



counter_liberalisme
desember_2005
FEBRUARI_2006
januari_2006
journey
mcb_swaramuslim_01
mcb_swaramuslim_02
mcb_swaramuslim_03
mcb_swaramuslim_04
mcb_swaramuslim_05
muallaf2005
"Sebuah temuan yang diumumkan sebagai penemuan terbesar di bidang antropologi selama seabad telah terpuruk dan menjadi salah satu sengketa tersengit di bidang itu." (1)Perkembangan yang menyulut api perselisihan tersebut adalah adanya para pakar lain yang mendukung pandangan para ilmuwan Indonesia yang berkeberatan atas dikemukakannya H. floresiensis sebagai suatu spesies tersendiri yang terpisah dari Homo sapiens. Yang terkemuka dari sederetan ilmuwan tersebut adalah ilmuwan Australia Dr. Maciej Henneberg dan Dr. Alan Thorne, dan para peneliti dari Field Museum Chicago di Amerika.
"Hingga tambahan tulang-tulang lain dari 'spesies baru' dugaan ini diketemukan, saya akan tetap menyatakan bahwa suatu kondisi yang sudah sangat dikenal yang diakibatkan oleh penyakitlah yang menjadi penyebab timbulnya penampakan khusus dari rangka tersebut." (3)
"Satu-satunya tengkorak adalah milik seorang perempuan yang menderita microcephaly, suatu kelainan yang jarang terjadi yang berakibat pada kepala dan otak yang berukuran kecil. Microcephaly menyebabkan wajah tumbuh pada laju yang normal, tapi kepalanya tidak. Orang [tersebut] akhirnya berdahi miring dan tanpa dagu -- persis seperti Hobbit." (5) (Hobbit: Julukan untuk Manusia Flores yang diambil dari film The Lord of the Rings.)Karena sejumlah sanggahan ini, tidak beralasannya penggambaran Manusia Flores sebagai suatu spesies tersendiri yang terpisah dari H. sapiens sekali lagi terungkap. Pengkajian oleh Henneberg sudah pasti berperan besar dalam hal ini: karena individu H. sapiens yang berusia 4.000 tahun dikabarkan telah menderita kelainan microcephaly, lalu mengapa Manusia Flores, dengan ukuran tengkorak yang sama, digambarkan sebagai suatu spesies yang berbeda?
"Minggu yang lain, dan perseteruan yang lain lagi di kalangan ilmuwan tentang sejumlah tulang kuno dan pernyataan tentang telah ditemukannya suatu spesies manusia baru yang lain lagi. Kali ini perselisihan tersebut tertuju pada penemuan tulang belulang berusia 18.000 tahun milik sejenis manusia dengan tinggi badan 3 kaki di pulau Flores, Indonesia.
... para ilmuwan yang menggalinya telah menerbitkan makalah di jurnal Nature, mengumumkannya sebagai suatu spesies baru manusia, dan memberinya nama Latin yang terdengar indah: Homo floresiensis.
Kemudian, sebagaimana kebiasaan lama, para ilmuwan lain bermunculan untuk membantah klaim tersebut sebagai terlalu dini. Seorang pakar terkemuka di bidang palaeoanatomi mengatakan kepada jurnal tandingan Science bahwa tengkorak berusia 18.000 tahun yang seukuran dengan jeruk besar tersebut mirip dengan tengkorak yang ditemukan di pulau Kreta yang merupakan milik spesimen berusia 4.000 tahun dari jenis Homo sapiens kuno yang sudah terlalu sering, dengan microcephaly sekunder, suatu keadaan yang ditandai dengan tengkorak yang secara tidak wajar berukuran kecil.
... Microcephaly sekunder memiliki banyak sekali penyebab, mulai dari infeksi virus selama kehamilan hingga luka atau kekurangan gizi ketika baru lahir. Spesimen-spesimen tersebut ditemukan di sebuah gua di suatu pulau. Siapakah yang bisa mengatakan bahwa pulau itu belum pernah dilanda wabah virus 18.000 tahun lalu yang menyebabkan berjangkitnya kelainan tersebut? Atau mungkin penghuni [pulau itu] telah terkena wabah itu di tempat lain di gugusan kepulauan Indonesia, dan telah diusir ke Flores karena penampakan mereka yang aneh.
Atau mungkin saja bahwa mereka yang mengidap microcephaly sekunder dapat bertahan hidup dan bahkan beranak pinak: kelainan itu tidak selalu harus dihubungkan dengan kecerdasan yang rendah. Sebenarnya, [tingkat kecerdasan] bukan dikarenakan ukuran otak yang kecil saja: penentu terpenting adalah jumlah bagian [otak yang berwarna] abu-abu. Karena bagian ini tidak terawetkan pada sisa-sisa peninggalan fosil, kita tidak memiliki gambaran apakah para "hobbit" tersebut cerdas, bodoh atau biasa saja. Apa yang jelas adalah bahwa para palaeontolog terlalu bernafsu mendasarkan klaim besar pada bukti yang sudah dipastikan sangat kurang. Ini adalah kecenderungan kuat yang tidak begitu membantu mereka di masa lalu. Pada tahun 1922, pakar fosil Amerika, Henry Fairfield Osborn menjadi judul utama pemberitaan dengan mengumumkan penemuan tentang apa yang ia nyatakan sebagai kera mirip manusia pertama yang pernah ditemukan di Amerika, yang ia beri nama Hesperopithecus ( yang berarti "Ape from the Land of the Evening Sun" atau Kera dari Daratan Matahari Sore").
Ilmuwan anatomi terkenal Profesor Grafton Elliot Smith dari London University melangkah lebih jauh, ia bersikukuh bahwa Hesperopithecus setidaknya merupakan "anggota paling awal dan paling primitif dari keluarga manusia yang masih dapat ditemukan". Namun apakah bukti dari klaim yang lantang ini? Sebuah gigi tunggal yang sudah menjadi fosil yang ditemukan di Nebraska.
Tanggapan Prof Smith kepada mereka yang meragukan kearifan berpegang pada bukti yang sangat sedikit sungguh mirip dengan apa yang kini sedang dilakukan oleh para penemu Manusia Hobbit dari Flores: "Orang akan memandang kesimpulan yang demikian sangat penting dengan keraguan", ujar Prof Smith, "jika saja bukan karena kepakaran para ilmuwan Amerika di bidang itu yang tidak perlu dipertanyakan lagi."
Gertakan itu tidak menyurutkan langkah the American Museum of Natural History untuk mencari bukti lebih lanjut. Bukti itu ditemukan di saat yang tepat di Nebraska, dan mengungkap bahwa "Hesperopithecus" tak lebih dari seekor babi punah. Prof Smith di kemudian hari menjadikan dirinya tenar dengan membuat gambar populer dari manusia Neanderthal sebagai manusia berpenampilan dungu yang sedang mengunyah tulang, sembari pula mendukung klaim bahwa potongan-potongan tengkorak yang ditemukan di Inggris pada tahun 1912 adalah milik nenek moyang tertua H. sapiens yang pernah diketahui. Di kemudian hari diketahui bahwa manusia Neanderthal "khas bikinan" Prof Smith sebenarnya adalah seorang pria yang diketahui pasti tidak bertubuh normal dan bungkuk karena menderita radang sendi. Sedangkan mengenai potongan tulang tengkorak, ternyata berasal dari sebuah lubang galian di Sussex yang dikenal sebagai Piltdown; kelanjutannya bisa dipahami.
Tampaknya, tak satu pun dari kejadian ini menyurutkan semangat para palaeontolog untuk terus mengkhayal tentang keberadaan lebih banyak lagi "spesies" di luar pohon kekerabatan manusia. Semua yang dibutuhkan adalah beberapa potongan tulang yang tidak biasa ditambah dengan kamus bahasa Latin yang bagus, dan tempat dalam sejarah palaeontologi pun akan diperoleh.
Semuanya tampak bergantung pada bisa tidaknya potongan tulang tersebut dianggap "tidak seperti biasanya" sehingga berada di luar batasan spesies mana pun yang diketahui. Orang ngeri membayangkan kesimpulan apa yang akan dicapai para palaeontolog jika mereka diberi tulang belulang seorang cebol zaman sekarang dan seorang penambang minyak dari Texas." (6)
"Mungkin tidak ada bidang ilmu pengetahuan yang lebih banyak dipenuhi persengketaan daripada pencarian tentang asal usul manusia. Para paleontolog terkemuka saling tidak sepakat bahkan mengenai bagan paling mendasar dari pohon kekerabatan manusia sekalipun. Cabang-cabang baru bermunculan di tengah-tengah keriuhan, hanya untuk kemudian layu dan mati di hadapan temuan-temuan fosil baru." (7)Akan tetapi, skenario khayal evolusi manusia, yang dipertahankan keberadaannya melalui propaganda, hasutan, pemutarbalikan fakta dan bahkan pemalsuan, akan pasti tersingkirkan di hadapan penemuan-penemuan ilmiah modern. Hal ini dikarenakan temuan ilmiah nyata mengungkap bahwa kehidupan terlalu rumit untuk dapat terbentuk melalui ketidaksengajaan, dan bahwa mekanisme mutasi acak dan seleksi alam tidak dapat menjelaskan keberadaan informasi genetik pada DNA suatu spesies. Klaim evolusi seputar masalah tersebut tidak lagi memiliki dasar ilmiah di hadapan penemuan-penemuan yang dibuat hampir setiap harinya. Karenanya tak dapat dihindarkan, upaya dari mereka yang meyakini bahwa memaparkan kisah khayal tentang masa lampau berdasarkan kemiripan antartulang sebagai ilmu pengetahuan akan berakhir dengan kegagalan.
Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur. (Al Qur'an, 32: 7-9)
"Sebuah temuan yang diumumkan sebagai penemuan terbesar di bidang antropologi selama seabad telah terpuruk dan menjadi salah satu sengketa tersengit di bidang itu." (1)Perkembangan yang menyulut api perselisihan tersebut adalah adanya para pakar lain yang mendukung pandangan para ilmuwan Indonesia yang berkeberatan atas dikemukakannya H. floresiensis sebagai suatu spesies tersendiri yang terpisah dari Homo sapiens. Yang terkemuka dari sederetan ilmuwan tersebut adalah ilmuwan Australia Dr. Maciej Henneberg dan Dr. Alan Thorne, dan para peneliti dari Field Museum Chicago di Amerika.
"Hingga tambahan tulang-tulang lain dari 'spesies baru' dugaan ini diketemukan, saya akan tetap menyatakan bahwa suatu kondisi yang sudah sangat dikenal yang diakibatkan oleh penyakitlah yang menjadi penyebab timbulnya penampakan khusus dari rangka tersebut." (3)
"Satu-satunya tengkorak adalah milik seorang perempuan yang menderita microcephaly, suatu kelainan yang jarang terjadi yang berakibat pada kepala dan otak yang berukuran kecil. Microcephaly menyebabkan wajah tumbuh pada laju yang normal, tapi kepalanya tidak. Orang [tersebut] akhirnya berdahi miring dan tanpa dagu -- persis seperti Hobbit." (5) (Hobbit: Julukan untuk Manusia Flores yang diambil dari film The Lord of the Rings.)Karena sejumlah sanggahan ini, tidak beralasannya penggambaran Manusia Flores sebagai suatu spesies tersendiri yang terpisah dari H. sapiens sekali lagi terungkap. Pengkajian oleh Henneberg sudah pasti berperan besar dalam hal ini: karena individu H. sapiens yang berusia 4.000 tahun dikabarkan telah menderita kelainan microcephaly, lalu mengapa Manusia Flores, dengan ukuran tengkorak yang sama, digambarkan sebagai suatu spesies yang berbeda?
"Minggu yang lain, dan perseteruan yang lain lagi di kalangan ilmuwan tentang sejumlah tulang kuno dan pernyataan tentang telah ditemukannya suatu spesies manusia baru yang lain lagi. Kali ini perselisihan tersebut tertuju pada penemuan tulang belulang berusia 18.000 tahun milik sejenis manusia dengan tinggi badan 3 kaki di pulau Flores, Indonesia.
... para ilmuwan yang menggalinya telah menerbitkan makalah di jurnal Nature, mengumumkannya sebagai suatu spesies baru manusia, dan memberinya nama Latin yang terdengar indah: Homo floresiensis.
Kemudian, sebagaimana kebiasaan lama, para ilmuwan lain bermunculan untuk membantah klaim tersebut sebagai terlalu dini. Seorang pakar terkemuka di bidang palaeoanatomi mengatakan kepada jurnal tandingan Science bahwa tengkorak berusia 18.000 tahun yang seukuran dengan jeruk besar tersebut mirip dengan tengkorak yang ditemukan di pulau Kreta yang merupakan milik spesimen berusia 4.000 tahun dari jenis Homo sapiens kuno yang sudah terlalu sering, dengan microcephaly sekunder, suatu keadaan yang ditandai dengan tengkorak yang secara tidak wajar berukuran kecil.
... Microcephaly sekunder memiliki banyak sekali penyebab, mulai dari infeksi virus selama kehamilan hingga luka atau kekurangan gizi ketika baru lahir. Spesimen-spesimen tersebut ditemukan di sebuah gua di suatu pulau. Siapakah yang bisa mengatakan bahwa pulau itu belum pernah dilanda wabah virus 18.000 tahun lalu yang menyebabkan berjangkitnya kelainan tersebut? Atau mungkin penghuni [pulau itu] telah terkena wabah itu di tempat lain di gugusan kepulauan Indonesia, dan telah diusir ke Flores karena penampakan mereka yang aneh.
Atau mungkin saja bahwa mereka yang mengidap microcephaly sekunder dapat bertahan hidup dan bahkan beranak pinak: kelainan itu tidak selalu harus dihubungkan dengan kecerdasan yang rendah. Sebenarnya, [tingkat kecerdasan] bukan dikarenakan ukuran otak yang kecil saja: penentu terpenting adalah jumlah bagian [otak yang berwarna] abu-abu. Karena bagian ini tidak terawetkan pada sisa-sisa peninggalan fosil, kita tidak memiliki gambaran apakah para "hobbit" tersebut cerdas, bodoh atau biasa saja. Apa yang jelas adalah bahwa para palaeontolog terlalu bernafsu mendasarkan klaim besar pada bukti yang sudah dipastikan sangat kurang. Ini adalah kecenderungan kuat yang tidak begitu membantu mereka di masa lalu. Pada tahun 1922, pakar fosil Amerika, Henry Fairfield Osborn menjadi judul utama pemberitaan dengan mengumumkan penemuan tentang apa yang ia nyatakan sebagai kera mirip manusia pertama yang pernah ditemukan di Amerika, yang ia beri nama Hesperopithecus ( yang berarti "Ape from the Land of the Evening Sun" atau Kera dari Daratan Matahari Sore").
Ilmuwan anatomi terkenal Profesor Grafton Elliot Smith dari London University melangkah lebih jauh, ia bersikukuh bahwa Hesperopithecus setidaknya merupakan "anggota paling awal dan paling primitif dari keluarga manusia yang masih dapat ditemukan". Namun apakah bukti dari klaim yang lantang ini? Sebuah gigi tunggal yang sudah menjadi fosil yang ditemukan di Nebraska.
Tanggapan Prof Smith kepada mereka yang meragukan kearifan berpegang pada bukti yang sangat sedikit sungguh mirip dengan apa yang kini sedang dilakukan oleh para penemu Manusia Hobbit dari Flores: "Orang akan memandang kesimpulan yang demikian sangat penting dengan keraguan", ujar Prof Smith, "jika saja bukan karena kepakaran para ilmuwan Amerika di bidang itu yang tidak perlu dipertanyakan lagi."
Gertakan itu tidak menyurutkan langkah the American Museum of Natural History untuk mencari bukti lebih lanjut. Bukti itu ditemukan di saat yang tepat di Nebraska, dan mengungkap bahwa "Hesperopithecus" tak lebih dari seekor babi punah. Prof Smith di kemudian hari menjadikan dirinya tenar dengan membuat gambar populer dari manusia Neanderthal sebagai manusia berpenampilan dungu yang sedang mengunyah tulang, sembari pula mendukung klaim bahwa potongan-potongan tengkorak yang ditemukan di Inggris pada tahun 1912 adalah milik nenek moyang tertua H. sapiens yang pernah diketahui. Di kemudian hari diketahui bahwa manusia Neanderthal "khas bikinan" Prof Smith sebenarnya adalah seorang pria yang diketahui pasti tidak bertubuh normal dan bungkuk karena menderita radang sendi. Sedangkan mengenai potongan tulang tengkorak, ternyata berasal dari sebuah lubang galian di Sussex yang dikenal sebagai Piltdown; kelanjutannya bisa dipahami.
Tampaknya, tak satu pun dari kejadian ini menyurutkan semangat para palaeontolog untuk terus mengkhayal tentang keberadaan lebih banyak lagi "spesies" di luar pohon kekerabatan manusia. Semua yang dibutuhkan adalah beberapa potongan tulang yang tidak biasa ditambah dengan kamus bahasa Latin yang bagus, dan tempat dalam sejarah palaeontologi pun akan diperoleh.
Semuanya tampak bergantung pada bisa tidaknya potongan tulang tersebut dianggap "tidak seperti biasanya" sehingga berada di luar batasan spesies mana pun yang diketahui. Orang ngeri membayangkan kesimpulan apa yang akan dicapai para palaeontolog jika mereka diberi tulang belulang seorang cebol zaman sekarang dan seorang penambang minyak dari Texas." (6)
"Mungkin tidak ada bidang ilmu pengetahuan yang lebih banyak dipenuhi persengketaan daripada pencarian tentang asal usul manusia. Para paleontolog terkemuka saling tidak sepakat bahkan mengenai bagan paling mendasar dari pohon kekerabatan manusia sekalipun. Cabang-cabang baru bermunculan di tengah-tengah keriuhan, hanya untuk kemudian layu dan mati di hadapan temuan-temuan fosil baru." (7)Akan tetapi, skenario khayal evolusi manusia, yang dipertahankan keberadaannya melalui propaganda, hasutan, pemutarbalikan fakta dan bahkan pemalsuan, akan pasti tersingkirkan di hadapan penemuan-penemuan ilmiah modern. Hal ini dikarenakan temuan ilmiah nyata mengungkap bahwa kehidupan terlalu rumit untuk dapat terbentuk melalui ketidaksengajaan, dan bahwa mekanisme mutasi acak dan seleksi alam tidak dapat menjelaskan keberadaan informasi genetik pada DNA suatu spesies. Klaim evolusi seputar masalah tersebut tidak lagi memiliki dasar ilmiah di hadapan penemuan-penemuan yang dibuat hampir setiap harinya. Karenanya tak dapat dihindarkan, upaya dari mereka yang meyakini bahwa memaparkan kisah khayal tentang masa lampau berdasarkan kemiripan antartulang sebagai ilmu pengetahuan akan berakhir dengan kegagalan.
Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur. (Al Qur'an, 32: 7-9)
Darwinisme mengemukakan bahwa terdapat fosil-fosil
bentuk peralihan, namun kenyataannya tidak ditemukan ... Darwinisme mengemukakan
bukti ilmiah yang tidak absah ... Meskipun seluruh fosil yang telah ditemukan
dengan jelas membuktikan penciptaan, Darwinisme bersikukuh menyatakan hal yang
sama sekali bertolak belakang ... Teori ini berupaya
meyakinkan orang untuk mempercayai bahwa para seniman, ilmuwan dan profesor
dapat terbentuk sebagai hasil dari ketidaksengajaan, melalui pembentukan
protein-protein, yang memiliki peluang pembentukan secara kebetulan sebesar 1
per 10950, dengan kata lan "sebuah kemustahilan". Darwinisme bahkan
berusaha menjadikan orang percaya bahwa para profesor yang terbentuk dengan cara
seperti ini mendirikan universitas-universitas untuk mengkaji bagaimana diri
mereka sendiri muncul menjadi ada secara tidak disengaja atau
kebetulan.
Darwinisme menganggap kromosom di dalam sel makhluk hidup yang
mengandung kode informasi lebih banyak daripada sebuah perpustakaan raksasa
sebagai buah karya peristiwa kebetulan semata ... Teori ini menyatakan bahwa
kekuatan mahahebat dari peristiwa kebetulan menjadikan atom-atom yang tidak
dapat melihat, mendengar dan berpikir berubah menjadi manusia yang dapat
melihat, mendengar, merasakan, berpikir dan berkesadaran… Bagi Darwinisme,
peristiwa kebetulan atau ketidaksengajaan adalah tuhan yang melakukan
karya-karya luar biasa. Dalam uraian ini akan Anda pahami betapa mantra hitam
Darwinisme ini telah terhapuskan.1. Darwinisme tidak lagi mampu mengatakan bahwa protein dapat terbentuk melalui evolusi. Sebab peluang terbentuknya satu protein saja dengan urutan yang benar secara acak adalah 1 per 10950, sebuah angka yang menunjukkan kemustahilan secara matematis. 2. Darwinisme tidak lagi merujuk kepada fosil-fosil sebagai bukti terjadinya evolusi. Hal ini dikarenakan seluruh penggalian yang dilakukan di seluruh dunia dari pertengahan abad ke-19 hingga hari ini, tak satu pun dari "bentuk-bentuk peralihan" yang menurut para evolusionis seharusnya ada dalam jumlah jutaan ternyata tidak pernah ditemukan. Telah disadari bahwa bentuk-bentuk "mata rantai" ini tidak lain hanyalah sebuah kisah khayalan. 3. Para evolusionis berputus asa di hadapan fosil-fosil yang berjumlah tak berhingga yang telah berhasil digali hingga saat ini. Hal ini disebabkan semua fosil-fosil ini memiliki seluruh ciri-ciri yang mendukung dan membuktikan penciptaan. 4. Para evolusionis tidak lagi mampu menyatakan bahwa Archaeopteryx adalah nenek moyang burung, sebab penelitian terkini terhadap fosil-fosil Archaeopteryx telah sama sekali menggugurkan pernyataan bahwa Archaeopteryx adalah makhluk "setengah-burung." Telah diketahui bahwa Archaeopteryx memiliki struktur anatomi dan otak yang sempurna yang diperlukan untuk terbang, dengan kata lain Archaeopteryx adalah seekor burung sejati, dan "dongeng khayal tentang evolusi burung" tidak lagi dapat dipertahankan keabsahannya. 5. Darwinisme tidak lagi dapat menggunakan urutan palsu yang dikenal sebagai "silsilah evolusi kuda." Telah diketahui bahwa urutan silsilah palsu ini tersusun dari sejumlah spesies terpisah yang hidup di zaman yang berbeda dan di wilayah yang berbeda. 6. Darwinisme tidak lagi dapat menggunakan fosil yang dikenal sebagai Coelocanth untuk mendukung dongeng khayal peralihan dari air ke darat, sebab sejak pernyataan tersebut dikemukakan diketahui bahwa makhluk ini, yang sebelumnya dikukuhkan sebagai bentuk peralihan yang punah, ternyata ikan yang menghuni dasar lautan yang kini masih hidup, dan lebih dari 200 ikan hidup dari jenis tersebut hingga kini telah berhasil ditangkap. 7. Darwinisme tidak mampu lagi menyatakan bahwa makhluk hidup seperti Ramapithecus dan serangkaian Australopithecus (A. Bosei, A. Robustus, A. Aferensis, Africanus dst.) adalah para nenek moyang manusia. Hal ini disebabkan penelitian terhadap fosil-fosil ini telah memperlihatkan bahwa semua makhluk ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan manusia dan merupakan spesies-spesies kera sejati yang punah. 8. Darwinisme tidak akan lagi mampu membohongi masyarakat dengan gambar-gambar rekonstruksi [reka ulang], sebab para ilmuwan telah dengan jelas mengungkapkan bahwa rekonstruksi ini, yang didasarkan pada sisa-sisa tubuh hewan yang pernah hidup di masa lalu, tidaklah bernilai ilmiah dan sama sekali tidak dapat dipercaya. 9. Darwinisme tidak mampu lagi mengemukakan "Manusia Piltdown" sebagai bukti bagi evolusi, sebab penelitian menunjukkan bahwa fosil seperti "Manusia Piltdown" tidak pernah ada dan selama 40 tahun masyarakat telah dibohongi dengan sepotong rahang orang hutan yang direkatkan pada sebongkah tengkorak manusia. 10. Darwinisme tidak dapat lagi menyatakan bahwa "Manusia Nebraska" dan keluarganya membenarkan evolusi, sebab telah dikukuhkan bahwa fosil-fosil gigi geraham yang dijadikan bukti bagi kisah "Manusia Nebraska" ternyata milik sejenis babi liar yang telah punah. 11. Darwinisme tidak lagi mampu menyatakan bahwa seleksi alam mendorong terjadinya evolusi, sebab telah dibuktikan secara ilmiah bahwa mekanisme yang dimaksud tidak dapat menyebabkan makhluk hidup berevolusi dan tidak dapat menyebabkan mereka memperoleh sifat-sifat baru. Para pendukung Darwinisme telah melakukan banyak sekali penyebaran informasi keliru sebagaimana disebutkan di atas, dan waktu telah mengungkap bahwa semua hal tersebut tidaklah benar. Misalnya, telah diketahui bahwa mutasi yang dulunya dinyatakan memiliki daya evolusi ternyata malah sama sekali bersifat merusak, dan berdampak menimbulkan penyakit, cacat atau kematian, dan bukan perbaikan... Telah diketahui bahwa struktur pada embrio manusia yang dulunya dikatakan oleh para Darwinis sebagai insang ternyata adalah cikal bakal saluran telinga bagian tengah, kelenjar paratiroid and kelenjar timus. Telah terungkap pula bahwa perubahan-perubahan telah sengaja dilakukan pada gambar-gambar embrio untuk memberi dukungan pada evolusi. Telah diketahui bahwa informasi genetik bagi kekebalan terhadap berbagai antibiotik yang terdapat pada bakteri ternyata telah ada pada DNA mereka "sejak saat bakteri tersebut ada di dunia ini".. |
"I believe television and video are the most underestimated force for good in educating our children in the technological age in which we live. It is important to develop children’s thinking skills."1 (Anne Wood, Teletubby creator, BBC) "Time for Teletubbies. Time for Teletubbies…."At the sound of the familiar call, toddlers around the world scamper to their television sets for 30 minutes of simple play, enchantment, and learning. They smile with the baby-faced sun rising in the sky and laugh at four chubby Teletubbies popping out of their under-ground home. When the magic windmill spins its sparkly beams, they share the excitement of a daily mystery: Which tummy-screen will light up and broadcast a short TV clip?
Look again at the picture on the far right. This mirror was pictured in a Time Magazine article about the Harry Potter books. In the photograph, Ms. Rowling sat next to a large gray gargoyle with her back to the mirror. It's possible that she didn't attach any spiritual significance to this representation of the sun -- one that would carry the image of whoever gazed at it. But whether she was consciously aware or not, her mirror fits today's feminist quest to "re-imagine God" in one's own image. No one illustrates this pursuit better than Patricia Lynn Reilly who told me she was "born again" as a Christian. Her book title says it all: A God that Looks Like Me -- Discovering a Woman's Self-Affirming Spirituality. Even toddlers can absorb the subtle message behind a transcendent god-like sun that sees, giggles and smiles -- just like them. |