Portugis dan Belanda datang ke Indonesia bukan hanya ingin menguasai kekayaan
alam, tetapi, mereka juga menyebarkan agama Kristen dengan “Trilogy
Imperialisme”nya yang terkenal dengan Gospel, Gold dan Glory. Sehingga
banyak umat Islam yang memandang agama Kristen Indentik dengan agama
kolonial.
Pangeran Henry sang pelaut (1394-1460) datang ke Indonesia
dengan tuju-an mengepung kekuatan Muslim dan membawa agama Kristen. Ketika
berhasil menduduki Malaka Alfonso d’Albuquerqe berpidato :
“Tugas
besar yang harus kita abdikan kepada Tuhan kita dalam mengusir orang-orang Moor
(Muslim) dari negara ini dan memadamkan api sekte Muhammad sehingga tidak muncul
lagi sesudah ini. saya yakin, jika kita berhasil merebut jalur perdagangan
Malaka ini dari tangan mereka -orang-orang Moor-, Kairo dan Mekkah akan
hancur total dan Venice tidak akan menerima rempah-rempah kecuali para
pedagangnya pergi membelinya di Portugal.”.
Tahun 1810, Raja William
I mengeluarkan dekrit yang menyatakan para misionaris akan diutus ke Indonesia
oleh dan atas biaya pemerintah Belanda. Tahun 1835 dan 1840, keluar dekrit,
administrasi gereja di Hindia Belanda ditempatkan di bawah naungan Gubernur
Jenderal pemerintah kolonial. Tahun 1854, sebuah dekrit lain dikeluarkan untuk
mendukung kegiatan misi Kristen di Indonesia, membiayai pembangunan gereja,
membiayai tiket pergi-pulang misionaris Indonesia-Belanda, menggaji para
pendeta, membantu para yatim piatu, rumah sakit dan
sekolah-sekolah.
Tahun 1888, Menteri urusan kolonial, Kheuchenis
menyatakan dukungan ke-pada kegiatan misionaris dan membatasi pengarush Islam.
Begitu juga J.T. Cremer menteri Urusan Kolonial juga membantu kegiatan
Misionaris.
Tahun 1901, subsidi secara besar-besaran diberikan kepada
sekolah-sekolah Kristen dan lembaga-lembaga misionaris, kemudian tahun 1906-1916
secara terang-terangan mendukung kegiatan misonaris. Politik Netral Agama yang
di-gembar-gemborkan Belanda ternyata hanya ilusi belaka. Jadi, di zaman kolonial
Belanda, konflik Indonesia-Kolonial indentik dengan konflik Islam-Kristen,
melawan Belanda ketika itu disebut sebagai jihad fi
sabilillah.
Konflik Islam-Kristen pada masa BPUPKI
Konflik
Islam-Kristen tidak berhenti pada hengkangnya Belanda dari Indonesia, dalam
persiapan kemerdekaan Indonesia, Kristen ternyata amat gigih untuk memberikan
pengaruhnya terhadap wajah Republik Indonesia nantinya, dan berusaha agar Islam
tidak memberikan pengaruhnya dalam pemerintahan Republik Indonesia, sehingga
tidak terhindarkan konflik Islam-Kristen dalam menen-tukan dasar negara ini.
Konflik dimulai ketika Jepang membentuk Ba-dan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PUPKI) yang terdiri dari dua kelompok yaitu Kelompok
Nasionalis Islam dan Nasionalis Sekuler.
Kelompok Nasionalis Islam
mengusulkan agar ketika Indonesia Merdeka maka bentuk pemerintahannya adalah
dalam bentuk negara Islam, hal ini sangat wajar karena mengingat perjuangan
untuk mendapatkan kemerdekaan adalah perjuangan melawan Belanda yang secara
nyata menjajah dalam memaksan agama di samping mengeruk kekayaan alam
Indonesia.
Namun kelompok Nasionalis Sekuler-Kristen menolak usul dari
kelompok Nasionalis Islam, maka, terjadilah perdebatan sengit dalam
sidang-sidang BPUPKI yang berakhir dengan tidak tercapai kesepakatan antara dua
kelompok ini.
Untuk mengatasi perbedaan tersebut, BPUPKI membentuk
panitia yang terdiri dari 9 orang yang disebut sebagai panitia sembilan dengan
ketuanya Ir. Soekarno. Dari pihak Kristen diwakili oleh Mr. A.A. Maramis, Tugas
utama dari panitia sembilan adalah mencapai kesepakatan antara kelompok
Nasionalis Islam dengan kelompok Nasionalis Sekuler.
9 Juli 1945, panitia
sembilan berhasil menyusun suatu ‘Gentlemen’s Agreement’ yang dikenal dengan
Piagam Jakarta. Ketua Panitia Sembilan, Ir. Soe-karno menyebut Piagam Jakarta
sebagai :
“Satu kompromis untuk menyudahi kesulitan antara kita
bersama”
Tetapi, dalam rapat BPUPKI tanggal 11 Juli 1945, Piagam
Jakarta digugat oleh seorang Kristen dari Maluku yang bernama Latuharhary,
dengan alasan Piagam Jakarta dalam aplikasinya akan mengalami kesulitan
diberbagai daerah, khususnya ketika berhadapan dengan adat istiadat, Ir.
Soekarno meminta agar tujuh kata (lihat salinan piagam jakarta di kalimat
yang bergaris), itu tidak dipersoalkan, karena tujuh kata tersebut merupakan
jerih payah dan kompromi antara kelompok Nasionalis Islam dengan Nasionalis
Sekuler.
Tokoh kebatinan Wongsonegoro, mengusulkan agar tujuh kata
tersebut tidak usah diubah tetapi ditambahkan :
“Bagi pemeluk agama
lain dengan jalan menurut agamanya masing-masing”
Akhirnya Wachid
Hasyim, memperingatkan agar pembahasan soal ‘tujuh kata’ tidak diperpanjang
lagi, lalu Ir. Soekarno kembali mengingatkan bahwa ‘tujuh kata’ itu adalah
:
“Satu kompromis untuk menyudahi kesulitan antara kita
bersama”
13 Juli 1945, Wachid Hasyim, mengusulkan agar syarat
presiden ditambah ‘yang beragama Is-lam’, juga, pasal 29 RUUD 1945 ditambahkan,
‘Agama negara ialah agama Islam’. Bahkan pada tanggal 14 Juli 1945, tokoh
Muhammadiyah Ki Bagus Hadi-koesoemo, mengusulkan ‘bagi pemeluk - pemeluknya’
dalam Piagam Jakarta dicoret saja, menjadi :
“Ketuhanan, dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam”
Tetapi usul tersebut ditolak
keras oleh kelompok Nasionalis Sekuler. Sampai pada rapat BPUPKI tanggal 16 kuli
1945, tidak ada pencabutan kesepakatan dalam Piagam Jakarta, Bahkan ketika itu
Ir. Soekarno menegaskan, disepakatinya klausul :
“Presiden Indonesia
haruslah orang Indonesia Asli yang beragama Islam”
Dan pada RUUD 1945
pasal 29 tetap berbunyi :
“Negara berdasar atas keTuhanan dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya”
Terakhir, ketua BPUPKI yang merupakan aktivis
Gerakan Teosofi, yaitu dr. Rajiman Widjodiningrat, menyimpulkan
:
“Jadi, Rancangan ini sudah diterima semuanya… dengan suara bulat
Undang-undang Dasar ini”
Konflik Islam-Kristen Pasca
17-08-45
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17
Agustus 1945, konflik Islam-Kristen tersulut lagi oleh penolakan Kristen pada
tanggal 18 Agustus 1945 terhadap :
- Piagam Jakarta yang telah disepakati
dengan bersusah payah sebagai Gentlemen’s Agreement
- Klausul ‘Kewajiban
melaksanakan syariat Islam bagi kaum Muslim Indonesia”
Penolakan tersebut
diwakili oleh Laturharary de-ngan alasan ada keberatan dari pihak Kristen
Indonesia Timur. Keberatan tersebut konon dititip-kan melalui opsir tentara
Jepang yang masih berwenang di Jakarta. Opsir tersebut menyampaikan pesan
keberatan Kristen Indonesia Timur kepada Ir. Soekarno dan Bung Hatta, yang
menyatakan :
“Ada tujuh katayang tercantum dalam Mukaddimah UUD 1945
yang harus dicabut. Kalau tidak, Umat Kristen di Indonesia sebelah Timur tidak
akan turut sertadalam negara Republik Indonesia yang baru saja diproklamirkan.
Tujuh kata yang harus dicoret itu berbunyi ‘dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya’”
Mengomentari pihak Kristen yang
mengultimatum Republik Indonesia yang baru saja diproklamirkan, Dr. Muhammad
Natsir mengatakan :
“Utusan tersebut tidak untuk mengadakan diskusi
tentang persoalannya. Hanya menyampaikan satu peringatan. Titik! Tak perlu
bicara lagi. Terserah apakah pesan itu diterima atau tidak. Asal tahu apa
konskuensinya. Itu berupa ultimatum. Ultimatum bukan saja terhadap warga negara
yang beragama Islam di Indonesia. Tetapi pada hakekatnya terhadap Republik
Indonesia sendiri yang baru berumur 24 jam itu. Hari 17 Agustus adalah Hari
Proklamasi, hari raya kita. Hari raya 18 Agustus adalah Hari Ultimatum dari umat
Kristen bagian Timur. Kedua-dua peristiwa itu adalah peristiwa sejarah. Kalau
yang pertama kita rayakan, yang kedua sekurang-kurangnya jangan dilupakan.
Memyambut hari Proklamasi 17 Agustus kita bertahmied. Menyambut hari besoknya,
18 Agustus, kita beristighfar. Insya Allah umat Islam tidak akan
lupa”
Menurut Natsir, umat Kristen sangat konsisten dengan
ultimatumnya tanggal 18 Agustus 1945. Di legislatif umat Kristen sangat gigih
dalam berusaha menggagalkan setiap usaha pengesahan Undang-undang yang
diinginkan kaum Muslim untuk dapat lebih mentaati ajaran-ajaran
agama.
Penerimaan tokoh-tokoh Islam ketika itu, un-tuk mencoret tujuh
kata dalam Piagam Jakarta, karena pertimbangan-pertimbangan situasional. Namun
setelah itu usaha terus dilanjutkan dalam Majelis Kontituante walaupun selalu
gagal. Perjuangan harus tetap dilanjutkan.
Prof. Kasman Singodimedjo
mengatakan, Ki Bagus Hadikoesoemo sampai meninggal dalam penantiannya akan
kembalinya Piagam Jakarta. Lalu Prof. Kasman dalam biografinya menyatakan :
“Piagam Jakarta sebenarnya merupakan Gentlemen’s A-greement dari
bangsa ini. Sayang, kalau generasi selanjutnya justru mengingkari
sejarah.”
Pelajaran dari Kecurangan Kristen
Dalam
perjalanannya, Kristen seringkali melanggar peraturan dan kesepakatan dalam tata
cara penyiaran agama. Sikap inilah yang menyulut konflik Islam-Kristen tiada
henti-hentinya. Uraian sebelumnya membuktikan ketidak-konsistenan pihak Kristen
pada kesepakatan yang telah dicapai, ternyata, sikap semacam ini, juga pernah
dilakukan pada masa perang Salib ketika dia-dakan perjanjian genjatan senjata,
mereka membantai orang-orang Islam yang akan pergi haji.
Begitu juga
dengan Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri tahun 1969 dan SK Menteri Agama no
70 dan no 78, tentang pendirian gereja dan tata cara penyiaran agama, banyak
gereja dan kegiatan misionaris yang melanggar peraturan.
Pada tahun 1999,
DPR telah memutuskan :
“Setiap peserta didik, berhak mendapatkan
pelajaran agama dari seorang guru yang seagama dengan murid yang diajarnya”
RUU Sisdiknas pasal 22
Dan pada tahun 2003, DPR juga memutuskan
:
“Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak
mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya, dan diajarkan
oleh pendidik yang dianutnya” RUU Sisdiknas pasal 13 ayat 1
Namun,
umat Kristen lagi-lagi melanggarnya, dengan tidak mau menyediakan guru agama
Islam. Semestinya, kita sudah dapat belajar dari tindak-tanduk agama Kristen
yang terbiasa melanggar peraturan, kita sebenarnya bisa untuk menyeretnya dalam
peradilan di Indonesia ini. Memang sulit karena birokrasi yang berbelit-belit,
tapi kita harus mulai mencobanya. Minimal, dunia tahu bahwa umat Kristen suka
melanggar peraturan.
Seharusnya kita jangan membalas kesalahannya dengan
melakukan tindakan-tindakan anarkis, misalnya, dengan merusak gereja, karena
tindakan seperti ini akan menutupi kesalahan awal pihak Kristen, dan kesan yang
nampak di media masa adalah, Islam agama yang brutal dan Kristen agama
terdzalimi, yang tentu saja akan merugikan serta merusak citra umat
Islam.
Dalam perang salib, Islam menang secara me-ngagumkan dan mendapat
simpati dunia, ketika itu Islam dapat menyikapi dengan baik
pelanggar-an-pelanggaran pihak Kristen. Tidak membalasnya dengan pelanggaran.
Film Kingdom of Heaven produksi Hollywood 2005, adalah sebagai bukti
simpati dunia kepada Islam pada perang Salib.
PIAGAM
JAKARTA
Bahwa sesungguhnja kemerdekaan itu jalah hak segala bangsa,
dan oleh sebab itu maka pendjadjahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak
sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.
Dan perdjuangan
pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampai (lah) kepada saat jang berbahagia
dengan selamat-sentausa mengantarkan rakjat Indonesia kedepan pintu gerbang
Negara Indonesia jang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas
berkat Rahmat Allah Jang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan
luhur, supaja berkehidupan kebangsaan jang bebas, maka rakjat Indonesia
menjatakan dengan ini kemerdekaannja.
Kemudian dari pada itu untuk
membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia Merdeka jang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah-darah Indonesia, dan untuk memadjukan
kesedjahteraan umum, mentjerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia jang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Hukum
Dasar Negara Indonesia, jang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik
Indnesia, jang berkedaulatan rakjat, dengan berdasar kepada: keTuhanan, dengan
kewadjiban mendjalankan sjari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknja,
menurut dasar kemanusiaan jang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan
kerakjatan jang dipimpin oleh hikmat kebidjaksanaan dalam permusjawaratan
perwakilan, serta dengan mewudjudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakjat
Indonesia.
Djakarta, 22 Juni 1945
Ir. Soekarno
Mohammad Hatta
A.A. Maramis
Abikusno Tjokrosujoso
Abdulkahar Muzakir
H.A.
Salim
Achmad Subardjo
Wachid Hasjim
Muhammad
Yamin
Wachid Hasyim, Dr. Muhammad Natsir, Ki Bagus Hadikoesoemo
dan tokoh-tokoh Islam lainnya, adalah tokoh-tokoh yang fakih dalam agamanya yang
berusaha keras agar umat Islam dapat menjalankan Syariat Islam, dan mereka satu
suara dalam memperjuangkan syariat Islam, namun, sejarah telah mencatat,
perjuangan beliau-beliau belumlah final bahkan bisa dikatakan gagal bila
ditinjau dari segi ada tidak adanya syariat Islam.
Apalagi sekarang,
kefakihan kita dalam beragama kemungkin-an jauh di bawah beliau-beliau, dan
suara Islam sudah terpecah, sebagian ingin tetap memperjuang-kan kembalinya
‘tujuh kata’, dan sebagian lagi acuh bahkan menentang kembalinya ‘tujuh kata’.
Tentu, akan lebih sulit bagi kita untuk dapat mengembalikan ‘tujuh kata’ yang
dicoret tersebut.
Namun mengembalikan Piagam Jakarta, adalah cara yang
diharapkan dapat efektif falam rangka usa ha untuk menerapkan sebagian besar
syariat Islam di negeri ini, mengembalikan Piagam Jakarta tidak akan dicap
pemberontak karena hal itu tidak melanggar konstitusi, kembalinya tujuh kata ke
dalam Pia gam Jakarta, masih sangat terbuka luas keberhasilannya, Namun perlu
orang-orang pejuang agama yang intelek, berwawasan luas, mengerti sejarah,
mengerti gerak-gerik musuh, mengerti duduk permasalahan, mengerti konflik
peradaban.
Dan itu tidak dapat dipikul oleh satu orang atau sekelompok
orang, tapi harus oleh umat Islam. Kalau kita mau menyisihkan uang belanja
beberapa persen saja untuk membeli buku dan mau mengorbankan sebagian waktu
menonton TV untuk membaca buku, Insya Allah, sedikit demi sedikit akan terbentuk
generasi pejuang agama yang intelek. Kalau mengembalikan ‘tujuh kata’ tidak
dapat kita capai sekarang ini, setidak-tidaknya kita telah mempersiapkan untuk
generasi penerus kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar