Kamis, 18 April 2013

Dialog Ulil Abshar-Abdalla - HM Nur Abdurrahman (2)

Bagian ke-2 (sambungan)

UAA:
Sent: Monday, December 16, 2002 9:02 AM
Subject: Re: Jenjang2 argumen yang toh tak akan mendukung kesimpulan
awal

Wahai Bapak Nur,
Anda bisa lanjutkan "batu-batu bata argumen" ini hingga berjenjang naik,
ke level manapun anda kehendaki, ke langit-langit setinggi apapun yang
anda maui. Tetapi begitu sampai kepada kesimpulan anda yang pernah anda
sampaikan dulu, bahwa manakalah wahyu dipengaruhi oleh kultur, bahwa
Qur'an sebetulnya dikondisikian oleh situasi, maka itu adalah penghinaan
atas Allah; di titik itu, dengan argumen apapun, saya akan tolak.
Apalagi, sekali lagi dan sekali lagi (mohon maaf lo ya), kalau terlalu
jauh mengatakan, "itu menghina Allah, mendustakan Nabi, melebihi Ghulam
Ahmad, so and so." Came on, Sir!

Saya akan ikuti dengan sabar jenjang-jenjang argumen yang anda pakai,
dan saya tak punya keberatan prinsipil atas jenjang-jenjang yang anda
tempuh itu. Meskipun ratusan definisi atas budaya itu berseliweran dalam
tradisi kesarjanaan Barat dan Timur, okelah secara 'hipotetis' saya
terima saja definisi anda (sebetulnya definisi yang anda pakai itu
definisi berdasarkan "common sense" saja; siapapun bisa mengemukakan hal
seperti itu; di Jerman bahkan istilah "kultuur" itu pernah mempunyai
konotasi buruk, karena itu adalah "ulah manusia" untuk mengubah alam,
dan bahkan menghancurkannya; pada zaman romantik, orang sebel pada
"kultuur" dan lebih menggandrungi "natuur" [Ini sih katanya Norbert
Elias dalam "The Civilizing Process"]).

Keberatan prinsipil saya adalah pada satu hal: bahwa wahyu adalah
sepenuhnya 'non-historis'. (Betul begitu?)

Batu bata terakhir yang telah anda taruh itu mau mengatakan: budaya itu
kesepakatan komunitas, dan karena itu relatif. Saya sudah menduga,
nantinya anda akan mengatakan, wahyu itu bukan hasil pemikiran dan
kesepakatan manusia, ia datang dari "luar" sejarah, dan karena itu
absolut. Budaya relatif, wahyu absolut. (Nantinya: saya akan katakan
bahwa wahyu itu tidak seluruhnya absolut, karena ada faktor-faktor
historis, kontekstual, partikular, dalam dirinya, seperti jilbab dan
qishash itu [anda nanti akan mengatakan lagi, "jangan bermain-main
dengan segi-segi semantik"]).
Oke. Terusssss...........

Looking forward to going through your next steps, and many apologies for
any unproper words.

salam,
ulil
p.s. Mohon diperkenankan untuk bertanya mengenai hal yang sampingan
(boleh, ya?): Bapak anggota KPPSI? Atau (pasti) pendukungnya?

HMNA:

Kemampuan akal untuk berpikir dan merasa bertumbuh sesuai dengan
pertumbuhan diri manusia. Agar manusia dapat mempergunakan akalnya untuk
berpikir dan merasa, ia perlu mendapatkan informasi dan pengalaman
hidup. Mutu hasil olah akal tergantung pada jumlah, mutu dan jenis
informasi yang didapatkannya dan dialaminya. Ilmu eksakta, non-eksakta,
ilmu filsafat adalah hasil olah akal dengan mekanisme otak. Kesenian dan
ilmu tasawuf adalah hasil olah akal dengan qalbu sebagai mekanisme.

Output olah akal anak tammatan SD lebih rendah kualitasnya ketimbang
buah oleh akal anak tammatan SMA, oleh karena anak tammatan SMA lebih
besar jumlah, lebih bermutu dan lebih beragam jenis informasi yang
diperolehnya dan pengalaman yang dialaminya. Jadi kemampuan olah akal
manusia itu relatif sifatnya, baik dalam hal berolah pikir maupun
berolah rasa. Oleh karena akal manusia itu terbatas, Allah memberikan
pula sumber informasi berupa wahyu yang diturunkan kepada para Nabi dan
Rasul yang kemudian disebar luaskan kepada manusia. Alhasil akal harus
ditempatkan di bawah wahyu.

Apakah anda sepakat? Kalau ya, kita berlanjut.

Wassalam,
Makassar, 16 Desember 2002

Saya adalah Wakil Ketua Majelis Syura KPPSI => KPPSI memperjuangkan
"rumah poltik", yaitu terbentuknya undang-undang otonomi khusus
memberlakukan Syari'at Islam di Provinsi Silawesi Selatan, melalui
koridor konstitusi dalam bingkai NKRI.


UAA:
Sent: Tuesday, December 17, 2002 12:14 AM
Subject: Re: Jenjang2 argumen yang toh tak akan mendukung kesimpulan
awal

Bapak Nur,
Kenapa anda menyimpang? Kita sedang diskusi soal kultur sebagai sesuatu
yang relatif, dan wahyu sebagai yang absolut. Kok anda tiba-tiba bicara
soal akal.

Oke, kalau anda mau menyimpang, tak apa-apa. Saya akan menuruti
"kemauan" anda.

Setelah wafatnya Rasul, saya menempatkan akal dan wahyu dalam kedudukan
sejajar. Bahkan aspek-aspek yang partikular dan historis dalam wahyu
bisa "diamandemen" oleh pertimbangan akal. Sebab, setelah meninggalnya
beliau, kita tidak bisa bertanya langsung kepada Nabi setiap ada
peristiwa baru yang butuh solusi, seperti pada zaman sahabat. Yang ada
pada kita adalah teks Qur'an dan sunna. "Taraktu fikum amrain ma in
tamassaktum bihima lan tadhillu abadan." Tetap teks itu sifatnya adalah
"polyfonik", mempunyai tafsiran dan "suara" yang banyak, sesuai dengan
penafsirnya.

Kata Sayyidina 'Ali tentang Qur'an, "Innama yunthiquhur rijal." Qur'an
itu adalah teks mati; yang membuatnya "hidup" dan berbunyi adalah
manusia. Sementara manusia itu berbeda-beda pendapatnya.

Ini kata Imam Ali, lo. Jangan dibilang menghina Allah dan Islam.

Jadi, pada poin kali ini, mohon maaf, saya tak sepakat. Wahyu dan akal
bekerja bersama-sama, dan saling melengkapi. Bahkan saya berpendapat:
yang terbatas bukan saja akal; bahkan wahyu yang telah menjadi "verbal"
dalam bentuk susunan kata-kata yang turun pada Nabi pun adalah terbatas.


Tapi, sekali lagi, jangan dibilang menghina Islam ya.

salam,
ulil


HMNA:
Saya heran, mengapa anda katakan saya menyimpang, pada hal anda sudah
mengatakan mengerti diagram dan sepakat dengan diagram tersebut. Saya
ulang kembali sajikan diagram tersebut:

input----->wahyu [proses dalam diri Nabi Muhammad SAW] -----> output Al
input----->Quran
Bedanya dengan kultur
input----->alam sekitar [proses adaptasi dan pembelajaran dalam kumpulan

input----->masyarakat Arab] ---->output kultur Arab

Proses adaptasi dan pembelajaran itu adalah olah akal, baik itu olah
pikir maupun olah rasa. Jadi olah akal dalam kumpulan masyarakat Arab
membuahkan output kultur Arab. Jadi akal tak terpisahkan dari lahirnya
suatu kultur. Kita teruskan. Kalau terjadi pertentangan antara akal
dengan ayat Al Quran, alternatif mana yang anda ambil:

1. menolak pengertian literal terhadap ayat
2. mentakwilkan ayat
3. menolak akal, memilih ayat dengan memahamkannya secara literal
4. memilih akal dan juga sekaligus memilih ayat dengan pengertian
literal

Contoh: Alladziy ja'ala lakum mina sysyajari l.akhdhari naaran faidzaa
antum minhu tuwqiduwn (36:80). Akal mengatakan yang dibakar itu menurut
pengalaman adalah kayu yang kering yang coklat warnanya, bukan kayu yang
masih basah yang hijau warnanya. Tentu saja di sini tidak kena mengena
dengan kebakaran hutan, karena ayat itu menyatakan antum minhu
tuwqiduwn. Silakan memilih alternatif terbut.
Wassalam,
Makassar, 17 Desember 2002
HMNA


UAA:
Sent: Tuesday, December 17, 2002 8:30 AM
Subject: Re: Jenjang2 argumen yang toh tak akan mendukung kesimpulan
awal

Pak Nur,
Bagaimana mungkin anda memakai contoh ayat dalam surah Yasin itu sebagai
ilustrasi pertentangan akal dengan wahyu. Dari segi mana
pertentangannya? Kalau kita baca tafsir-tafsir klasik, ayat itu adalah
petunjuk mengenai kekuasaan Tuhan: ada pohon (disebut sebagai "marakh"
dan "'ifar" yang jika dahannya dipotong mejadi dua dan digesekkan satu
dengan yang lainnya maka akan melentikkan api). Tapi, pertanyaan saya
adalah: apakah kekuasaan Tuhan harus ditunjukkan dengan cara yang
melawan akal. Dalam kasus "pohon hijau" itu (tentu in bukan pohon milik
PPP, lo, apalagi PKB), apanya yang berlawanan dengan akal. Kalau betul
(saya tak pernah melihat pohon "marakh" dan "'ifar") pohon itu bisa
melentikkan api, tentu akal bisa meneliti susunan kimiawi apa yang
terdapat dalam pohon itu sehingga bisa mengeluarkan api. Artinya: akal
pun bisa menjelaskan fenomena "fisik" ini dengan masuk akal.

Maaf, anda salah kutip ayat. Mestinya, kalau anda mau menunjukkan ayat
di mana ada pertentangan antara akal dengan wahyu, maka kutiplah
beberapa ayat sebelum ayat yang anda kutip itu: "wa dlaraba lana
matsalan wa nasiya khalqahu, qa la man yuhyil 'idlama wa hiya ramim, qul
yuhyihal Ladzi an sya'aha awwala marrah wahuwa bikulli khalqin 'adzim".
Terhadap masalah kebangkitan fisik di hari kiamat ini pun (Catatan:
sebetulnya ayat ini tidak secara eksplisit berbicara tentang kebangkitan
fisik di hari kiamat, tetapi tentang kekuasaan Tuhan memberi "hidup"
pada tulang-tulang yang telah hancur), terdapat perbedaan antara
pandangan "jumhur" (mayoritas kaum ortodoks) dan kaum falasifah (itulah
sebabnya kaum falasifah sering dikafirkan di zaman klasik dulu; persis
lah kayak sekarang; fenomena de ja vu?). Sebagian kaum falasifah tidak
mempercaya kebangkitan fisik karena pertimbangan akal, dan lebih
mempercayai kebangkitan spirit atau jiwa. Seorang penyair Arab klasik,
Abul 'Ala Al Ma'arri, adalah salah seorang yang dengan terus terang
mengingkari kebangitan fisik.

Tapi saya tak tertarik dengan perdebatan soal metafisik. Saya lebih suka
dengan dunia fisik yang kongkrit ini. Dalam hal metafisik, saya mengikut
saja hadis Nabi, "Tafakkaru fi khalqil Lah, wa la tafakkaru fil Lah."
Meskipun kadang-kadang soal metafisik juga menarik minat saya. Saya kira
hadis Nabi itu bisa disebut sebagai pertanda bahwa debat dalam soal yang
tak bisa diverifikasi secara empiris, akan menyeret kepada "debat kusir"
yang tak ada ujungnya. (Apakah ini sebentk "positivisme religius"? [Ini
bukan permainan semantik, lo]).

Jadi sebelum saya menjawab pertanyaan anda soal pendekatan apa yang saya
pakai manakala terjadi konflik antara akal dan wahyu, jawab pertanyaan
saya dulu: ayat yang anda kutip itu di mana letak konfliknya? Kalau
sudah anda jawab, boleh kita teruskan diskusi.

Ok?

salam,
ulil.


HMNA:

Sayid Qutb dalam fiy Zhilali lQuran menafsirkannya, bahwa memang dalam
kayu ada api, sebab kalau digosok-gosok akan keluar api. Tetapi tafsir
Sayid Kutub itu tidak memuaskan akal, karena itu baru mungkin terjadi
apabila kayu itu sudah kering betul, sudah berwarna kecoklat-coklatan,
tidak hijau lagi. Dalam pengalaman empiris dari kayu hijau tidak dapat
diperoleh api dengan cara menggosoknya. Mahmud Yunus menafsirkan bahwa
ada sejenis kayu di Aceh yang walaupun masih hijau sudah dapat dibakar
dijadikan suluh. Tetapi itu tidak memuaskan akal, karena dalam ayat
(36:80) asysyaru l'akhdhar itu adalah mudzakkar yang mengandung arti
seluruh spesi pohon. Kalau hanya sejenis yang seperti di Aceh itu harus
memakai bentuk muannats. Jadi ke manapun ditafsirkan tidak memuaskan
akal. Sayid Qutb tidak menjinggung soal hijau, sedang Mahmud Yunus hanya
pohon secara parsial. Di situ pertentangannya, yaitu bendanya mudzakkar
dan warnanya akhdhar.
Wassalam,
Makassar 17 Desember 2002
HMNA
tw saya juga boleh bertanya? Mengapa nama anda Abdalla, bukan 'Abdullah?

Bersambung.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar