Kamis, 18 April 2013

Dialog Ulil Abshar-Abdalla - HM Nur Abdurrahman (1)

Ulil Abshar-Abdalla (UAA):
Sent: Saturday, December 14, 2002 11:59 PM
Subject: Wahyu itu non-hisoris dan hitoris sekaligus!

Pak Nur yang baik,
Semula saya enggan menanggapi posting-posting anda, karena nadanya yang
memperlihatkan seolah-olah andalah pemegang kebenaran mutlak, dan
menempatkan saya sebagai pihak yang sudah pasti salah (ini sangat tidak
sesuai dengan "adabul khilaf" yang dikenal dalam tradisi pemikiran Islam
klasik); juga kata-kata "kasar" yang anda pakai membuat saya agak
sedikit ogah-ogahan untuk membuat tanggapan balik. Pelan-pelan anda
mulai menggunakan bahasa yang sopan, sehingga saya mulai percaya bahwa
anda menghendaki suatu "mujadalah billati hiya ahsan". Islam itu agama
rahmat, jadi jangan dibuat seram dan menakutkan, seperti yang dilakukan
oleh Abu Bakar Ba'asyir dan kawan-kawannya itu (anda setuju dia?).

Saya hendak mencicil dengan menanggapi sedikit demi sedikit keberatan
anda pada pemikiran saya. Pokok soal yang anda ulang-ulang terus adalah
bahwa pernyataan saya tentang adanya pengaruh kultur Arab dalam ajaran
Islam anda anggap sebagai penghinaan atas Allah. Saya tidak tahu, dari
mana anda berkesimpulan seperti itu. Kalau saya tidak setuju dengan
pendapat seseorang mengenai Islam, saya tidak akan mengatakan bahwa
orang itu telah menghna Allah; sebab, siapakah yang tahu kehendak Allah
secara persis. Kalau saya tidak sepakat dengan pendapat anda dalam hal
"pengaruh kebudayaan Arab dalam ajaran Islam," dan kemudian karena itu
anda mengatakan bahwa saya telah menghina Allah, maka yang terjadi
adalah: seolah-olah anda mengetahui dengan persis kehendak Allah; lebih
celaka lagi, seolah-olah anda mau meletakkan pendapat anda setara dengan
"Tuhan" itu sendiri, sehingga orang-orang yang berlawanan dengan
pendapat anda sama dengan melawan Allah. Cara berargumen yang sehat
adalah: jika anda tak setuju dengan penafsiran seseorang atas Islam,
kemukakan kritik dan argumentasi anda, tetapi tidak usah menuduh bahwa
lawan diskusi anda, misalnya, telah keluar dari "manhaj" Islam, telah
menghina Allah, menghina Rasul, menghina Islam. Kalau mau jujur, saya
mau katakan: bukan melawan Allah, tetapi melawan pendapat anda sendiri.
Dan janganlah "GR" bahwa pendapat anda adalah mewakili seluruh kebenaran
Islam.

Anda mentakan bahwa, "Budaya bersumber dari akar yang historis,
sedangkan wahyu sumbernya non-historis yaitu Allah SWT." Oke, itu adalah
pemahaman anda, bukan gambaran dari kebenaran Islam itu sendiri. Saya
tak tahu, dari mana anda mempunyai kesmpulan seperti itu. Pandangan
seperti itu meletakkan seolah-olah antara "budaya" dan "wahyu" adalah
saling bertentangan. Sumber wahyu memang "non-historis", tetapi ketika
Allah hendak berbicara dengan manusia melalui Rasul-Nya, maka Allah
menggunakan peralatan yang "historis" untuk bisa menyampaikan pesan
kepada manusia. Qur'an sendir berfirman, "wa likullin ja'alna minkum
syir'atan wa minhaja," masing-masing umat suatu rasul diberikan syari'at
dan "manhaj" yang sesuai dengan kondisi sosial mereka masing-masing.
Artinya, wahyu dan firman Tuhan mewujudkan diri melalui bahasa budaya
lokal. Itulah sebabnya, Qur'an turun secara "tadarruj", gradual, karena
Allah tidak bisa mengabaikan begitu saja konteks historis yang ada.
Bagaimana mungkin Allah yang "non-historis" berbicara dengan manusia
yang "historis" kalau tidak menggunakan piranti-piranti kultural yang
historis. Contoh kongkret: karena Qur'an turun di tanah Arab, maka
dengan sendirinya wahyu Allah turun dengan menggunakan piranti kultural
yang historis, yaitu bahasa Arab, "Inna anzalnahu qur'anan 'arabyyan
la'allaku ta'qilun". Karena Qur'an turun dalam bahasa Arab, maka
struktur linguistik Arab jelas mempegaruhi ajaran Islam itu sendiri.
Kalau anda mengikuti studi-studi linguistik modern (karena studi ini
berkembang di Barat, mungkin anda tak mau terima ya? Barat kan "kafir"),
maka dengan jelas diperlihatkan bahwa sesungguhnya bahasa bukan sekedar
deretan kalimat, tetapi juga "pandangan dunia". Jadi, karena wahyu Islam
turun dalam bahasa Arab, maka "pandangan dunia" orang Arab jelas
mempengaruhi ajaran Islam. Dengan mengatakan ini, saya tidak sedang
menghina Allah. Di mana menghinanya? Kalau Allah menggunakan bahasa Arab
(sesuatu "yang historis") untuk berkomunikasi dengan orang Arab, apakah
Allah menghina dirinya sendiri? Pendapat anda bahkan tidak pernah saya
temukan dalam tradisi kajian hukum Islam klasik yang paling konservatif
pun. Di kalangan juris Islam, pengaruh budaya atas ajaran Islam itu
diakui sebagai sesuatu yang absah. Itulah sebabnya ada diktum "al 'adah
muhakkamah", adat masyarakat bisa dijadikan sumber hukum Islam. Artinya:
hukum Islam itu dipengaruhi oleh kultur setempat. Apanya yang salah
dengan fakta semacam ini. Contoh anda tentang "fil", gajah, dan unta
sangat superfisial dan tidak relevan, juga tidak jelas arahnya ke mana.

Anda juga mengatakan, "Artinya menurut uaa-jil-kiuk ==> "Ada wahyu yang
dipengaruhi kultur Arab", itu sudah menghina Allah SWT. Artinya juga ==>
uaa bervisi "Al Quran tidak murni terdiri atas wahyu, sebab ada
sebahagian yang dipengaruhi kultur Arab. Artinya ==> uaa telah
mendustakan Nabi Muhammad SAW. ==> uua telah melebihi ghulam ahmad, nabi
palsu dari India itu. Sebab ? ghulam ahmad walaupun mengaku menerima
wahyu, masih mengakui bahwa Al Quran itu murni dari wahyu."

Sekali lagi, kalau saya berbeda pandangan dengan anda, anda tidak usah
menempatkan diri sejajar dengan Nabi Muhammad, sehingga berlawanan
dengan pendapat anda sama dengan mendustakan Nabi. Kalau wahyu tidak
dipengaruhi oleh budaya lokal, kenapa setiap datang Nabi baru, sebagian
ajaran Nabi sebelumnya dibatalkan? Alasannya jelas: setiap Nabi membawa
wahyu yang sesuai dengan kondisi historis yang dihadapinya; wahyu,
dengan demikian, dikondisikan oleh konteks yang historis. Wahyu ada
"dalam" sejarah manusia, bukan di "luar" sejarah manusia. Anda akan
mengatakan bahwa Qur'an adalah wahyu terakhir, sehingga hukum-hukumnya
tidak akan mungkin dibatalkan oleh ajaran lain; sebab setelah Qur'an
tidak ada wahyu lagi. Saya setuju bahwa Qur'an adalah wahyu terakhir;
tetapi apa sih yang disebut dengan "hukum Qur'an" itu? Osamah ben Laden,
meniru Hasan Al Banna, melontarkan semboyan yang ditiru oleh pengikutnya
Abu Bakar Ba'asyir di sini, "Al Qur'an dusturuna," Qur'an adalah
undang-undang kami, konstitusi kami. Itulah landasan orang-orang yang
ingin menegakkan syari'at Islam. Apa sih yang disebut hukum Qur'an itu?
Qur'an memang panduan dan "guide" bagi kehidupan umat Islam (hudan lin
nas), tetapi dia bukan kitab hukum. Teks-teks Qur'an bisa ditafsirkan
secara berbeda-beda oleh para ulama dan sarjana. Ambil contoh: apakah
bunga bank itu adalah "riba" seperti yang dimaksud oleh Qur'an, dan
kerana itu haram? Ayatnya memang jelas, "wa ahallahul bai'a wa harramar
riba." Tetapi "riba" didefenisikan secara berbeda-beda oleh ulama,
sehingga status bunga bank-pun diperselisihkan. Kalau ada hukum Qur'an
dalam soal bunga bank, maka pertanyaannya: manakah pendapat yang paling
sesuai dengan hukum Qur'an, pendapat yang menghalalkan atau
mengharamkan. Apakah orang yang menghalalkan bunga bank adalah menghina
Qur'an, Allah, dan Nabi? Soal riba ini juga memperlihatkan bahwa
sebetulnya wahyu Qur'an itu sangat dipengaruhi oleh budaya Arab
setempat. Sebab, istilah "riba" itu memang sudah ada dalam masyarakat
Arab saat itu; pengertian mengenai "riba" seperti disebut Qur'an juga
merujuk kepada bagaimana istilah itu dimengerti oleh masyarakat Arab.
Karena pengertian "riba" dalam Qur'an terkait dengan penggunaannya dalam
masyarakat Arab maka para ulama modern berbeda pendapat: apakah bunga
bank termasuk dalam pengertian "riba" dalam Qur'an itu.

Contoh lain: penggambaran sorga dalam Qur'an jelas sekali dipengaruhi
oleh "ekspektasi" yang khas Arab terhadap apa yang disebut dengan
"jannah" atau kebun (sorga). Qur'an menggambarkan sorga sebagai
"mengalir di bawahnya sungai-sungai". Dalam surah Al Ghasyiyah
dikatakan, "fiha 'ainun jariyah, fiha sururun marfu'ah, wa akwabun
maudlu'ah, wa namariqu mashfufah, wa zarabiyyu mabtsutsah.......". Sorga
dalam surah Al Ghasyuyah ini persis seperti bayangan orang-orang Arab
mengenai istana raja-raja yang mereka kenal pada saat itu. Apakah sorga
seperti itu? Kalau anda berandangan literalistik, dan beranggapan bahwa
sorga ya seperti digambarkan Qur'an itu, maka sorga semacam itu hanyalah
sorganya orang Arab. Kalau anda mengatakan: ya itu kan ilustrasi saja
agar orang Arab paham, maka anda telah menempuh suatu metode penafsiran
yang dalam tradisi tasawwuf disebut "ta'wil", yaitu memahami kalimat
bukan berdasarkan makana lahiriahnya, tetapi berdasarkan esensi
"esoterik" (bathin)-nya. Metode "ta'wil" inilah yang saya pakai untuk
memahami ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum pidana dan yang lain.
Menurut saya: qishash, rajam, dan lain-lain itu adalah cara
menerjemahkan nilai dasar Islam tentang "perlindungan nyawa dan
keturunan" yang merupakan bagian dari "al kulliyyatul khamsah" dalam
cara yang sesuai dengan kultur Arab saat itu. Qishash tidak wajib kita
ikuti, yang wajib kita ikuti adalah nilai esensial yang ada di baliknya.
Umat Islam diwajibkan untuk berijtihad untuk mencari kerangka
kelembagaan agar nilai esensial tentang "perlindungan nyawa" itu bisa
terwujud dalam kehidupan yang kongkret. Itulah ta'wil. Dan janganlah
anda kalau tak seutuju dengan pendapat ini langsung mengecapnya sebagai
"menghina Allah".

Kalau saya mau meradikalkan pendapat saya, maka saya akan mengatakan:
bahwa wahyu tidak bisa tidak kecuali dipengaruhi oleh budaya setempat.
Sebab wahyu sebagai "kehendak" Allah harus memakai "baju" yang kongkret,
yaitu kultur masyarakat yang ada. Kalau wahyu adalah sepenuhnya
"non-historis', maka dia akan seperti "hantu" yang melayang-layang tanpa
tubuh (Ini tamsil saja Pak, jangan "diambil hati" lalu anda simpulkan
lagi sebagai menghina Allah dan Qur'an; jangan mudah beranggapan begitu
ah....ndak baik). Jadi, struktur wahyu itu adalah begini:

Pesan universal (seperti tersimpan dalam "Loh Mahfudz") -----> Kultur
setempat (sebagai "baju") = wahyu

Kita hanya diwajibkan untuk mengikuti pesan universalnya, bukan "baju"
tempat pesan itu menemukan wadahnya. Jadi, bukan qishash atau rajam atau
jilbab yang wajib diikuti, tetapi nilai-nilai yang ada di baliknya.
Bagaimana nilai-nilai itu diterjemahkan kedalam kehidupan kongkret, itu
terserah kepada ijtihad manusia.


Salam,

ulil


H. M. Nur Abdurrahman (HMNA):

Assalamu 'alaykum wr.wb.

Pertama-tama kita sepakati dahulu mengenai term budaya/kultur, atau
kalau tidak bisa sepakat sekurang-kurangnya anda sudah faham apa yang
saya maksud dengan budaya, singkatnya budaya itu adalah 'produk" akal
manusia itulah yang saya maksud dengan kebudayaan itu sumbernya
historis, artinya lahir oleh sejarah pertumbuhan hasil budi-daya
manusia. Wahyu itu non historis, karena wahyu itu tidak dilahirkan oleh
sejarah. Dari sinilah saya bertitik tolak untuk "menyalahkan" visi anda
yang mengatakan "Ada wahyu yang dipengaruhi kultur Arab". Artinya
menurut persepsi saya berdasar atas pengertian istilah "pengaruh" ==>
yang dipengaruhi itu posisinya dibawah dari yang mempengaruhi. Oleh
sebab itu visi Ada wahyu yang dipengaruhi kultur Arab, bukankah itu
sudah jelas bahwa posisi kultur Arab itu "mengatasi" wahyu? ==> Artinya
kebudayaan yang produk akal manusia itu posisinya mengatasi wahyu yang
bersumber dari Allah SWT? Bukankah itu menghina Allah SWT? Selanjutnya,
jika ada wahyu yang dipengaruhi oleh kultur Arab, maka berarti Al Quran
samalah kedudukannya dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, yang
ayat-ayatnya bercampur aduk dengan kultur Bani Istail? ==> Artinya Al
Quran itu tidak murni terdiri dari wahyu. Apakah ini tidak mendustakan
Nabi Muhammad SAW, menuduh Nabi Muhammad SAW mencampur adukkan wahyu
dengan kultur Arab dalam Al Quran?

Ini dulu kita finalkan baru beralih ke substansi yang lain.

Wassalam,
HMNA


UAA:
Sent: Sunday, December 15, 2002 2:26 AM
Subject: Re: Wahyu itu non-hisoris dan hitoris sekaligus!

Pak Nur,
Apapun pengertian yang anda tempelkan pada kata "budaya" (konon,
Kluckhon pernah menghitung defenisi yang pernah dipakai dalam tradisi
kesarjanaan Barat, dan jumlahnya lebih dari seratus; Terry Eagleton
menulis buku khusus tentang defenisi budaya itu beratus-ratus lembar,
dalam buku berjudul "The Idea of Culture"), tetap saya mengatakan: tak
ada salahnya wahyu dipengaruhi oleh budaya. Apakah wahyu kurang nilainya
kalau dipengaruhi budaya Arab? Tidak! Kalau anda memaknai wahyu secara
general, tidak saja wahyu dalam Qur'an, maka jelas sekali Qur'an
mengatakan bahwa wahyu Allah kepada setiap Nabi itu dipengaruhi oleh
masing-masing kultur umatnya; "wa likullin ja'alna minkum syir'atan wa
minhaja". Qur'an sendiri menegaskan itu. Karena wahyu Allah dalam bentuk
"minhaj" yang turun pada Nabi Musa sudah tidak sesuai dengan
perkembangan dan kultur masyarakat yang ada, maka Allah menurunkan wahyu
baru dalam bentuk "manhaj" baru, yaitu wahyu yang turun pada Nabi Isa.
Wahyu Isa dkoreksi oleh wahyu yang turun pada Nabi Muhammad. Kalau wahyu
dipengaruhi oleh kultur Arab, maka kultur Arab mengatasi wahyu, kata
anda. Dari mana anda dapat pemahaman seperti ini?

Sekarang saya tanya: apa bahasa Allah itu? Apakah Allah itu berbahasa
Arab, Inggris, Belanda, Sunda, atau yang lain? Jawaban saya: Allah
menggambarkan diri-Nya dalam Qur'an, "Laisa kamitslihi syai'un", Allah
tidak menyerupai apapaun. Artinya: Allah tidak mempunyai bahasa; Allah
itu "beyond languages, beyond symbols," begitulah orang-orang sufi
sering menggambarkan zat Allah. Tetapi ketika Allah hendak "berbicara"
kepada manusia, "terpaksa" Allah memakai bahasa. Ketika Allah hendak
"berkomunikasi" dengan komunitas yang kebetulan adalah orang-orang Arab,
maka "terpaksa" Allah menggunakan bahasa Arab. Karena "pesan" Allah
dikomunikasikan dalam bahasa yang spesifik, yaitu bahasa Arab, sudah
logis kalau "pesan universal" Allah itu juga terpengaruh untuk kultur
Arab. Seperti sudah saya katakan, bahasa itu bukan sekedar susunan
kata-kata, tetapi juga membawa pandangan dunia, kultur, dan
prasangka-prasangka masyarakat yang memakainya. Seandainya "pesan Allah"
itu turun di tanah Jawa dan dikomuniakasikan dalam bahasa Jawa, sudah
pasti wahyu Allah akan berbeda.

Saya bertanya: kata-kata Nabi yang terhimpun dalam hadis itu wahyu atau
tidak? Qur'an mengatakan, "wa ma yanthiqu 'anil hawa, in huwa illa
wahyun yuha." Nabi tidak pernah berkata-kata dari hawa nafsunya sendiri,
semua yang diuajarkannya adalah wahyu. Pasti ada perbedaan pemahaman
atas ayat ini. Kalau kita mengikuti pandangan orang yang mengatakan
bahwa berdasarkan ayat itu, hadis-pun adalah wahyu dari Allah juga, maka
saya akan ajukan sebuah hadis yang terang-terang dipengaruhi oleh
kebudayaan Arab: "A'ful liha", panjangkan jenggot kalian. Ini hadis
sahih. Dalam teori hukum Islam klasik, disebut ushul fiqh, dikatakan:
setiap ketentuan hukum yang disampaikan dalam bentuk "kata perintah"
(fi'il amar), maka hukumnya adalah wajib. Jadi, memanjangkan jenggot
adalah wajib hukumnya. Pemerintah Saudi pernah membiayai pencetakan
ribuan pamflet tentang wajibnya memanjangkan jenggot berdasarkan hadis
itu. Pemerintahan Taliban ketika masih berkuasa di Afghanistan pernah
menghukum orang-orang yang mencukur jenggotnya, berdasarkan hadis ini
pula. Kalau hadis adalah juga merupakan wahyu Allah, maka pertanyaan
saya: berarti ajaran tentang jenggot adalah wahyu Allah juga. Bukankah
memanjangkan jenggot adalah khas tradisi Arab? Bukankah wahyu, dalam
kasus ini, sangat dipengaruhi oleh kultur Arab?

Saya telah menunjukkan dengan gamblang, bahwa bahkan Qur'an pun
menyatakan bahwa ajaran Allah itu disesuaikan dengan masing-masing tahap
perkembangan umat yang menerimanya, dus dengan demikian juga sesuai
dengan kulturnya. Begitulah kata Qur'an. Bagaimana anda ngotot bahwa
statemen semacam itu adalah menghina Allah, mendustakan Nabi. Anda tidak
menunjukkan argumen apapun kepada saya. Anda mengulang-ulang kesimpulan
yang tidak ada dasarnya sama sekali. Mengatakan "menghina Allah, Rasul,
Islam" kepada orang-orang yang berbeda pendapat itu memang mudah; tetapi
dengan cara begitu, anda menyamakan pemahaman anda sendiri dengan
kebanaran sebagaimana ada dalam kehendak Allah. Siapa yang tahu kehendak
Allah. Setiap mufassir besar selalu menutup uraiannya dengan mengatakan
"wallahu a'lam bish shawab," dan Allah lah yang paling tahu dengan apa
yang benar dalam penafsiran ayat ini atau itu. Kalau ada orang datang
dengan tafsiran lain, itu bukan berarti menentang Allah.

Udahlah, jangan terlalu mudah mengobaral kata-kata semacam itu. Jangan
terlalu gegabah menyimpulkan orang yang berbeda pendapat dengan anda
sebagai menghina agama Allah. Tunjukkan argumen anda, dari mana anda
menyimpulkan bahwa kalau wahyu itu dipengaruhi budaya Arab, maka dengan
demikian wahyu rendah nilainya? bahka mengatakan hal demikian adalah
mendustakan Nabi? Apa agumen anda? Saya telah tunjukkan ayat dalam
Qur'an yang justru menolak pemahaman anda.

Bagaimana dong, Pak?

salam,
ulil



HMNA:

Tidak perlu ke cabang dahulu, seperti jilbab dsb. Konsentrasi pada
intinya, yaitu : wahyu dan kultur. Dan juga marilah menghindarkan diri
dari permainan semantik. Pada pokoknya kultur itu bersumber dari
"manusia", wahyu bersumber dari Allah.

Untuk menghindarkan permainan semantik, saya pakai pendekatan diagram:
input ---------> [proses] --------> output
Maka,
input----------->wahyu [proses dalam diri Nabi Muhammad SAW]
input----------->-------->output Al Quran
Bedanya dengan kultur
input-------->alam sekitar [proses adaptasi dan pembelajaran dalam
input-------->kumpulan masyarakat Arab] ------>output kultur Arab

Diagram tersebut dahulu anda jawab, mengerti atau tidak.
Kalau mengerti supaya dijawab: sepakat atau tidak.
Kalau sepakat mujadalah dilanjutkan.
Kalau tidak sepakat apa alasan anda.
Kalau tidak mengerti, maka metode diskusi diubah.
Saling mengirimkan tulisan tanpa bersoal-jawab.

Wassalam


UAA:
Sent: Sunday, December 15, 2002 7:16 PM
Subject: Re: Wahyu itu non-hisoris dan hitoris sekaligus! => Konsentrasi
pada inti; hindarkan permainan semantik

Pak Nur,
Tidak ada sesuatu yang prinsipil dalam diagram anda. Meskipun begitu,
saya sepakat dengan diagram itu. Pertanyaannya: kalau diagram itu
dipakai, apakah bisa disimpulkan --seperti anda lakukan dalam posting
lalu-- bahwa kalau wahyu dipengaruhi kultur, wahyu akan turun nilainya?
Dan dari mana anda menyimpulkan bahwa orang yang berpendapat seperti itu
adalah menghina Allah? Dari mana? Dari diagram itu bisa disimpulkan
seperti itu?

Bagaimana anda mengartikan ayat "wa ma arsalna min rasulin illa bi
lisani qaumihi"?

Diagram anda itu, dalam pandangan saya, tak menunjukkan kesimpulan
apa-apa. Kultur dari manusia, wahyu dari Tuhan. So, what?

salam,
ulil



HMNA:

AlhamduliLlah, anda sepakat dengan diagram itu, walaupun anda mengatakan
tak ada yang prinsipiel. Anda menghendaki mujadalah ini billatiy hiya
ahsan. Suatu diskusi dapat berlangasung dengan ahsan, apabila ada
kesepakatan term-term substansi terlebih dahulu tanpa larut dalam
pertikaian semantik yang makan banyak energi. Jadi tidak perlu
tergesa-gesa dan impulsif untuk cepat-cepat langsung masuk ke dalam
substansi yang belum kita bicarakan kesepakatan atasnya, seperti ta'wil
misalnya. Ibarat kata pepatah berjenjang naik. Maka kita upayakan dahulu
bersepakat dalam term-term substansi yang diperbincangkan yang akan kita
jadikan semacam paradigma, di mana di atasnya kita dapat melakukan
mujadalah billatiy hiya ahsan, terhindar dari pertikaian semantik.

Terlalu banyak ta'rif mengenai kultur / kebudayaan. Akan saya kemukakan
ta'rif yang sederhana saja. Kebudayaan adalah buah dari semua perbuatan
dan usaha yang berpangkal dari kesadaran manusia. Manusia sadar perlu
berlindung dari teriknya matahari, dari siraman hujan, dari terpaan
angin. Maka tebing-tebing batu dilubangi, gubuk-gubuk, rumah-rumah,
gedung-gedung dibangun. Itulah kebudayaan bangun-membangun bangunan.
Manusia sadar perlu mengisi perut dan berpakaian dalam kehidupan
sehari-hari. Maka ditempuhlah cara-cara untuk memperoleh rezeki. Itulah
kebudayaan yang disebut ekonomi. Manusia sadar akan perlunya hiburan
untuk konsumsi jiwanya. Maka lahirlah kebudayaan yang disebut kesenian.
Manusia sadar akan perlunya tata-tertib dalam pergaulan hidup
sehari-hari, maka lahirlah etika dan adat pergaulan, norma-norma dan
aturan-aturan yang mengikat anggota masyarakat. Itulah kebudayaan
hukum. Manusia sadar akan perlunya lembaga yang mempunyai kekuasaan yang
harus ditaati untuk mengatur masyarakat, yang disebut pemerintah.
Timbullah kelompok-kelompok yang membentuk kekuasaan (macht vorming)
dan mengerahkan kekuasaan (macht aanwending), untuk dapat mebentuk
pemerintahan. Maka lahirlah kebudayaan yang disebut politik. Dengan
demikian kebudayaan suatu komunitas untuk ruang dan waktu berlangsung
secara dinamis yang diterima sebagai "nilai budaya" dan diakui
"kebenarannya" berdasar atas "kesepakatan" komunitas, sehingga nilai
budaya itu relatif sifatnya.

Mudah-mudahan anda sepakat dengan ta'rif ini. Kalau anda sepakat, kita
bisa lanjutkan lagi.

Wassalam,
Makassar, 16 Desember 2002
HMNA

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar