Saat ini, liberalisasi nilai-nilai dan ajaran Islam di Indonesia benar-benar
sudah sampai pada taraf yang sangat ajaib dan menjijikkan. Orang-orang yang
bergelut dalam bidang studi Islam tidak segan-segan lagi menghancurkan ajaran
agama yang sudah jelas dan qath’iy. Sementara, institusi pendidikan tinggi Islam
seperti tidak berdaya, membiarkan semua kemungkaran itu terjadi di
lingkungannya.
Pekan lalu, saya menerima kiriman buku dari Semarang
berjudul Indahnya Kawin Sesama Jenis: Demokratisasi dan Perlindungan Hak-hak
Kaum Homoseksual, (Semarang:Lembaga Studi Sosial dan Agama/eLSA, 2005). Buku ini
adalah kumpulan artikel di Jurnal Justisia Fakultas Syariah IAIN Semarang edisi
25, Th XI, 2004.
Buku ini secara terang-terangan mendukung, dan mengajak
masyarakat untuk mengakui dan mendukung legalisisasi perkawinan homoseksual.
Bahkan, dalam buku ini ditulis strategi gerakan yang harus dilakukan untuk
melegalkan perkawinan homoseksual di Indonesia, yaitu (1) mengorganisir kaum
homoseksual untuk bersatu dan berjuang merebut hak-haknya yang telah dirampas
oleh negara, (2) memberi pemahaman kepada masyarakat bahwa apa yang terjadi pada
diri kaum homoseksual adalah sesuatu yang normal dan fithrah, sehingga
masyarakat tidak mengucilkannya bahkan sebaliknya, masyarakat ikut terlibat
mendukung setiap gerakan kaum homoseksual dalam menuntut hak-haknya, (3)
melakukan kritik dan reaktualisasi tafsir keagamaan (tafsir kisah Luth dan
konsep pernikahan) yang tidak memihak kaum homoseksual, (4) menyuarakan
perubahan UU Perkawinan No 1/1974 yang mendefinisikan perkawinan harus antara
laki-laki dan wanita.” (hal. 15)
Kita tidak tahu, apakah para penulis
yang merupakan mahasiswa-mahasiswa fakultas Syariah IAIN Semarang itu merupakan
kaum homo atau tidak. Tetapi, umat Islam tentu saja dibuat terbelalak dan
terperangah dengan berbagai tulisan yang ada di buku ini. Betapa tidak,
anak-anak ini dengan beraninya melakukan ijtihad dan merumuskan hukum baru dalam
Islam, bahwa aktivitas homoseks dan lesbian adalah normal dan halal, sehingga
perlu disahkan dalam satu bentuk perkawinan.
Masalah perkawinan memang
senantiasa menjadi sasaran liberalisasi agama. Ketika hukum-hukum yang sudah
pasti – seperti haramnya muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim – dirombak
oleh sejumlah dosen IAIN/UIN, seperti Zainun Kamal dan Musdah Mulia – maka
logika yang sama bisa digunakan untuk merombak hukum-hukum lain di bidang
perkawinan, dengan alasan perlindungan Hak Asasi Manusia kaum homoseks. Bahkan,
mereka berani membuat tafsir baru atas ayat-ayat Al-Quran, dengan membuat
tuduhan-tuduhan keji terhadap Nabi Luth.
Seorang penulis dalam buku ini,
misalnya, menyatakan, bahwa pengharaman nikah sejenis adalah bentuk kebodohan
umat Islam generasi sekarang karena ia hanya memahami doktrin agamanya secara
given, taken for granted, tanpa ada pembacaan ulang secara kritis atas doktrin
tersebut. Si penulis kemudian mengaku bersikap kritis dan curiga terhadap motif
Nabi Luth dalam mengharamkan homoseksual, sebagaimana diceritakan dalam Al-Quran
surat al-A’raf :80-84 dan Hud :77-82). Semua itu, katanya, tidak lepas dari
faktor kepentingan Luth itu sendiri, yang gagal menikahkan anaknya dengan dua
laki-laki, yang kebetulan homoseks.
Ditulis dalam buku ini sebagai
berikut:
‘’Karena keinginan untuk menikahkan putrinya tidak kesampaian,
tentu Luth amat kecewa. Luth kemudian menganggap kedua laki-laki tadi tidak
normal. Istri Luth bisa memahami keadaan laki-laki tersebut dan berusaha
menyadarkan Luth. Tapi, oleh Luth, malah dianggap istri yang melawan suami dan
dianggap mendukung kedua laki-laki yang dinilai Luth tidak normal. Kenapa Luth
menilai buruk terhadap kedua laki-laki yang kebetulan homo tersebut? Sejauh yang
saya tahu, al-Quran tidak memberi jawaban yang jelas. Tetapi kebencian Luth
terhadap kaum homo disamping karena faktor kecewa karena tidak berhasil
menikahkan kedua putrinya juga karena anggapan Luth yang salah terhadap kaum
homo.” (hal. 39)
Sejak kecil, anak-anak kita sudah diajarkan untuk
menghafal dan memahami rukun iman. Salah satunya, adalah beriman kepada Nabi dan
Rasul, termasuk sifat-sifat wajib yang dimiliki oleh para Nabi. Yaitu, bahwa
para Nabi itu merupakan orang yang jujur, amanah, cerdas, dan menyampaikan
risalah kenabian. Mereka juga berifat ma’shum, terjaga dari kesalahan. Tetapi,
dengan metode pemahaman historis-kritis ala hermeneutika modern, semua itu bisa
dibalik. Kisah Nabi Luth, misalnya, dianalisis secara asal-asalan oleh anak IAIN
ini. Dan hasilnya, Nabi Luth digambarkan sebagai sosok yang emosional dan tolol.
Dikatakannya dalam buku ini:
“Luth yang mengecam orientasi
seksual sesama jenis mengajak orang-orang di kampungnya untuk tidak mencintai
sesama jenis. Tetapi ajakan Luth ini tak digubris mereka. Berangkat dari
kekecewaan inilah kemudian kisah bencana alam itu direkayasa. Istri Luth,
seperti cerita Al-Quran, ikut jadi korban. Dalam Al-Quran maupun Injil,
homoseksual dianggap sebagai faktor utama penyebab dihancurkannya kaum Luth,
tapi ini perlu dikritisi… saya menilai bencana alam tersebut ya bencana alam
biasa sebagaimana gempa yang terjadi di beberapa wilayah sekarang. Namun karena
pola pikir masyarakat dulu sangat tradisional dan mistis lantas bencana alam
tadi dihubung-hubungkan dengan kaum Luth…. ini tidak rasional dan terkesan
mengada-ada. Masa’, hanya faktor ada orang yang homo, kemudian terjadi bencana
alam. Sementara kita lihat sekarang, di Belanda dan Belgia misalnya, banyak
orang homo nikah formal… tapi kok tidak ada bencana apa-apa.” (hal.
41-42).
Tentu saja, penafsiran anak IAIN ini sangat liar, karena ia tidak
menggunakan metodologi tafsir yang benar. Disamping ayat-ayat Al-Quran,
seharusnya, dia juga menyimak berbagai hadits Nabi Muhammad saw tentang
homoseksual ini. Begitu juga para sahabat dan para ulama Islam terkemuka. Tapi,
bisa jadi, si anak ini sudah terlalu kurang ajar dan tidak lagi mempunyai adab
dalam mengakui kesalehan dan kecerdasan para Nabi, termasuk para sahabat Nabi.
Pada catatan yang lalu, kita sudah memahami, bagaimana mereka mencaci-maki
sahabat Nabi seenak perutnya sendiri.
Dengan sedikit bekal ilmu syariah
yang dimilikinya, si penulis berani ‘berijtihad’ membuat hukum baru dalam Islam,
dengan terang-terangan menghalalkan perkawinan homoseksual. Menurutnya, karena
tidak ada larangan perkawinan homoseksual dalam Al-Quran, maka berarti
perkawinan itu dibolehkan. Katanya, ia berpedoman pada kaedah fiqhiyyah,
“’adamul hukmi huwa al-hukm” (tidak adanya hukum menunjukkan hukum itu sendiri).
Logika anak IAIN ini jelas sangat tidak beralasan dan berantakan. Di
dalam Al-Quran juga tidak ada larangan kawin dengan anjing, babi, atau monyet.
Dengan logika yang sama, berarti anak-anak Fakultas Syariah IAIN Semarang itu
juga dibolehkan menikah dengan anjing, babi, atau monyet. Kita tunggu saja,
mungkin sebentar lagi, mereka akan meluncurkan buku “Indahnya Menikah dengan
Monyet”. Bukankah monyet juga mempunyai Hak Asasi untuk menikah dengan mahasiswa
Syariah IAIN Semarang itu?
Tentang Kisah Luth sendiri, Al-Quran sudah
memberikan gambaran jelas bagaimana terkutuknya kaum Nabi Luth yang merupakan
pelaku homoseksual ini.
“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada
kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya: “Mengapa kalian
mengerjakan perbuatan fahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang
pun sebelum kalian. Sesungguhnya kalian mendatangi laki-laki untuk melepaskan
syahwat, bukan kepada wanita; malah kalian ini kaum yang melampaui batas. Jawab
kaumnya tidak lain hanya mengatakan: “Usirlah mereka dari kotamu ini,
sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri.
Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali istrinya; dia
termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan Kami turunkan kepada
mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang
berdosa itu.” (QS Al-A’raf:80-84).
Para mufassir Al-Quran selama ratusan
tahun tidak ada yang berpendapat seperti anak-anak ‘kemarin sore’ yang berlagak
menjadi mujtahid besar di abad ini, meskipun baru mengecap bangku kuliah S-1 di
Fakultas Syariah IAIN Semarang itu. Orang yang memahami bahasa Arab pun tidak
akan keliru dalam menafsirkan ayat tersebut. Bahwa memang kaum Nabi Luth adalah
kaum yang berdosa karena mempraktikkan perilaku homoseksual. Hukuman yang
diberikan kepada mereka, pun dijelaskan, sebagai bentuk siksaan Allah, bukan
sebagai bencana alam biasa. Tidak ada sama sekali penjelasan bahwa Nabi Luth
dendam pada kaumnya karena tidak mau mengawini kedua putrinya. Tafsir homo ala
anak IAIN Semarang yang menghina Nabi Luth itu benar-benar sebuah fantasi
intelektual untuk memaksakan pehamamannya yang pro-homoseksual.
Dalam
Islam maupun Kristen, hingga kini, praktik homoseksual tetap dipandang sebagai
tindakan bejat. Nabi Muhammad saw bersabda, “Siapa saja yang menemukan pria
pelaku homoseks, maka bunuhlah pelakunya tersebut.” (HR Abu Dawud, at-Tirmizi,
an-Nasai, Ibnu Majah, al-Hakim, dan al-Baihaki). Imam Syafii berpendapat, bahwa
pelaku homoseksual harus dirajam (dilempari batu sampai mati) tanpa membedakan
apakah pelakunya masih bujangan atau sudah menikah. Dalam Pidatonya pada malam
Tahun Baru 2006, Paus Benediktus XVI juga menegaskan kembali tentang terkutuknya
perilaku homoseksual.
Gerakan legalisasi homoseksual yang dilakukan para
mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Semarang – dan mendapatkan legalisasi dari
Institusinya – merupakan fenomena baru dalam gerakan legalisasi homoseksual di
Indonesia. Di dunia Islam pun, gerakan semacam ini, belum ditemukan. Hal semacam
ini merupakan sesuatu yang “unthought”, yang tidak terpikirkan selama ini; bahwa
dari lingkungan Fakultas Syariah Perguruan Tinggi Islam justru muncul gerakan
untuk melegalkan satu tindakan bejat yang selama ribuan tahun dikutuk oleh
agama.
Tentulah, gerakan homoseksual dari lingkungan kampus Islam,
merupakan tindakan kemungkaran yang jauh lebih bahaya dari gerakan legalisasi
homoseks yang selama ini sudah gencar dilakukan kaum homoseksual sendiri.
Dalam catatan penutup buku ini dimuat tulisan berjudul “Homoseksualitas
dan Pernikahan Gay: Suara dari IAIN”. Penulisnya, mengaku bernama Mumu,
mencatat, “Ya, kita tentu menyambut gembira upaya yang dilakukan oleh Fakultas
Syariah IAIN Walisongo tersebut.”
Juga dikatakan: “Hanya orang primitif
saja yang melihat perkawinan sejenis sebagai sesuatu yang abnormal dan
berbahaya. Bagi kami, tiada alasan kuat bagi siapapun dengan dalih apapun, untuk
melarang perkawinan sejenis. Sebab, Tuhan pun sudah maklum, bahwa proyeknya
menciptakan manusia sudah berhasil bahkan kebablasan.”
Membaca buku ini,
kita jadi bertanya-tanya, sudah begitu bobrokkah institusi pendidikan tinggi
Islam kita? Sampai-sampai sebuah Fakultas Syariah IAIN menjadi sarang gerakan
legalisasi tindakan amoral yang jelas-jelas bejat dan bertentangan dengan ajaran
agama? Wallahu a’lam. (Kuala Lumpur, 19 Januari 2006/hidayatullah.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar