan adat pergaulan, norma-norma
dan
aturan-aturan yang mengikat anggota masyarakat. Itulah
kebudayaan
hukum. Manusia sadar akan perlunya lembaga yang mempunyai
kekuasaan yang
harus ditaati untuk mengatur masyarakat, yang disebut
pemerintah.
Timbullah kelompok-kelompok yang membentuk kekuasaan (macht
vorming)
dan mengerahkan kekuasaan (macht aanwending), untuk dapat
mebentuk
pemerintahan. Maka lahirlah kebudayaan yang disebut politik.
Dengan
demikian kebudayaan suatu komunitas untuk ruang dan waktu
berlangsung
secara dinamis yang diterima sebagai "nilai budaya" dan
diakui
"kebenarannya" berdasar atas "kesepakatan" komunitas, sehingga
nilai
budaya itu relatif sifatnya.
Mudah-mudahan anda sepakat dengan
ta'rif ini. Kalau anda sepakat, kita
bisa lanjutkan lagi.
Wassalam,
Makassar, 16 Desember 2002
HMNA
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar