Sepeninggal Nurcholish Madjid (Cak Nur) yang disebut-sebut sebagi pelopor paham
sekulerisme, pluralisme dan liberalisme di Indonesia, para pengikut dan
pengusung paham SEPILIS (akronim sekulerisme, pluralisme dan liberalisme) bukan
makin surut tapi tampaknya makin subur. Sepertinya mereka memanfaatkan situasi
meninggalnya Cak Nur sebagai momentum untuk lebih memberdayakan gerakan SEPILIS.
Tak tanggung-tanggung mereka menyebut Cak Nur sebagai "Bapak Pluralisme dan
Toleransi" serta bertekad akan melanjutkan perjuangannya.
Kalau Cak Nur
masih malu-malu menyatakan dirinya sebagai penganut paham liberalis-pluralis,
para juniornya sudah terang-terangan menyebut dirinya penganut paham SEPILIS,
bahkan berani vulgar menghujat pihak yang mereka anggap tidak sejalan dengan
paham mereka. (Ingat makian Ulil Abshar Abdalla terhadap fatwa MUI yang
mengharamkan sekulerisme, pluralisme dan liberalisme agama).
Belum
lama ini, sebuah kantor berita radio di Jakarta yang biasa menjadi corong
Jaringan Islam Liberal (JIL) menyiarkan semacam 'Manifesto JIL', yang intinya
mengajak mendiskusikan "pelbagai kemungkinan lain bagi aneka masalah keagamaan
yang oleh banyak orang dianggap telah baku, tuntas, karena tidak mungkin, selain
tak ada manfaatnya dipersoalkan atau ditinjau ulang. Pada hemat kami, banyak di
antara ihwal keagamaan tersebut terbuka untuk direnungkan dan didiskusikan
kembali. Kami menganggap banyak di antara doktrin-doktrin keagamaan tersebut
yang perlu dilihat secara jernih dan tajam. Digeledah fakta-fakta sejarahnya,
dilacak asal-usul dan argumen-argumen pembentukan pembakuannya, dicermati
maksud-maksud pokoknya yang dapat berbeda dari bunyi teksnya di permukaan.
Ditimbang relevansi dengan situasi kekinian.
Ringkasnya, supaya agama
sebagai sumber nilai berjalan seiring dengan kemanusiaan universal atau bahkan
menjadi pedoman yang wajar dalam ilhami perilaku hidup manusia di banyak bidang,
sebagai individu dan anggota masyarakat. Semua itu berlaku untuk aspek-aspek
sosial atau publik muamalah agama ini, bukan segi-segi peribadatan dan
tatacaranya yang merupakan urusan pribadi masing-masing dan memang bukan pusat
perhatian JIL.
Bahwa kemudian ide-ide JIL memunculkan kontroversi, itu
kami pandang sebagai resiko inheren, meski kontroversi pastilah bukan tujuan
kami. Sangat kami sayangkan bahwa kontroversi itu berkembang menjadi kekerasan
dan fitnah. Kini JIL menjadi sasaran empuk bagi aneka fitnah. Segala ide yang
dianggap nyleneh dinisbahkan kepada JIL, padahal mungkin JIL sendiri bukan hanya
tak pernah berpendapat demikian tapi bahkan tidak setuju dengan ide-ide itu. JIL
malah dijadikan nama generik untuk segala ide yang dipandang buruk tentang
agama."
Indah nian gaya bahasa yang digunakan. Tapi keindahan bahasa saja
tentu tidak menjamin kebenaran isinya. Sebab ide yang nyleneh dari salah seorang
pentolan JIL, Luthfie Assyaukanie, dapat dilacak di website JIL yang melecehkan
Al Quran dan para ulama yang merupakan pewaris Nabi.
"Sebagian besar kaum
Muslimin meyakini bahwa al-Qufan dari halaman pertama hingga terakhir merupakan
kata-kata Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw secara verbatim,
baik kata-katanya (lafzhan) maupun maknanya (ma'nan). Keyakinan semacam itu
sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal
ad-din) yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari formulas!
doktrin-doktrin Islam."
Jelas ini merupakan upaya dekonstruksi sumber
utama ajaran Islam. Dekonstruksi semacam ini sudah tergolong suatu penghinaan,
karena meragukan keabsahan Al Quran. Padahal Allah sendiri secara tegas
menyatakan bahwa Al Quran tidak ada keraguan di dalamnya dan Allah pun menjamin
keotentikannya hingga hari kiamat
Banyak lagi ide-ide nyleneh dari
pentolan-pentolan pengusung JIL yang terang-terangan melecehkan Al Quran,
melecehkan Nabi Muhammad, dan ujung-ujungnya menghina Islam. Ulil Abshar
Abdalla, Siti Musdah Mulia, Zainun Kamal sama berpendapat bahwa perkawinan beda
agama, terutama pernikahan seorang wanita Muslimah dengan laki-laki non-Muslim
adalah sah menurut hukum Islam, padahal jelas-jelas di dalam Al Quran Allah
melarang jenis pernikahan itu.
Sukidi Mulyadi memproklamirkan 'pluralisme
agama sudah merupakan hukum Tuhan yang harus diterima dan 'hukumTuhan itu tak
mungkin berubah lagi' (Jawa Pos, 11/1/2004). Ulil menggugat keotentikan Al Quran
dan menyerang substansinya ("Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam" dalam Kompas,
18/ 11/2002). Ia juga menyatakan 'semua agama sama, semuanya menuju jalan
kebenaran', sehingga Islam bukan agama yang paling benar (Gatra,
21/12/2002).
Sumanto al-Qurtuby menyatakan dalam bukunya, Lobang Hitam
Agama, adalah keliru orang menganggap Al Quran itu suci, kesucian yang
dilekatkan pada Al Quran adalah 'kesucian palsu'. Hakikat Al Quran, menurut
Sumanto, bukanlah teks verbal yang memuat 6666 ayat bikinan Usman melainkan
'gumpalan-gumpalan gagasan'. Tak puas hanya melecehkan Al Quran, ia juga
melecehkan Nabi Muhammad dan para sahabat, bahwa 'al-Qurxan hanyalah berisi
semacam spirit ketuhanan yang kemudian dirumuskan redaksinya oleh Nabi Muhammad
saw', bahwa 'Nabi, para sahabat dan pengalaman komunitas Makkah dan Madinah
(tajribatul Madinah wa Makkah) pada hakikatnya adalah co-author karena ikut
menciptakan al-Qurxan'.
Umat Islam memang wajib mewaspadai sikap
permissif yang kebablasan, mewaspadai jalan pikiran segelintir orang yang
mengaku Muslim tapi menganggap akalnya berada di atas segala-galanya. Dengan
cara akal-akalan mereka menggiring Islam sebagai sumber nilai agar berjalan
seiring dengan kemanusiaan universal, bukan sebaliknya agar kemanusiaan berjalan
seiring || dengan tuntunan nilai-nilai Islam yang universal. Jadi, dalam benak
mereka, nilai-nilai Islam bukan menjadi pedoman bagi kemanusiaan universal,
melainkan harus tunduk dan mengintil-ngintil di belakang kemanusiaan
universal.
Menurut orang JIL, umat Islam tidak seharusnya hidup sebagai
kelompok yang terpisah dari kelompok masyarakat lainnya. Sebagai contoh, mereka
memandang Muslimah yang berbusana menutupi auratnya sebagai 'memisahkan diri'
dari kelompok masyarakat lain, sementara para wanita yang berbusana buka-bukaan
memamerkan bagian-bagian tubuhnya (dada, pusar, paha) tidak dinilai 'memisahkan
diri' dari kelompok masyarakat lain, bahkan dianggap itulah masyarakat universal
yang berlandaskan humanisme. Para pengusung Islam Liberal memang menganggap
busana wanita yang menutupi aurat merupakan budaya Bangsa Arab, bukan wajib
hukumnya bagi Muslimah. Luasan maknanya, umat Islam harus menanggalkan tuntunan
Al Quran dan menggantinya dengan humanisme, agar dapat diterima menjadi anggota
masyarakat universal.
Sangat disayangkan bahwa organisasi-organisasi
besar Islam di negeri ini, seperti NU dan Muhammadiyah, tidak berani mengambil
sikap yang tegas terhadap anggotanya hanyut dalam sikap permissif yang nyleneh.
Ulil Abshar Abdalla adalah kader andalannya Gus Dur, Sukidi Mulyadi adalah
aktivis muda Muhammadiyah.
Jelas ini suatu kelemahan dan bila kelemahan
tersebut tidak segera dibenahi, tidak mustahil akan berlaku adagium yang
berbunyi: Al-bathilu bi al-nizham sayaghlibu al-haqq bila nizham - Kebatilan
yang terorganisasi dengan rapi dan dikelola dengan cekatan akan mengalahkan
kebenaran yang dibiarkan amburadul.(amanahonline)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar