Senin, 22 April 2013
download Swara Muslim
counter_liberalisme
desember_2005
FEBRUARI_2006
januari_2006
journey
mcb_swaramuslim_01
mcb_swaramuslim_02
mcb_swaramuslim_03
mcb_swaramuslim_04
mcb_swaramuslim_05
muallaf2005
Perkembangan Terakhir Tentang Manusia Flores
"Karena orang-orang sudah pasti
terpengaruh oleh saya, saya ingin berusaha dan memperbaiki kerusakan besar yang
mungkin telah saya lakukan." (Anthony Flew)
Pernyataan para
pendukung evolusi bahwa Homo floresiensis merupakan suatu spesies
tersendiri yang terpisah dari manusia zaman modern semakin memudar di hadapan
penentangan yang semakin menguat. The Times Online,
edisi internet dari surat kabar The Times dan The Sunday Times,
merangkum sejumlah perkembangan terakhir seputar bahasan tersebut dalam kalimat
berikut:
"Sebuah temuan yang diumumkan sebagai penemuan terbesar di bidang antropologi selama seabad telah terpuruk dan menjadi salah satu sengketa tersengit di bidang itu." (1)Perkembangan yang menyulut api perselisihan tersebut adalah adanya para pakar lain yang mendukung pandangan para ilmuwan Indonesia yang berkeberatan atas dikemukakannya H. floresiensis sebagai suatu spesies tersendiri yang terpisah dari Homo sapiens. Yang terkemuka dari sederetan ilmuwan tersebut adalah ilmuwan Australia Dr. Maciej Henneberg dan Dr. Alan Thorne, dan para peneliti dari Field Museum Chicago di Amerika.
Sejumlah sanggahan baru, sebagaimana yang dilontarkan oleh para ilmuwan Indonesia, menegaskan bahwa Manusia Flores mungkin telah menderita penyakit syaraf yang dikenal sebagai microcephaly (kelainan berupa kepala yang berukuran kecil). Dukungan penting bagi pandangan ini datang dari Profesor Maciej Henneberg, ilmuwan anatomi dan pakar palaeopatologi selama 32 tahun. Henneberg, ketua Departement of Anatomical Sciences, the University of Adelaide, Australia, pertama-tama mengkaji hasil pengukuran tengkorak Manusia Flores yang diterbitkan di situs internet majalah Nature. Di sinilah ilmuwan tersebut teringat akan tengkorak lain dengan bentuk dan ukuran yang mirip. Tengkorak tersebut adalah spesimen Homo sapiens berusia 4.000 tahun yang didapatkan dalam penggalian di pulau Kreta. Tengkorak milik individu H. sapiens ini memiliki ukuran agak kecil, dan para ilmuwan yang menelitinya telah menjelaskan fenomena ini sebagai microcephaly.
Berdasarkan hasil perbandingan statistik yang ia lakukan pada 15 hasil pengukuran tengkorak, ilmuwan Australia itu mengungkapkan bahwa terdapat "perbedaan tidak nyata" antara keduanya. Henneberg, yang sanggahannya diberitakan dalam jurnal terkenal terbitan Amerika Serikat Science (2), menyimpulkan bahwa ukuran tengkorak Manusia Flores diakibatkan oleh microcephaly. Peneliti tersebut juga menyatakan bahwa anatomi wajah Manusia Flores masih dalam batas H. sapiens.
Pengkajian lain oleh Henneberg yang mengungkap hasil mengejutkan tentang Manusia Flores adalah perhitungannya tentang tulang lengan depan (radius) yang ditemukan di dalam sebuah gua. Dari panjang tulangnya, yang ditetapkan sebagai 210 mm (8,3 inci), Henneberg menghitung bahwa pemiliknya bertinggi tubuh antara 151 dan 162 cm (4,9 - 5,3 kaki). Angka ini agak lebih besar daripada 1 meter (3 kaki) yang diduga merupakan ukuran tinggi Manusia Flores, dan masih dalam batas yang dianggap normal untuk manusia zaman sekarang. Henneberg mengumumkan kesimpulan yang ia capai sebagai hasil dari penelitian ini:
"Hingga tambahan tulang-tulang lain dari 'spesies baru' dugaan ini diketemukan, saya akan tetap menyatakan bahwa suatu kondisi yang sudah sangat dikenal yang diakibatkan oleh penyakitlah yang menjadi penyebab timbulnya penampakan khusus dari rangka tersebut." (3)
Sebagaimana dijelaskan para ilmuwan, perbedaan dalam hal ukuran tengkorak maupun struktur rahang antara Manusia Flores dan Homo sapiens dapat dijelaskan dengan fenomena microcephaly (kelainan berupa ukuran kepala yang kecil). |
Robert Martin, ilmuwan primatologi dari Field Museum Chicago, dan arkeolog James Phillips melontarkan pernyataan berikut yang mendukung teori microcephaly berkaitan dengan volume otak Manusia Flores yang berukuran kecil:
"Satu-satunya tengkorak adalah milik seorang perempuan yang menderita microcephaly, suatu kelainan yang jarang terjadi yang berakibat pada kepala dan otak yang berukuran kecil. Microcephaly menyebabkan wajah tumbuh pada laju yang normal, tapi kepalanya tidak. Orang [tersebut] akhirnya berdahi miring dan tanpa dagu -- persis seperti Hobbit." (5) (Hobbit: Julukan untuk Manusia Flores yang diambil dari film The Lord of the Rings.)Karena sejumlah sanggahan ini, tidak beralasannya penggambaran Manusia Flores sebagai suatu spesies tersendiri yang terpisah dari H. sapiens sekali lagi terungkap. Pengkajian oleh Henneberg sudah pasti berperan besar dalam hal ini: karena individu H. sapiens yang berusia 4.000 tahun dikabarkan telah menderita kelainan microcephaly, lalu mengapa Manusia Flores, dengan ukuran tengkorak yang sama, digambarkan sebagai suatu spesies yang berbeda?
Barangkali penafsiran paling mencolok tentang debat seputar Manusia Flores ini berasal dari Robert Matthews, seorang penulis ilmu pengetahuan yang berpengalaman untuk surat kabar Inggris The Sunday Telegraph. Matthews mendukung gagasan microcephaly, dan mengecam keinginan sebagian kalangan untuk menampilkan Manusia Flores sebagai suatu spesies tersendiri. Ia juga mengutip skandal Manusia Nebraska, salah satu skandal terbesar dalam sejarah paleoantropologi, dalam mengungkap betapa tidak beralasannya keinginan itu. Dengan judul utama "Big Claims, meagre evidence; welcome to palaeontology" (Klaim Besar, bukti sangat kurang; selamat datang di palaeontologi), Matthews menulis:
"Minggu yang lain, dan perseteruan yang lain lagi di kalangan ilmuwan tentang sejumlah tulang kuno dan pernyataan tentang telah ditemukannya suatu spesies manusia baru yang lain lagi. Kali ini perselisihan tersebut tertuju pada penemuan tulang belulang berusia 18.000 tahun milik sejenis manusia dengan tinggi badan 3 kaki di pulau Flores, Indonesia.
... para ilmuwan yang menggalinya telah menerbitkan makalah di jurnal Nature, mengumumkannya sebagai suatu spesies baru manusia, dan memberinya nama Latin yang terdengar indah: Homo floresiensis.
Kemudian, sebagaimana kebiasaan lama, para ilmuwan lain bermunculan untuk membantah klaim tersebut sebagai terlalu dini. Seorang pakar terkemuka di bidang palaeoanatomi mengatakan kepada jurnal tandingan Science bahwa tengkorak berusia 18.000 tahun yang seukuran dengan jeruk besar tersebut mirip dengan tengkorak yang ditemukan di pulau Kreta yang merupakan milik spesimen berusia 4.000 tahun dari jenis Homo sapiens kuno yang sudah terlalu sering, dengan microcephaly sekunder, suatu keadaan yang ditandai dengan tengkorak yang secara tidak wajar berukuran kecil.
... Microcephaly sekunder memiliki banyak sekali penyebab, mulai dari infeksi virus selama kehamilan hingga luka atau kekurangan gizi ketika baru lahir. Spesimen-spesimen tersebut ditemukan di sebuah gua di suatu pulau. Siapakah yang bisa mengatakan bahwa pulau itu belum pernah dilanda wabah virus 18.000 tahun lalu yang menyebabkan berjangkitnya kelainan tersebut? Atau mungkin penghuni [pulau itu] telah terkena wabah itu di tempat lain di gugusan kepulauan Indonesia, dan telah diusir ke Flores karena penampakan mereka yang aneh.
Atau mungkin saja bahwa mereka yang mengidap microcephaly sekunder dapat bertahan hidup dan bahkan beranak pinak: kelainan itu tidak selalu harus dihubungkan dengan kecerdasan yang rendah. Sebenarnya, [tingkat kecerdasan] bukan dikarenakan ukuran otak yang kecil saja: penentu terpenting adalah jumlah bagian [otak yang berwarna] abu-abu. Karena bagian ini tidak terawetkan pada sisa-sisa peninggalan fosil, kita tidak memiliki gambaran apakah para "hobbit" tersebut cerdas, bodoh atau biasa saja. Apa yang jelas adalah bahwa para palaeontolog terlalu bernafsu mendasarkan klaim besar pada bukti yang sudah dipastikan sangat kurang. Ini adalah kecenderungan kuat yang tidak begitu membantu mereka di masa lalu. Pada tahun 1922, pakar fosil Amerika, Henry Fairfield Osborn menjadi judul utama pemberitaan dengan mengumumkan penemuan tentang apa yang ia nyatakan sebagai kera mirip manusia pertama yang pernah ditemukan di Amerika, yang ia beri nama Hesperopithecus ( yang berarti "Ape from the Land of the Evening Sun" atau Kera dari Daratan Matahari Sore").
Ilmuwan anatomi terkenal Profesor Grafton Elliot Smith dari London University melangkah lebih jauh, ia bersikukuh bahwa Hesperopithecus setidaknya merupakan "anggota paling awal dan paling primitif dari keluarga manusia yang masih dapat ditemukan". Namun apakah bukti dari klaim yang lantang ini? Sebuah gigi tunggal yang sudah menjadi fosil yang ditemukan di Nebraska.
Tanggapan Prof Smith kepada mereka yang meragukan kearifan berpegang pada bukti yang sangat sedikit sungguh mirip dengan apa yang kini sedang dilakukan oleh para penemu Manusia Hobbit dari Flores: "Orang akan memandang kesimpulan yang demikian sangat penting dengan keraguan", ujar Prof Smith, "jika saja bukan karena kepakaran para ilmuwan Amerika di bidang itu yang tidak perlu dipertanyakan lagi."
Gertakan itu tidak menyurutkan langkah the American Museum of Natural History untuk mencari bukti lebih lanjut. Bukti itu ditemukan di saat yang tepat di Nebraska, dan mengungkap bahwa "Hesperopithecus" tak lebih dari seekor babi punah. Prof Smith di kemudian hari menjadikan dirinya tenar dengan membuat gambar populer dari manusia Neanderthal sebagai manusia berpenampilan dungu yang sedang mengunyah tulang, sembari pula mendukung klaim bahwa potongan-potongan tengkorak yang ditemukan di Inggris pada tahun 1912 adalah milik nenek moyang tertua H. sapiens yang pernah diketahui. Di kemudian hari diketahui bahwa manusia Neanderthal "khas bikinan" Prof Smith sebenarnya adalah seorang pria yang diketahui pasti tidak bertubuh normal dan bungkuk karena menderita radang sendi. Sedangkan mengenai potongan tulang tengkorak, ternyata berasal dari sebuah lubang galian di Sussex yang dikenal sebagai Piltdown; kelanjutannya bisa dipahami.
Tampaknya, tak satu pun dari kejadian ini menyurutkan semangat para palaeontolog untuk terus mengkhayal tentang keberadaan lebih banyak lagi "spesies" di luar pohon kekerabatan manusia. Semua yang dibutuhkan adalah beberapa potongan tulang yang tidak biasa ditambah dengan kamus bahasa Latin yang bagus, dan tempat dalam sejarah palaeontologi pun akan diperoleh.
Semuanya tampak bergantung pada bisa tidaknya potongan tulang tersebut dianggap "tidak seperti biasanya" sehingga berada di luar batasan spesies mana pun yang diketahui. Orang ngeri membayangkan kesimpulan apa yang akan dicapai para palaeontolog jika mereka diberi tulang belulang seorang cebol zaman sekarang dan seorang penambang minyak dari Texas." (6)
Kesimpulan:
Fakta yang terungkap melalui perkembangan ilmiah
terkini tentang Manusia Flores maupun pelajaran dari sejarah sebagaimana yang
diingatkan oleh Matthews adalah: Para ilmuwan evolusionis dan media massa
sama-sama sangat bernafsu untuk menampilkan dan memberitakan fosil-fosil yang
baru ditemukan sebagai spesies baru. Hasilnya, hampir setiap penemuan fosil
diumumkan dengan kehebohan dan kegemparan besar oleh media massa, meskipun klaim
ini lalu dengan senyap terbantahkan di kemudian hari.Perkataan berikut dari Robert Locke, editor pelaksana majalah Discovering Archaeology, tentang penelitian di bidang palaeoantropologi adalah menyerupai gambaran tentang keraguan dan propaganda fanatik yang melingkupi pengkajian di bidang ini:
"Mungkin tidak ada bidang ilmu pengetahuan yang lebih banyak dipenuhi persengketaan daripada pencarian tentang asal usul manusia. Para paleontolog terkemuka saling tidak sepakat bahkan mengenai bagan paling mendasar dari pohon kekerabatan manusia sekalipun. Cabang-cabang baru bermunculan di tengah-tengah keriuhan, hanya untuk kemudian layu dan mati di hadapan temuan-temuan fosil baru." (7)Akan tetapi, skenario khayal evolusi manusia, yang dipertahankan keberadaannya melalui propaganda, hasutan, pemutarbalikan fakta dan bahkan pemalsuan, akan pasti tersingkirkan di hadapan penemuan-penemuan ilmiah modern. Hal ini dikarenakan temuan ilmiah nyata mengungkap bahwa kehidupan terlalu rumit untuk dapat terbentuk melalui ketidaksengajaan, dan bahwa mekanisme mutasi acak dan seleksi alam tidak dapat menjelaskan keberadaan informasi genetik pada DNA suatu spesies. Klaim evolusi seputar masalah tersebut tidak lagi memiliki dasar ilmiah di hadapan penemuan-penemuan yang dibuat hampir setiap harinya. Karenanya tak dapat dihindarkan, upaya dari mereka yang meyakini bahwa memaparkan kisah khayal tentang masa lampau berdasarkan kemiripan antartulang sebagai ilmu pengetahuan akan berakhir dengan kegagalan.
Manusia diciptakan oleh Allah, beserta seluruh perangkat sempurna pada tubuhnya. Hal ini dinyatakan Allah dalam Al Qur'an:
Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur. (Al Qur'an, 32: 7-9)
1- Nigel Hawkes,
"Kidnap marks the latest chapter in Hobbit's story," Times Online, December 4,
2004; online at: http://www.timesonline.co.uk/article/0,,3-1386936,00.html
2- Michael Balter, "Skeptics Question Whether Flores Hominid Is a New Species," Science, Vol 306, Issue 5699, 1116 , November 12, 2004
3- Maciej Henneberg, "Why The 'Hobbitt' May Not Be a New Species of Humans;" online at: http://www.thinkinganglicans.org.uk/archives/000884.html
4- Heather Catchpole, "Tiny Human a Big Evolutionary Tale," October 27, 2004; online at: http://dsc.discovery.com/news/afp/20041025/tinyhuman.html
5- Jim Ritter, "Experts here knock claim of new 'Hobbit' species," Chicago Sun-Times, November 16, 2004; online at: http://www.suntimes.com/output/news/cst-nws-human16.html
6- Robert Matthews, "Big claims, meagre evidence; welcome to palaeontology," The Telegraph, December 8, 2004; online at: http://gardening.telegraph.co.uk/connected/main.jhtml?xml=/connected/2004/12/08/ecrqed08.xml
7- Robert Locke, "Family Fights," Discovering Archaeology, July/August 1999, h. 36-39
"Karena orang-orang sudah pasti terpengaruh oleh saya, saya ingin berusaha dan memperbaiki kerusakan besar yang mungkin telah saya lakukan." (Anthony Flew)
2- Michael Balter, "Skeptics Question Whether Flores Hominid Is a New Species," Science, Vol 306, Issue 5699, 1116 , November 12, 2004
3- Maciej Henneberg, "Why The 'Hobbitt' May Not Be a New Species of Humans;" online at: http://www.thinkinganglicans.org.uk/archives/000884.html
4- Heather Catchpole, "Tiny Human a Big Evolutionary Tale," October 27, 2004; online at: http://dsc.discovery.com/news/afp/20041025/tinyhuman.html
5- Jim Ritter, "Experts here knock claim of new 'Hobbit' species," Chicago Sun-Times, November 16, 2004; online at: http://www.suntimes.com/output/news/cst-nws-human16.html
6- Robert Matthews, "Big claims, meagre evidence; welcome to palaeontology," The Telegraph, December 8, 2004; online at: http://gardening.telegraph.co.uk/connected/main.jhtml?xml=/connected/2004/12/08/ecrqed08.xml
7- Robert Locke, "Family Fights," Discovering Archaeology, July/August 1999, h. 36-39
"Karena orang-orang sudah pasti terpengaruh oleh saya, saya ingin berusaha dan memperbaiki kerusakan besar yang mungkin telah saya lakukan." (Anthony Flew)
Pernyataan para
pendukung evolusi bahwa Homo floresiensis merupakan suatu spesies
tersendiri yang terpisah dari manusia zaman modern semakin memudar di hadapan
penentangan yang semakin menguat. The Times Online,
edisi internet dari surat kabar The Times dan The Sunday Times,
merangkum sejumlah perkembangan terakhir seputar bahasan tersebut dalam kalimat
berikut:
"Sebuah temuan yang diumumkan sebagai penemuan terbesar di bidang antropologi selama seabad telah terpuruk dan menjadi salah satu sengketa tersengit di bidang itu." (1)Perkembangan yang menyulut api perselisihan tersebut adalah adanya para pakar lain yang mendukung pandangan para ilmuwan Indonesia yang berkeberatan atas dikemukakannya H. floresiensis sebagai suatu spesies tersendiri yang terpisah dari Homo sapiens. Yang terkemuka dari sederetan ilmuwan tersebut adalah ilmuwan Australia Dr. Maciej Henneberg dan Dr. Alan Thorne, dan para peneliti dari Field Museum Chicago di Amerika.
Sejumlah sanggahan baru, sebagaimana yang dilontarkan oleh para ilmuwan Indonesia, menegaskan bahwa Manusia Flores mungkin telah menderita penyakit syaraf yang dikenal sebagai microcephaly (kelainan berupa kepala yang berukuran kecil). Dukungan penting bagi pandangan ini datang dari Profesor Maciej Henneberg, ilmuwan anatomi dan pakar palaeopatologi selama 32 tahun. Henneberg, ketua Departement of Anatomical Sciences, the University of Adelaide, Australia, pertama-tama mengkaji hasil pengukuran tengkorak Manusia Flores yang diterbitkan di situs internet majalah Nature. Di sinilah ilmuwan tersebut teringat akan tengkorak lain dengan bentuk dan ukuran yang mirip. Tengkorak tersebut adalah spesimen Homo sapiens berusia 4.000 tahun yang didapatkan dalam penggalian di pulau Kreta. Tengkorak milik individu H. sapiens ini memiliki ukuran agak kecil, dan para ilmuwan yang menelitinya telah menjelaskan fenomena ini sebagai microcephaly.
Berdasarkan hasil perbandingan statistik yang ia lakukan pada 15 hasil pengukuran tengkorak, ilmuwan Australia itu mengungkapkan bahwa terdapat "perbedaan tidak nyata" antara keduanya. Henneberg, yang sanggahannya diberitakan dalam jurnal terkenal terbitan Amerika Serikat Science (2), menyimpulkan bahwa ukuran tengkorak Manusia Flores diakibatkan oleh microcephaly. Peneliti tersebut juga menyatakan bahwa anatomi wajah Manusia Flores masih dalam batas H. sapiens.
Pengkajian lain oleh Henneberg yang mengungkap hasil mengejutkan tentang Manusia Flores adalah perhitungannya tentang tulang lengan depan (radius) yang ditemukan di dalam sebuah gua. Dari panjang tulangnya, yang ditetapkan sebagai 210 mm (8,3 inci), Henneberg menghitung bahwa pemiliknya bertinggi tubuh antara 151 dan 162 cm (4,9 - 5,3 kaki). Angka ini agak lebih besar daripada 1 meter (3 kaki) yang diduga merupakan ukuran tinggi Manusia Flores, dan masih dalam batas yang dianggap normal untuk manusia zaman sekarang. Henneberg mengumumkan kesimpulan yang ia capai sebagai hasil dari penelitian ini:
"Hingga tambahan tulang-tulang lain dari 'spesies baru' dugaan ini diketemukan, saya akan tetap menyatakan bahwa suatu kondisi yang sudah sangat dikenal yang diakibatkan oleh penyakitlah yang menjadi penyebab timbulnya penampakan khusus dari rangka tersebut." (3)
Sebagaimana dijelaskan para ilmuwan, perbedaan dalam hal ukuran tengkorak maupun struktur rahang antara Manusia Flores dan Homo sapiens dapat dijelaskan dengan fenomena microcephaly (kelainan berupa ukuran kepala yang kecil). |
Robert Martin, ilmuwan primatologi dari Field Museum Chicago, dan arkeolog James Phillips melontarkan pernyataan berikut yang mendukung teori microcephaly berkaitan dengan volume otak Manusia Flores yang berukuran kecil:
"Satu-satunya tengkorak adalah milik seorang perempuan yang menderita microcephaly, suatu kelainan yang jarang terjadi yang berakibat pada kepala dan otak yang berukuran kecil. Microcephaly menyebabkan wajah tumbuh pada laju yang normal, tapi kepalanya tidak. Orang [tersebut] akhirnya berdahi miring dan tanpa dagu -- persis seperti Hobbit." (5) (Hobbit: Julukan untuk Manusia Flores yang diambil dari film The Lord of the Rings.)Karena sejumlah sanggahan ini, tidak beralasannya penggambaran Manusia Flores sebagai suatu spesies tersendiri yang terpisah dari H. sapiens sekali lagi terungkap. Pengkajian oleh Henneberg sudah pasti berperan besar dalam hal ini: karena individu H. sapiens yang berusia 4.000 tahun dikabarkan telah menderita kelainan microcephaly, lalu mengapa Manusia Flores, dengan ukuran tengkorak yang sama, digambarkan sebagai suatu spesies yang berbeda?
Barangkali penafsiran paling mencolok tentang debat seputar Manusia Flores ini berasal dari Robert Matthews, seorang penulis ilmu pengetahuan yang berpengalaman untuk surat kabar Inggris The Sunday Telegraph. Matthews mendukung gagasan microcephaly, dan mengecam keinginan sebagian kalangan untuk menampilkan Manusia Flores sebagai suatu spesies tersendiri. Ia juga mengutip skandal Manusia Nebraska, salah satu skandal terbesar dalam sejarah paleoantropologi, dalam mengungkap betapa tidak beralasannya keinginan itu. Dengan judul utama "Big Claims, meagre evidence; welcome to palaeontology" (Klaim Besar, bukti sangat kurang; selamat datang di palaeontologi), Matthews menulis:
"Minggu yang lain, dan perseteruan yang lain lagi di kalangan ilmuwan tentang sejumlah tulang kuno dan pernyataan tentang telah ditemukannya suatu spesies manusia baru yang lain lagi. Kali ini perselisihan tersebut tertuju pada penemuan tulang belulang berusia 18.000 tahun milik sejenis manusia dengan tinggi badan 3 kaki di pulau Flores, Indonesia.
... para ilmuwan yang menggalinya telah menerbitkan makalah di jurnal Nature, mengumumkannya sebagai suatu spesies baru manusia, dan memberinya nama Latin yang terdengar indah: Homo floresiensis.
Kemudian, sebagaimana kebiasaan lama, para ilmuwan lain bermunculan untuk membantah klaim tersebut sebagai terlalu dini. Seorang pakar terkemuka di bidang palaeoanatomi mengatakan kepada jurnal tandingan Science bahwa tengkorak berusia 18.000 tahun yang seukuran dengan jeruk besar tersebut mirip dengan tengkorak yang ditemukan di pulau Kreta yang merupakan milik spesimen berusia 4.000 tahun dari jenis Homo sapiens kuno yang sudah terlalu sering, dengan microcephaly sekunder, suatu keadaan yang ditandai dengan tengkorak yang secara tidak wajar berukuran kecil.
... Microcephaly sekunder memiliki banyak sekali penyebab, mulai dari infeksi virus selama kehamilan hingga luka atau kekurangan gizi ketika baru lahir. Spesimen-spesimen tersebut ditemukan di sebuah gua di suatu pulau. Siapakah yang bisa mengatakan bahwa pulau itu belum pernah dilanda wabah virus 18.000 tahun lalu yang menyebabkan berjangkitnya kelainan tersebut? Atau mungkin penghuni [pulau itu] telah terkena wabah itu di tempat lain di gugusan kepulauan Indonesia, dan telah diusir ke Flores karena penampakan mereka yang aneh.
Atau mungkin saja bahwa mereka yang mengidap microcephaly sekunder dapat bertahan hidup dan bahkan beranak pinak: kelainan itu tidak selalu harus dihubungkan dengan kecerdasan yang rendah. Sebenarnya, [tingkat kecerdasan] bukan dikarenakan ukuran otak yang kecil saja: penentu terpenting adalah jumlah bagian [otak yang berwarna] abu-abu. Karena bagian ini tidak terawetkan pada sisa-sisa peninggalan fosil, kita tidak memiliki gambaran apakah para "hobbit" tersebut cerdas, bodoh atau biasa saja. Apa yang jelas adalah bahwa para palaeontolog terlalu bernafsu mendasarkan klaim besar pada bukti yang sudah dipastikan sangat kurang. Ini adalah kecenderungan kuat yang tidak begitu membantu mereka di masa lalu. Pada tahun 1922, pakar fosil Amerika, Henry Fairfield Osborn menjadi judul utama pemberitaan dengan mengumumkan penemuan tentang apa yang ia nyatakan sebagai kera mirip manusia pertama yang pernah ditemukan di Amerika, yang ia beri nama Hesperopithecus ( yang berarti "Ape from the Land of the Evening Sun" atau Kera dari Daratan Matahari Sore").
Ilmuwan anatomi terkenal Profesor Grafton Elliot Smith dari London University melangkah lebih jauh, ia bersikukuh bahwa Hesperopithecus setidaknya merupakan "anggota paling awal dan paling primitif dari keluarga manusia yang masih dapat ditemukan". Namun apakah bukti dari klaim yang lantang ini? Sebuah gigi tunggal yang sudah menjadi fosil yang ditemukan di Nebraska.
Tanggapan Prof Smith kepada mereka yang meragukan kearifan berpegang pada bukti yang sangat sedikit sungguh mirip dengan apa yang kini sedang dilakukan oleh para penemu Manusia Hobbit dari Flores: "Orang akan memandang kesimpulan yang demikian sangat penting dengan keraguan", ujar Prof Smith, "jika saja bukan karena kepakaran para ilmuwan Amerika di bidang itu yang tidak perlu dipertanyakan lagi."
Gertakan itu tidak menyurutkan langkah the American Museum of Natural History untuk mencari bukti lebih lanjut. Bukti itu ditemukan di saat yang tepat di Nebraska, dan mengungkap bahwa "Hesperopithecus" tak lebih dari seekor babi punah. Prof Smith di kemudian hari menjadikan dirinya tenar dengan membuat gambar populer dari manusia Neanderthal sebagai manusia berpenampilan dungu yang sedang mengunyah tulang, sembari pula mendukung klaim bahwa potongan-potongan tengkorak yang ditemukan di Inggris pada tahun 1912 adalah milik nenek moyang tertua H. sapiens yang pernah diketahui. Di kemudian hari diketahui bahwa manusia Neanderthal "khas bikinan" Prof Smith sebenarnya adalah seorang pria yang diketahui pasti tidak bertubuh normal dan bungkuk karena menderita radang sendi. Sedangkan mengenai potongan tulang tengkorak, ternyata berasal dari sebuah lubang galian di Sussex yang dikenal sebagai Piltdown; kelanjutannya bisa dipahami.
Tampaknya, tak satu pun dari kejadian ini menyurutkan semangat para palaeontolog untuk terus mengkhayal tentang keberadaan lebih banyak lagi "spesies" di luar pohon kekerabatan manusia. Semua yang dibutuhkan adalah beberapa potongan tulang yang tidak biasa ditambah dengan kamus bahasa Latin yang bagus, dan tempat dalam sejarah palaeontologi pun akan diperoleh.
Semuanya tampak bergantung pada bisa tidaknya potongan tulang tersebut dianggap "tidak seperti biasanya" sehingga berada di luar batasan spesies mana pun yang diketahui. Orang ngeri membayangkan kesimpulan apa yang akan dicapai para palaeontolog jika mereka diberi tulang belulang seorang cebol zaman sekarang dan seorang penambang minyak dari Texas." (6)
Kesimpulan:
Fakta yang terungkap melalui perkembangan ilmiah
terkini tentang Manusia Flores maupun pelajaran dari sejarah sebagaimana yang
diingatkan oleh Matthews adalah: Para ilmuwan evolusionis dan media massa
sama-sama sangat bernafsu untuk menampilkan dan memberitakan fosil-fosil yang
baru ditemukan sebagai spesies baru. Hasilnya, hampir setiap penemuan fosil
diumumkan dengan kehebohan dan kegemparan besar oleh media massa, meskipun klaim
ini lalu dengan senyap terbantahkan di kemudian hari.Perkataan berikut dari Robert Locke, editor pelaksana majalah Discovering Archaeology, tentang penelitian di bidang palaeoantropologi adalah menyerupai gambaran tentang keraguan dan propaganda fanatik yang melingkupi pengkajian di bidang ini:
"Mungkin tidak ada bidang ilmu pengetahuan yang lebih banyak dipenuhi persengketaan daripada pencarian tentang asal usul manusia. Para paleontolog terkemuka saling tidak sepakat bahkan mengenai bagan paling mendasar dari pohon kekerabatan manusia sekalipun. Cabang-cabang baru bermunculan di tengah-tengah keriuhan, hanya untuk kemudian layu dan mati di hadapan temuan-temuan fosil baru." (7)Akan tetapi, skenario khayal evolusi manusia, yang dipertahankan keberadaannya melalui propaganda, hasutan, pemutarbalikan fakta dan bahkan pemalsuan, akan pasti tersingkirkan di hadapan penemuan-penemuan ilmiah modern. Hal ini dikarenakan temuan ilmiah nyata mengungkap bahwa kehidupan terlalu rumit untuk dapat terbentuk melalui ketidaksengajaan, dan bahwa mekanisme mutasi acak dan seleksi alam tidak dapat menjelaskan keberadaan informasi genetik pada DNA suatu spesies. Klaim evolusi seputar masalah tersebut tidak lagi memiliki dasar ilmiah di hadapan penemuan-penemuan yang dibuat hampir setiap harinya. Karenanya tak dapat dihindarkan, upaya dari mereka yang meyakini bahwa memaparkan kisah khayal tentang masa lampau berdasarkan kemiripan antartulang sebagai ilmu pengetahuan akan berakhir dengan kegagalan.
Manusia diciptakan oleh Allah, beserta seluruh perangkat sempurna pada tubuhnya. Hal ini dinyatakan Allah dalam Al Qur'an:
Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur. (Al Qur'an, 32: 7-9)
1- Nigel Hawkes,
"Kidnap marks the latest chapter in Hobbit's story," Times Online, December 4,
2004; online at: http://www.timesonline.co.uk/article/0,,3-1386936,00.html
2- Michael Balter, "Skeptics Question Whether Flores Hominid Is a New Species," Science, Vol 306, Issue 5699, 1116 , November 12, 2004
3- Maciej Henneberg, "Why The 'Hobbitt' May Not Be a New Species of Humans;" online at: http://www.thinkinganglicans.org.uk/archives/000884.html
4- Heather Catchpole, "Tiny Human a Big Evolutionary Tale," October 27, 2004; online at: http://dsc.discovery.com/news/afp/20041025/tinyhuman.html
5- Jim Ritter, "Experts here knock claim of new 'Hobbit' species," Chicago Sun-Times, November 16, 2004; online at: http://www.suntimes.com/output/news/cst-nws-human16.html
6- Robert Matthews, "Big claims, meagre evidence; welcome to palaeontology," The Telegraph, December 8, 2004; online at: http://gardening.telegraph.co.uk/connected/main.jhtml?xml=/connected/2004/12/08/ecrqed08.xml
7- Robert Locke, "Family Fights," Discovering Archaeology, July/August 1999, h. 36-39
2- Michael Balter, "Skeptics Question Whether Flores Hominid Is a New Species," Science, Vol 306, Issue 5699, 1116 , November 12, 2004
3- Maciej Henneberg, "Why The 'Hobbitt' May Not Be a New Species of Humans;" online at: http://www.thinkinganglicans.org.uk/archives/000884.html
4- Heather Catchpole, "Tiny Human a Big Evolutionary Tale," October 27, 2004; online at: http://dsc.discovery.com/news/afp/20041025/tinyhuman.html
5- Jim Ritter, "Experts here knock claim of new 'Hobbit' species," Chicago Sun-Times, November 16, 2004; online at: http://www.suntimes.com/output/news/cst-nws-human16.html
6- Robert Matthews, "Big claims, meagre evidence; welcome to palaeontology," The Telegraph, December 8, 2004; online at: http://gardening.telegraph.co.uk/connected/main.jhtml?xml=/connected/2004/12/08/ecrqed08.xml
7- Robert Locke, "Family Fights," Discovering Archaeology, July/August 1999, h. 36-39
Darwinisme tengah mengalami kemunduran, dan tidak mampu lagi membohongi Dunia!
Darwinisme mengemukakan bahwa terdapat fosil-fosil
bentuk peralihan, namun kenyataannya tidak ditemukan ... Darwinisme mengemukakan
bukti ilmiah yang tidak absah ... Meskipun seluruh fosil yang telah ditemukan
dengan jelas membuktikan penciptaan, Darwinisme bersikukuh menyatakan hal yang
sama sekali bertolak belakang ... Teori ini berupaya
meyakinkan orang untuk mempercayai bahwa para seniman, ilmuwan dan profesor
dapat terbentuk sebagai hasil dari ketidaksengajaan, melalui pembentukan
protein-protein, yang memiliki peluang pembentukan secara kebetulan sebesar 1
per 10950, dengan kata lan "sebuah kemustahilan". Darwinisme bahkan
berusaha menjadikan orang percaya bahwa para profesor yang terbentuk dengan cara
seperti ini mendirikan universitas-universitas untuk mengkaji bagaimana diri
mereka sendiri muncul menjadi ada secara tidak disengaja atau
kebetulan.
Darwinisme menganggap kromosom di dalam sel makhluk hidup yang
mengandung kode informasi lebih banyak daripada sebuah perpustakaan raksasa
sebagai buah karya peristiwa kebetulan semata ... Teori ini menyatakan bahwa
kekuatan mahahebat dari peristiwa kebetulan menjadikan atom-atom yang tidak
dapat melihat, mendengar dan berpikir berubah menjadi manusia yang dapat
melihat, mendengar, merasakan, berpikir dan berkesadaran… Bagi Darwinisme,
peristiwa kebetulan atau ketidaksengajaan adalah tuhan yang melakukan
karya-karya luar biasa. Dalam uraian ini akan Anda pahami betapa mantra hitam
Darwinisme ini telah terhapuskan.1. Darwinisme tidak lagi mampu mengatakan bahwa protein dapat terbentuk melalui evolusi. Sebab peluang terbentuknya satu protein saja dengan urutan yang benar secara acak adalah 1 per 10950, sebuah angka yang menunjukkan kemustahilan secara matematis. 2. Darwinisme tidak lagi merujuk kepada fosil-fosil sebagai bukti terjadinya evolusi. Hal ini dikarenakan seluruh penggalian yang dilakukan di seluruh dunia dari pertengahan abad ke-19 hingga hari ini, tak satu pun dari "bentuk-bentuk peralihan" yang menurut para evolusionis seharusnya ada dalam jumlah jutaan ternyata tidak pernah ditemukan. Telah disadari bahwa bentuk-bentuk "mata rantai" ini tidak lain hanyalah sebuah kisah khayalan. 3. Para evolusionis berputus asa di hadapan fosil-fosil yang berjumlah tak berhingga yang telah berhasil digali hingga saat ini. Hal ini disebabkan semua fosil-fosil ini memiliki seluruh ciri-ciri yang mendukung dan membuktikan penciptaan. 4. Para evolusionis tidak lagi mampu menyatakan bahwa Archaeopteryx adalah nenek moyang burung, sebab penelitian terkini terhadap fosil-fosil Archaeopteryx telah sama sekali menggugurkan pernyataan bahwa Archaeopteryx adalah makhluk "setengah-burung." Telah diketahui bahwa Archaeopteryx memiliki struktur anatomi dan otak yang sempurna yang diperlukan untuk terbang, dengan kata lain Archaeopteryx adalah seekor burung sejati, dan "dongeng khayal tentang evolusi burung" tidak lagi dapat dipertahankan keabsahannya. 5. Darwinisme tidak lagi dapat menggunakan urutan palsu yang dikenal sebagai "silsilah evolusi kuda." Telah diketahui bahwa urutan silsilah palsu ini tersusun dari sejumlah spesies terpisah yang hidup di zaman yang berbeda dan di wilayah yang berbeda. 6. Darwinisme tidak lagi dapat menggunakan fosil yang dikenal sebagai Coelocanth untuk mendukung dongeng khayal peralihan dari air ke darat, sebab sejak pernyataan tersebut dikemukakan diketahui bahwa makhluk ini, yang sebelumnya dikukuhkan sebagai bentuk peralihan yang punah, ternyata ikan yang menghuni dasar lautan yang kini masih hidup, dan lebih dari 200 ikan hidup dari jenis tersebut hingga kini telah berhasil ditangkap. 7. Darwinisme tidak mampu lagi menyatakan bahwa makhluk hidup seperti Ramapithecus dan serangkaian Australopithecus (A. Bosei, A. Robustus, A. Aferensis, Africanus dst.) adalah para nenek moyang manusia. Hal ini disebabkan penelitian terhadap fosil-fosil ini telah memperlihatkan bahwa semua makhluk ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan manusia dan merupakan spesies-spesies kera sejati yang punah. 8. Darwinisme tidak akan lagi mampu membohongi masyarakat dengan gambar-gambar rekonstruksi [reka ulang], sebab para ilmuwan telah dengan jelas mengungkapkan bahwa rekonstruksi ini, yang didasarkan pada sisa-sisa tubuh hewan yang pernah hidup di masa lalu, tidaklah bernilai ilmiah dan sama sekali tidak dapat dipercaya. 9. Darwinisme tidak mampu lagi mengemukakan "Manusia Piltdown" sebagai bukti bagi evolusi, sebab penelitian menunjukkan bahwa fosil seperti "Manusia Piltdown" tidak pernah ada dan selama 40 tahun masyarakat telah dibohongi dengan sepotong rahang orang hutan yang direkatkan pada sebongkah tengkorak manusia. 10. Darwinisme tidak dapat lagi menyatakan bahwa "Manusia Nebraska" dan keluarganya membenarkan evolusi, sebab telah dikukuhkan bahwa fosil-fosil gigi geraham yang dijadikan bukti bagi kisah "Manusia Nebraska" ternyata milik sejenis babi liar yang telah punah. 11. Darwinisme tidak lagi mampu menyatakan bahwa seleksi alam mendorong terjadinya evolusi, sebab telah dibuktikan secara ilmiah bahwa mekanisme yang dimaksud tidak dapat menyebabkan makhluk hidup berevolusi dan tidak dapat menyebabkan mereka memperoleh sifat-sifat baru. Para pendukung Darwinisme telah melakukan banyak sekali penyebaran informasi keliru sebagaimana disebutkan di atas, dan waktu telah mengungkap bahwa semua hal tersebut tidaklah benar. Misalnya, telah diketahui bahwa mutasi yang dulunya dinyatakan memiliki daya evolusi ternyata malah sama sekali bersifat merusak, dan berdampak menimbulkan penyakit, cacat atau kematian, dan bukan perbaikan... Telah diketahui bahwa struktur pada embrio manusia yang dulunya dikatakan oleh para Darwinis sebagai insang ternyata adalah cikal bakal saluran telinga bagian tengah, kelenjar paratiroid and kelenjar timus. Telah terungkap pula bahwa perubahan-perubahan telah sengaja dilakukan pada gambar-gambar embrio untuk memberi dukungan pada evolusi. Telah diketahui bahwa informasi genetik bagi kekebalan terhadap berbagai antibiotik yang terdapat pada bakteri ternyata telah ada pada DNA mereka "sejak saat bakteri tersebut ada di dunia ini".. |
Masihkah anak anda menonton "Teletubbies"?
Assalamu'alaikum wr wb
Walaupun berita & artikel ini sudah cukup lama, namun apa salahnya saya postingkan di Swaramuslim sekedar mengingatkan kita semua akan bahaya "menonton Teletubbies" terutama bagi anak anak dikalangan umat Islam.
Walaupun kelihatan sepintas lucu, namun dibalik film tersebut tersembunyi pesan pesan Kampanye Homoseks, sehingga telah menimbulkan reaksi diberbagai dunia. Sebagian besar negara Eropah, negara Islam, Malaysia dan bahkan Singapore telah melakukan banned atas penayangan film, cuma justru lucunya tidak ada satupun organisasi Islam di Indonesia / MUI melakukan hal itu. Apakah karena terlalu sibuk??
Namun sampai saat ini walaupun penayangan di TV sudah tidak adalagi (karena sudah habus serialnya) namun kelihatannya "Teletubbies" sudah menjadi Trade Mark terbukti dengan penggunaan maskot & attributnya dalam berbagai produk anak anak (baju, kue Ul-Tah, Kaos dll) masih sering kita jumpai. Mohon sebarkan artikel ini kepada saudara saudara kita, aqidah islam tidak ada yang basi, semoga info ini bermanfaat
Wassalam
Seorang Pendeta terkemuka di Amerika menguraikan misi homoseks di balik tayangan lucu Teletubbies. Kontroversi meluas. Singapura melarang penayangannya. Indonesia?
"Suka nonton Teletubbies?" Bila pertanyaan itu dilontarkan kepada anak-anak, niscaya akan dijawab 'ya'. "Bagus sih. Lain sama Pokemon atau Shinchan yang jorok," kata Eki, murid kelas IV sebuah SD di Rawamangun, Jakarta.
Saat ini, tontonan yang diputar hampir saban hari di Indosiar itu memang sedang digandrungi anak-anak. Television in the tummy of the babies (disingkat Teletubbies, televisi di perut para bocah) adalah film yang menampilkan empat tokoh boneka gendut (tubby) dan lucu bernama Tinky-Winky (berwarna ungu), Dipsy (hijau), Laa-Laa (kuning), dan Po (merah). Di kepala empat sekawan itu ada antena, yang menandakan bahwa televisi memang sudah menjadi bagian tak terpisahkan bagi anak-anak. Rumahnya berupa lapangan golf yang hijau dan sejuk, disebut Teletubbyland. Di situ ada kincir angin, televisi, kelinci, pancuran air, yang selalu disinari matahari berwajah bayi imut-imut.
Film rekaan Anne Woods dan Andrew Davenport yang pertama kali muncul di Inggris tahun 1995 itu tak sekadar nongol di televisi. Pernik-perniknya juga membanjir di toko mainan, toko buku, mal, pasar, sampai perempatan lampu merah. Bentuknya bisa komik, kartu, boneka, VCD, gantungan kunci, stiker, sikat gigi, tempat nasi, handuk, pigura, dan berbagai asesoris peralatan sekolah. Bahkan kini telah terbit majalah Teletubbies. Pendeknya, sang idola itu bisa menyapa anak-anak di mana saja, kapan saja. Tak mengherankan bila anak-anak begitu akrab.
Cuma, ada satu hal yang agaknya sulit dikenali anak-anak pada umumnya, yakni jenis kelaminnya. Sebab, kostumnya sama, aktivitasnya pun tak berbeda. Robbi Mighfari dan Balivia Andi Permata, murid-murid sebuah TK di Surabaya, mempunyai jawaban berbeda ketika ditanya mana dari anggota Teletubbies yang perempuan. Robbi menjawab Po. "Sebab Po kan warnanya merah," alasannya. Tapi menurut Balivia justru Tinky-Winki-lah, si ungu, yang perempuan.
Bagi Eki, yang paling membingungkan adalah sosok Tinky-Winky, anggota Teletubbies yang paling besar. "Dia itu laki-laki, tapi kadang tingkahnya kayak cewek. Suka mbawa tas dan bunga. Kayak orang banci,' ujarnya.
Di Barat identitas Teletubbies memang sempat menjadi perdebatan heboh. Bermula dari pendapat Pendeta Jerry Falwell dalam sebuah tulisan di National Liberty Journal (Februari 1999) yang menilai Teletubbies membawa misi homoseksualitas lewat tokoh Tinky-Winky. Alasannya? "Tinky-Winky berwarna ungu warna kebanggaan kaum gay dan mempunyai antena segitiga terbalik di kepalanya simbol kebanggaan gay," kata Falwell.
Majalah Time edisi 12 Oktober 1998 juga menyatakan hal yang sama. Di situ dilaporkan bahwa Tinky Winky yang membawa tas/dompet merah merupakan ikon kaum gay di Inggris. Identitas tokoh-tokoh Teletubbies memang tidak jelas. Perbedaan gender hanya digambarkan secara samar dengan suara dan pilihan warna: ungu dan hijau muda untuk laki-laki, merah dan kuning untuk perempuan. Dan di mata Falwell, ini dianggap sebagai pembenaran terhadap aktivitas homoseksual dan biseksual.
Kalangan rohaniwan Kristen menilai, indoktrinasi dini terhadap anak batita (di bawah tiga tahun) lewat Teletubbies akan menyebabkan anak tak bisa membedakan mana laki-laki mana perempuan. Lebih berbahaya lagi kalau anak sudah dicekoki nilai: boleh saja laki-laki sekali-sekali menjadi perempuan, dan sebaliknya. "Diluncurkannya Teletubbies adalah khusus untuk berkomunikasi dengan balita guna memasukkan nilai homoseksualitas. Dengan cerita berbahasa bayi, digambarkan bahwa perilaku homo dan biseks adalah wajar," masih kata Falwell.
Menurut psikolog pendidikan Elzim Khosyiyati, ketidakjelasan identitas ini berbahaya bagi perkembangan psikis anak-anak. "Itu sama dengan mengaburkan esensi dari nilai pendidikan anak yang harus jelas dan tegas," ujar Elzim yang juga aktivis Lembaga Pendidikan Islam Dwi Matra, Surabaya.
Hal senada ditulis Berit Kjos di situs Edutainment. Menurutnya, secara tidak disadari, anak-anak dibentuk Teletubbies untuk bisa menerima kelainan-kelainan perilaku seksual seperti biseksual, homoseksual, dan lesbian sebagai sesuatu yang wajar. Juga, anak-anak dibentuk untuk menjadikan televisi sebagai dunia mereka. Pendapat Kjos ini sama dengan pandangan umum kaum ibu di Inggris yang menilai Teletubbies mensosialisasikan televisi kepada anak-anak dalam usia terlalu dini.
Tuduhan bahwa Teletubbies membawa misi gay segera ditentang keras oleh Ragdoll Productions dan koleganya, produser film ini. Juru bicara untuk Itsy Bitsy Entertainment Co., pemegang lisensi Teletubbies di AS, berdalih bahwa dompet Tinky Winky adalah tas ajaib. "Sebenarnya yang dibawa tak menunjukkan dia gay. Ini adalah pertunjukan anak-anak, cerita," kata Steve Rice seperti dikutip Associated Press (1999).
Yang paling keras menentang Falwell tentu saja kalangan gay. Dalam sebuah wawancara diCBS, Joan Garry yang mewakili Aliansi Gay dan Lesbian, dengan nada cemooh menganggap Falwell sebagai penuduh yang pandir. Sedangkan Michael Colton di harian New York Observer menganggap tuduhan itu sebagai hal yang terlampau aneh dan mengerikan. Stan Yann dalam The Voice malah balik menuduh Falwell sebagai pendeta gemuk seperti Teletubby (tubby= gemuk) yang bodoh.
Namun pendapat Falwell tidak salah bila kita cermat melihat adegan film Teletubbies. Tingkah laku si Ungu memang seperti seorang gay. Dia suka bunga, membawa dompet warna merah, gerak tariannya dan nada nyanyiannya. Sebuah kebiasaan orang perempuan. Padahal keterangan resmi yang dikeluarkan sebuah produsen acara teve anak-anak PBS kids, jenis kelamin Tinky Winky adalah male (laki-laki).
Tinky Winky juga tak segan-segan berebut rok dengan Po. Saat rebutan itu terjadi, 'dewa'-nya Teletubbies matahari bermuka bayi lucu lalu mengatur agar yang berebut rok itu memakainya secara bergantian. Dewa bayi itu seolah menjadi 'tuhan' yang menganjurkan perilaku seks menyimpang.
Kalangan orang tua juga mesti waspada dengan adegan 'berpelukan' yang selalu dilakukan empat sekawan itu di akhir acara. Menurut Elzim, pelukan di antara anggota keluarga wajar, dan baik baik. Namun efek adegan berpelukan Teletubbies sangat didasari kebudayaan Barat. Ibu dua anak ini sekarang kerap menjumpai kecenderungan anak-anak di sekolah yang gandrung Teletubbies sering melakukan pelukan kepada kawan perempuan maupun lelaki, baik berlawanan jenis maupun tidak. "Di satu sisi memang bisa mengakrabkan, tapi di sisi lain bila perilaku ini terus-menerus dilakukan bisa fatal akibatnya. Anak-anak akan terbiasa melakukan pelukan dan ciuman dengan siapa saja tanpa pandang bulu."
Dampak lebih jauh, bila yang gandrung adalah anak laki-laki, akan berbahaya. "Anak laki-laki yang suka boneka Teletubbies akan terpengaruh seperti jiwa anak perempuan, bahkan bisa saja kemudian hari memperlakukan dirinya seperti perempuan atau waria," jelas Elzim.
Tidak hanya ajaran gay. Cara bicara tokoh Teletubbies yang cedal pun banyak diprotes kalangan ibu-ibu di Inggris. Misalnya pelafalan kata 'Halo' menjadi 'Ee-o'. Menurut Elzim Khosyiyati, bahasa cadel semacam itu tidak baik bagi proses pembelajaran kemampuan verbal anak. "Kita seharusnya mengajarkan pesan verbal secara tegas dan jelas kepada anak," ujarnya.
Meski penuh kontroversi, Teletubbies terus melaju tinggi. Ia telah mendatangkan keuntungan 80-an juta poundsterling bagi Ragdoll Productions dan BBC Worldwide, produsernya. Kini 45 negara di dunia menyiarkan serial anak-anak yang ternyata mengusung misi kaum Nabi Luth ini, dan menjadi terpopuler di dunia.
Bagi negeri yang peduli terhadap anak-anak, Teletubbies dilarang. Di Singapura, serial Tinky-Winky dan kawan-kawan ini tidak ditayangkan karena dianggap berpengaruh buruk terhadap perkembangan jiwa anak. Bagaimana di Indonesia yang mayoritas beragama Islam? (akbar, pambudi)
Lucu amat mereka yaaa, imut-imut gemas dan empuk. Itu yang kita bayangkan ketika melihat 4 sosok selebritis baru kesukaan anak batita. Setiap ke pasar, pasti anak merengek minta dibelikan boneka salah satu dari 4 tokoh tsb. Entah yang Ungu (Tinky Winky, paling besar), Hijau muda (Dipsy), Kuning (La Laa) maupun Merah (Po, paling kecil). Saya hafal karakter-karakter mereka sampai kepada model antena di kepala masing-masing adalah karena diprotes anak-anak. Tinky Winky antenanya adalah segitiga terbalik, Dipsy lurus seperti tongkat mencuat ke atas, La Laa melingkar seperti pegas dan Po antenanya seperti bulatan cincin. Beberapa produsen boneka 'aspal' (asli palsu) meniru dengan tidak tepat, sehingga ketika saya membelikan anak saya, saya diprotes: " Nggak cocok Ummi…., antena Po bukan seperti tongkat, tapi Dipsy yang begitu." Apalah artinya mainan.
Kemudian berlanjut dengan membeli VCD nya. Lucu-lucu blo'on, khas anak baru belajar bicara. Dengan satu catatan: suara yang dipakai adalah suara dewasa yang berlogat celat, sehingga kesan saya: koq seperti orang cacat mental? Tetapi sekali lagi: Apalah artinya mainan. Apalagi memang sarat fantasi ruang angkasa dengan gambaran rumah yang seperti pesawat ruang angkasa dan segala pernak pernik khayalan termasuk matahari dengan wajah bayi di tengah-tengahnya.
Jalan ceritanya pun amat-amat sederhana: mengenalkan berbagi mainan, mengenalkan bermain bersama, mengenalkan bahwa setiap orang punya barang kesukaan (my favorite things)…. Begitu sederhana sampai bungsu saya yang belum dua tahun sudah bisa menirukan kata-kata mereka yang khas : "A-oo" sambil menutup mulut. Itu adalah ritual Teletubbies jika ada sesuatu yang salah atau sesuatu yang kurang.Tanpa sadar gaya mereka memang mudah sekali melekat pada batita dan tidak mustahil akan selamanya. Sekali lagi: Apalah arti mainan?
Tapi ternyata artinya lebih dari sekedar mainan. Beberapa waktu yang lalu beredar di internet polemik tentang Teletubbies.
Ada seorang pastor menggugat sosok Tinky Winky yang seperti banci: suara berat tapi suka sekali pada dompet. Menurut salah seorang pengamat media anak, penggambaran sosok laki-laki (suara yang berat) dengan memakai dompet merah seperti itu, khas dompet kaum ibu di Inggris raya, bahkan seperti tas tangan Ratu Elizabeth pada acara-acara sosial, sangat feminin. Pada awalnya pastor tsb-pun digugat balik oleh para pendukung Teletubbies dengan berdalih bahwa dompet Tinky Winky adalah "magic bag" alias dompet ajaib, jadi buat apasih diributkan? Itu kata mereka (it's nothing important), sekali lagi: Namanya juga mainan khayal apapun boleh. Tetapi apakah benar begitu saja?
Ternyata semakin banyak yang terungkap dalam polemik yang kemudian juga melibatkan berbagai pengamat media anak di daratan Eropa dan Amerika. Info lain yang masuk semakin mengejutkan:
1)Warna Tinky Winky adalah warna kesayangan kaum gay
2)Antena Tinky adalah simbol Gay atau lesbian (jika dibalik)
3)Antena Dipsy adalah simbol (maaf) kelamin laki-laki.
4)Antena Po simbol perempuan
Bahkan dari jalan cerita salah satu filmnya, jelas menunjukkan sebuah niat untuk memperkenalkan tingkah laku para homosex, yaitu Tinky Winky berebut rok dengan La Laa dan diperbolehkan oleh si Matahari (yang di dalam Teletubbies Land dianggap sebagai simbol pengganti semua otoritas dunia manusia, yaitu otoritas orangtua, guru dll termasuk Tuhan!). Jadi ada satu lagi yang diajarkan di sini: re-definisi atas simbol-simbol otoritas!
Selama ini kaum homosex sedang bergelut untuk minta pengakuan dunia bahwa homosexual adalah sebuah kecenderungan sejak lahir (dalam bahasa Islam disebut fitrah, sebagaimana ketertarikan laki-laki terhadap perempuan). Mereka menggugat agar punya gereja sendiri dan bisa menikah resmi dengan pasangannya, mereka juga menggugat agar masyarakat menerima mereka sebagaimana menerima para cacat mental atau orang buta. Innocent!Tanpa dosa!
Sejauh ini sudah ada gereja-gereja dan pendeta-pendeta yang cukup 'gila' untuk mengakui mereka kemudian mau menikahkan pasangan gay atau lesbian, tetapi tetap saja Kepausan di Roma menolak dan mengkucilkan pendeta dan gereja yang menyimpang. Otoritas agama seperti itu amat di tentang oleh kaum gay dan dianggap melanggar 'hak asasi mereka'. Kemudian inilah yang kita lihat, sebuah usaha untuk mulai mengubah tata nilai manusia dengan mendidik batita dengan bahasa batita.
Agaknya mereka berharap bahwa dengan mengajarkan batita "kesamaan dan persamaan" bagi mereka dan segala tingkah laku menyimpangnya, maka 20 tahunan lagi mereka akan diakui sebagai sebuah komunitas yang sah, sebagaimana sekarang orang Amerika menganggap sah adanya komunitas negro atau hispanik di Amerika Serikat.Globalisasi telah membuat Teletubbies ini bukan hanya nge-top di negeri asalnya Inggris (pertama kali diluncurkan sebagai program Unesco di stasiun TV PBS dan kemudian BBC), tapi juga segera merambah ke seluruh dunia. Keberhasilan mereka terletak pada bahasa komunikasi yang mereka gunakan.
Para aktornya telah susah payah diajarkan bagaimana bertingkah laku, berbicara dan bergerak seperti Batita (toddler). Mengingat betapa sedikitnya film-film yang mendidik yang benar-benar bisa bicara dengan batita, saya akui teknik mereka dalam berkomunikasi dengan batita amat canggih. Meskipun kita, sebagai orang dewasa akan merasa ganjil dengan gaya Teletubbies (seperti kesan yang saya dapatkan yaitu seperti orang cacat mental), tetapi bagi batita mereka betul-betul mewakili dunianya. Penuh warna, main kejar-kejaran, banyak bunga dan binatang tak berbahaya, lapangan luas dan matahari yang bersinar cerah.
Absennya sosok penting bagi batita ternyata merupakan sebuah kesengajaan demi melancarkan misi kaum gay. Sosok yang hilang adalah sosok orangtua. Biasanya, bagi batita sosok 'mama' atau 'papa' amat lekat dengan dunia mereka. Dalam Teletubbies Land, sosok itu ditiadakan (baik mama maupun papa) karena sosok-sosok inilah yang mulai menanamkan nilai-nilai tradisi dan ideologi kepada anak termasuk agama dan nilai sosial masyarakat sejak kecil.
Inilah yang sedang 'dimusuhi' kaum gay, karena biasanya orangtua-lah yang memperingatkan anaknya jika berada dekat-dekat dengan gay, takut ketularan Aids maupun takut terbawa perilaku mereka. Nah, dalam Teletubbies Land tak perlu ada orangtua, anak-anak bisa hidup mandiri dan tetap gembira tanpa mama atau papa sebagai sosok otoritas. Jika ada sesuatu yang tidak beres, ada sosok lain yang punya tugas khusus, yaitu Nu-Nu si Vacum Cleaner, sebagai sosok pelayan yang membereskan apa yang di kacaukan atau dibuat berantakan oleh para Teletubbies. Jadi tak perlu mama.
Satu-satunya sosok otoritas yang dibolehkan ada adalah sosok matahari dengan wajah bayi (sebagaimana wajah para pemirsa). Jadi dalam Teletubbies Land sosok otoritasnya berada dalam posisi yang sedikit banyak 'sejajar' dengan para Teletubbies maupun penonton: sama-sama bayi! Dan sang 'matahari bayi' tadi mengajarkan: boleh saja boys (laki-laki, yaitu Tinky Winky) memakai rok ballet berenda bergantian dengan La Laa dan yang lain. Jadi 'boys' dan 'girls' boleh bertukar peran, karena dalam Teletubbies Land jenis kelamin tidak penting dan boleh gantian! That's it !!
Ini adalah sosialisasi awal yang amat-amat halus dan canggih dengan sasaran yang amat tepat: anak yang sangat kecil yang putih bersih bagai kertas kosong. Bahkan ada pengamat media lain yang mensinyalir bahwa matahari bayi yang digambarkan dalam serial ini diambil dari mitos-mitos para penyembah berhala, Yunani, Persia dan Hindu. Seolah para pencipta Teletubbies ingin menciptakan Dewa baru bagi manusia, yaitu dewa yang menerima gay sebagai kewajaran dalam hidup.
Wah-wah wah, apalagi yang lebih berbahaya? Perilaku kaum Luth, penghilangan fungsi lembaga keluarga (bapak dan ibu) serta penyembahan berhala.
Masih bisa diamati lebih lanjut, yaitu apa saja celotehan dan tingkah laku para Teletubbies sebenarnya sarat dengan istilah-istilah khas dunia mesum dan dunia gay. Tentunya para 'pakar kemesuman' lebih bisa menjelaskannya dari saya. Wallahua'lambishshowwaab (eramuslim)
Penulis: Saisyahn Bachtir
mihsat@hotmail.com
Walaupun berita & artikel ini sudah cukup lama, namun apa salahnya saya postingkan di Swaramuslim sekedar mengingatkan kita semua akan bahaya "menonton Teletubbies" terutama bagi anak anak dikalangan umat Islam.
Walaupun kelihatan sepintas lucu, namun dibalik film tersebut tersembunyi pesan pesan Kampanye Homoseks, sehingga telah menimbulkan reaksi diberbagai dunia. Sebagian besar negara Eropah, negara Islam, Malaysia dan bahkan Singapore telah melakukan banned atas penayangan film, cuma justru lucunya tidak ada satupun organisasi Islam di Indonesia / MUI melakukan hal itu. Apakah karena terlalu sibuk??
Namun sampai saat ini walaupun penayangan di TV sudah tidak adalagi (karena sudah habus serialnya) namun kelihatannya "Teletubbies" sudah menjadi Trade Mark terbukti dengan penggunaan maskot & attributnya dalam berbagai produk anak anak (baju, kue Ul-Tah, Kaos dll) masih sering kita jumpai. Mohon sebarkan artikel ini kepada saudara saudara kita, aqidah islam tidak ada yang basi, semoga info ini bermanfaat
Wassalam
Kampanye Homoseks Teletubbies
Seorang Pendeta terkemuka di Amerika menguraikan misi homoseks di balik tayangan lucu Teletubbies. Kontroversi meluas. Singapura melarang penayangannya. Indonesia?
"Suka nonton Teletubbies?" Bila pertanyaan itu dilontarkan kepada anak-anak, niscaya akan dijawab 'ya'. "Bagus sih. Lain sama Pokemon atau Shinchan yang jorok," kata Eki, murid kelas IV sebuah SD di Rawamangun, Jakarta.
Saat ini, tontonan yang diputar hampir saban hari di Indosiar itu memang sedang digandrungi anak-anak. Television in the tummy of the babies (disingkat Teletubbies, televisi di perut para bocah) adalah film yang menampilkan empat tokoh boneka gendut (tubby) dan lucu bernama Tinky-Winky (berwarna ungu), Dipsy (hijau), Laa-Laa (kuning), dan Po (merah). Di kepala empat sekawan itu ada antena, yang menandakan bahwa televisi memang sudah menjadi bagian tak terpisahkan bagi anak-anak. Rumahnya berupa lapangan golf yang hijau dan sejuk, disebut Teletubbyland. Di situ ada kincir angin, televisi, kelinci, pancuran air, yang selalu disinari matahari berwajah bayi imut-imut.
Film rekaan Anne Woods dan Andrew Davenport yang pertama kali muncul di Inggris tahun 1995 itu tak sekadar nongol di televisi. Pernik-perniknya juga membanjir di toko mainan, toko buku, mal, pasar, sampai perempatan lampu merah. Bentuknya bisa komik, kartu, boneka, VCD, gantungan kunci, stiker, sikat gigi, tempat nasi, handuk, pigura, dan berbagai asesoris peralatan sekolah. Bahkan kini telah terbit majalah Teletubbies. Pendeknya, sang idola itu bisa menyapa anak-anak di mana saja, kapan saja. Tak mengherankan bila anak-anak begitu akrab.
Cuma, ada satu hal yang agaknya sulit dikenali anak-anak pada umumnya, yakni jenis kelaminnya. Sebab, kostumnya sama, aktivitasnya pun tak berbeda. Robbi Mighfari dan Balivia Andi Permata, murid-murid sebuah TK di Surabaya, mempunyai jawaban berbeda ketika ditanya mana dari anggota Teletubbies yang perempuan. Robbi menjawab Po. "Sebab Po kan warnanya merah," alasannya. Tapi menurut Balivia justru Tinky-Winki-lah, si ungu, yang perempuan.
Bagi Eki, yang paling membingungkan adalah sosok Tinky-Winky, anggota Teletubbies yang paling besar. "Dia itu laki-laki, tapi kadang tingkahnya kayak cewek. Suka mbawa tas dan bunga. Kayak orang banci,' ujarnya.
Di Barat identitas Teletubbies memang sempat menjadi perdebatan heboh. Bermula dari pendapat Pendeta Jerry Falwell dalam sebuah tulisan di National Liberty Journal (Februari 1999) yang menilai Teletubbies membawa misi homoseksualitas lewat tokoh Tinky-Winky. Alasannya? "Tinky-Winky berwarna ungu warna kebanggaan kaum gay dan mempunyai antena segitiga terbalik di kepalanya simbol kebanggaan gay," kata Falwell.
Majalah Time edisi 12 Oktober 1998 juga menyatakan hal yang sama. Di situ dilaporkan bahwa Tinky Winky yang membawa tas/dompet merah merupakan ikon kaum gay di Inggris. Identitas tokoh-tokoh Teletubbies memang tidak jelas. Perbedaan gender hanya digambarkan secara samar dengan suara dan pilihan warna: ungu dan hijau muda untuk laki-laki, merah dan kuning untuk perempuan. Dan di mata Falwell, ini dianggap sebagai pembenaran terhadap aktivitas homoseksual dan biseksual.
Kalangan rohaniwan Kristen menilai, indoktrinasi dini terhadap anak batita (di bawah tiga tahun) lewat Teletubbies akan menyebabkan anak tak bisa membedakan mana laki-laki mana perempuan. Lebih berbahaya lagi kalau anak sudah dicekoki nilai: boleh saja laki-laki sekali-sekali menjadi perempuan, dan sebaliknya. "Diluncurkannya Teletubbies adalah khusus untuk berkomunikasi dengan balita guna memasukkan nilai homoseksualitas. Dengan cerita berbahasa bayi, digambarkan bahwa perilaku homo dan biseks adalah wajar," masih kata Falwell.
Menurut psikolog pendidikan Elzim Khosyiyati, ketidakjelasan identitas ini berbahaya bagi perkembangan psikis anak-anak. "Itu sama dengan mengaburkan esensi dari nilai pendidikan anak yang harus jelas dan tegas," ujar Elzim yang juga aktivis Lembaga Pendidikan Islam Dwi Matra, Surabaya.
Hal senada ditulis Berit Kjos di situs Edutainment. Menurutnya, secara tidak disadari, anak-anak dibentuk Teletubbies untuk bisa menerima kelainan-kelainan perilaku seksual seperti biseksual, homoseksual, dan lesbian sebagai sesuatu yang wajar. Juga, anak-anak dibentuk untuk menjadikan televisi sebagai dunia mereka. Pendapat Kjos ini sama dengan pandangan umum kaum ibu di Inggris yang menilai Teletubbies mensosialisasikan televisi kepada anak-anak dalam usia terlalu dini.
Tuduhan bahwa Teletubbies membawa misi gay segera ditentang keras oleh Ragdoll Productions dan koleganya, produser film ini. Juru bicara untuk Itsy Bitsy Entertainment Co., pemegang lisensi Teletubbies di AS, berdalih bahwa dompet Tinky Winky adalah tas ajaib. "Sebenarnya yang dibawa tak menunjukkan dia gay. Ini adalah pertunjukan anak-anak, cerita," kata Steve Rice seperti dikutip Associated Press (1999).
Yang paling keras menentang Falwell tentu saja kalangan gay. Dalam sebuah wawancara diCBS, Joan Garry yang mewakili Aliansi Gay dan Lesbian, dengan nada cemooh menganggap Falwell sebagai penuduh yang pandir. Sedangkan Michael Colton di harian New York Observer menganggap tuduhan itu sebagai hal yang terlampau aneh dan mengerikan. Stan Yann dalam The Voice malah balik menuduh Falwell sebagai pendeta gemuk seperti Teletubby (tubby= gemuk) yang bodoh.
Namun pendapat Falwell tidak salah bila kita cermat melihat adegan film Teletubbies. Tingkah laku si Ungu memang seperti seorang gay. Dia suka bunga, membawa dompet warna merah, gerak tariannya dan nada nyanyiannya. Sebuah kebiasaan orang perempuan. Padahal keterangan resmi yang dikeluarkan sebuah produsen acara teve anak-anak PBS kids, jenis kelamin Tinky Winky adalah male (laki-laki).
Tinky Winky juga tak segan-segan berebut rok dengan Po. Saat rebutan itu terjadi, 'dewa'-nya Teletubbies matahari bermuka bayi lucu lalu mengatur agar yang berebut rok itu memakainya secara bergantian. Dewa bayi itu seolah menjadi 'tuhan' yang menganjurkan perilaku seks menyimpang.
Kalangan orang tua juga mesti waspada dengan adegan 'berpelukan' yang selalu dilakukan empat sekawan itu di akhir acara. Menurut Elzim, pelukan di antara anggota keluarga wajar, dan baik baik. Namun efek adegan berpelukan Teletubbies sangat didasari kebudayaan Barat. Ibu dua anak ini sekarang kerap menjumpai kecenderungan anak-anak di sekolah yang gandrung Teletubbies sering melakukan pelukan kepada kawan perempuan maupun lelaki, baik berlawanan jenis maupun tidak. "Di satu sisi memang bisa mengakrabkan, tapi di sisi lain bila perilaku ini terus-menerus dilakukan bisa fatal akibatnya. Anak-anak akan terbiasa melakukan pelukan dan ciuman dengan siapa saja tanpa pandang bulu."
Dampak lebih jauh, bila yang gandrung adalah anak laki-laki, akan berbahaya. "Anak laki-laki yang suka boneka Teletubbies akan terpengaruh seperti jiwa anak perempuan, bahkan bisa saja kemudian hari memperlakukan dirinya seperti perempuan atau waria," jelas Elzim.
Tidak hanya ajaran gay. Cara bicara tokoh Teletubbies yang cedal pun banyak diprotes kalangan ibu-ibu di Inggris. Misalnya pelafalan kata 'Halo' menjadi 'Ee-o'. Menurut Elzim Khosyiyati, bahasa cadel semacam itu tidak baik bagi proses pembelajaran kemampuan verbal anak. "Kita seharusnya mengajarkan pesan verbal secara tegas dan jelas kepada anak," ujarnya.
Meski penuh kontroversi, Teletubbies terus melaju tinggi. Ia telah mendatangkan keuntungan 80-an juta poundsterling bagi Ragdoll Productions dan BBC Worldwide, produsernya. Kini 45 negara di dunia menyiarkan serial anak-anak yang ternyata mengusung misi kaum Nabi Luth ini, dan menjadi terpopuler di dunia.
Bagi negeri yang peduli terhadap anak-anak, Teletubbies dilarang. Di Singapura, serial Tinky-Winky dan kawan-kawan ini tidak ditayangkan karena dianggap berpengaruh buruk terhadap perkembangan jiwa anak. Bagaimana di Indonesia yang mayoritas beragama Islam? (akbar, pambudi)
Teletubbies Digugat, Menyebarkan Tradisi Gay?
Lucu amat mereka yaaa, imut-imut gemas dan empuk. Itu yang kita bayangkan ketika melihat 4 sosok selebritis baru kesukaan anak batita. Setiap ke pasar, pasti anak merengek minta dibelikan boneka salah satu dari 4 tokoh tsb. Entah yang Ungu (Tinky Winky, paling besar), Hijau muda (Dipsy), Kuning (La Laa) maupun Merah (Po, paling kecil). Saya hafal karakter-karakter mereka sampai kepada model antena di kepala masing-masing adalah karena diprotes anak-anak. Tinky Winky antenanya adalah segitiga terbalik, Dipsy lurus seperti tongkat mencuat ke atas, La Laa melingkar seperti pegas dan Po antenanya seperti bulatan cincin. Beberapa produsen boneka 'aspal' (asli palsu) meniru dengan tidak tepat, sehingga ketika saya membelikan anak saya, saya diprotes: " Nggak cocok Ummi…., antena Po bukan seperti tongkat, tapi Dipsy yang begitu." Apalah artinya mainan.
Kemudian berlanjut dengan membeli VCD nya. Lucu-lucu blo'on, khas anak baru belajar bicara. Dengan satu catatan: suara yang dipakai adalah suara dewasa yang berlogat celat, sehingga kesan saya: koq seperti orang cacat mental? Tetapi sekali lagi: Apalah artinya mainan. Apalagi memang sarat fantasi ruang angkasa dengan gambaran rumah yang seperti pesawat ruang angkasa dan segala pernak pernik khayalan termasuk matahari dengan wajah bayi di tengah-tengahnya.
Jalan ceritanya pun amat-amat sederhana: mengenalkan berbagi mainan, mengenalkan bermain bersama, mengenalkan bahwa setiap orang punya barang kesukaan (my favorite things)…. Begitu sederhana sampai bungsu saya yang belum dua tahun sudah bisa menirukan kata-kata mereka yang khas : "A-oo" sambil menutup mulut. Itu adalah ritual Teletubbies jika ada sesuatu yang salah atau sesuatu yang kurang.Tanpa sadar gaya mereka memang mudah sekali melekat pada batita dan tidak mustahil akan selamanya. Sekali lagi: Apalah arti mainan?
Tapi ternyata artinya lebih dari sekedar mainan. Beberapa waktu yang lalu beredar di internet polemik tentang Teletubbies.
Ada seorang pastor menggugat sosok Tinky Winky yang seperti banci: suara berat tapi suka sekali pada dompet. Menurut salah seorang pengamat media anak, penggambaran sosok laki-laki (suara yang berat) dengan memakai dompet merah seperti itu, khas dompet kaum ibu di Inggris raya, bahkan seperti tas tangan Ratu Elizabeth pada acara-acara sosial, sangat feminin. Pada awalnya pastor tsb-pun digugat balik oleh para pendukung Teletubbies dengan berdalih bahwa dompet Tinky Winky adalah "magic bag" alias dompet ajaib, jadi buat apasih diributkan? Itu kata mereka (it's nothing important), sekali lagi: Namanya juga mainan khayal apapun boleh. Tetapi apakah benar begitu saja?
Ternyata semakin banyak yang terungkap dalam polemik yang kemudian juga melibatkan berbagai pengamat media anak di daratan Eropa dan Amerika. Info lain yang masuk semakin mengejutkan:
1)Warna Tinky Winky adalah warna kesayangan kaum gay
2)Antena Tinky adalah simbol Gay atau lesbian (jika dibalik)
3)Antena Dipsy adalah simbol (maaf) kelamin laki-laki.
4)Antena Po simbol perempuan
Bahkan dari jalan cerita salah satu filmnya, jelas menunjukkan sebuah niat untuk memperkenalkan tingkah laku para homosex, yaitu Tinky Winky berebut rok dengan La Laa dan diperbolehkan oleh si Matahari (yang di dalam Teletubbies Land dianggap sebagai simbol pengganti semua otoritas dunia manusia, yaitu otoritas orangtua, guru dll termasuk Tuhan!). Jadi ada satu lagi yang diajarkan di sini: re-definisi atas simbol-simbol otoritas!
Selama ini kaum homosex sedang bergelut untuk minta pengakuan dunia bahwa homosexual adalah sebuah kecenderungan sejak lahir (dalam bahasa Islam disebut fitrah, sebagaimana ketertarikan laki-laki terhadap perempuan). Mereka menggugat agar punya gereja sendiri dan bisa menikah resmi dengan pasangannya, mereka juga menggugat agar masyarakat menerima mereka sebagaimana menerima para cacat mental atau orang buta. Innocent!Tanpa dosa!
Sejauh ini sudah ada gereja-gereja dan pendeta-pendeta yang cukup 'gila' untuk mengakui mereka kemudian mau menikahkan pasangan gay atau lesbian, tetapi tetap saja Kepausan di Roma menolak dan mengkucilkan pendeta dan gereja yang menyimpang. Otoritas agama seperti itu amat di tentang oleh kaum gay dan dianggap melanggar 'hak asasi mereka'. Kemudian inilah yang kita lihat, sebuah usaha untuk mulai mengubah tata nilai manusia dengan mendidik batita dengan bahasa batita.
Agaknya mereka berharap bahwa dengan mengajarkan batita "kesamaan dan persamaan" bagi mereka dan segala tingkah laku menyimpangnya, maka 20 tahunan lagi mereka akan diakui sebagai sebuah komunitas yang sah, sebagaimana sekarang orang Amerika menganggap sah adanya komunitas negro atau hispanik di Amerika Serikat.Globalisasi telah membuat Teletubbies ini bukan hanya nge-top di negeri asalnya Inggris (pertama kali diluncurkan sebagai program Unesco di stasiun TV PBS dan kemudian BBC), tapi juga segera merambah ke seluruh dunia. Keberhasilan mereka terletak pada bahasa komunikasi yang mereka gunakan.
Para aktornya telah susah payah diajarkan bagaimana bertingkah laku, berbicara dan bergerak seperti Batita (toddler). Mengingat betapa sedikitnya film-film yang mendidik yang benar-benar bisa bicara dengan batita, saya akui teknik mereka dalam berkomunikasi dengan batita amat canggih. Meskipun kita, sebagai orang dewasa akan merasa ganjil dengan gaya Teletubbies (seperti kesan yang saya dapatkan yaitu seperti orang cacat mental), tetapi bagi batita mereka betul-betul mewakili dunianya. Penuh warna, main kejar-kejaran, banyak bunga dan binatang tak berbahaya, lapangan luas dan matahari yang bersinar cerah.
Absennya sosok penting bagi batita ternyata merupakan sebuah kesengajaan demi melancarkan misi kaum gay. Sosok yang hilang adalah sosok orangtua. Biasanya, bagi batita sosok 'mama' atau 'papa' amat lekat dengan dunia mereka. Dalam Teletubbies Land, sosok itu ditiadakan (baik mama maupun papa) karena sosok-sosok inilah yang mulai menanamkan nilai-nilai tradisi dan ideologi kepada anak termasuk agama dan nilai sosial masyarakat sejak kecil.
Inilah yang sedang 'dimusuhi' kaum gay, karena biasanya orangtua-lah yang memperingatkan anaknya jika berada dekat-dekat dengan gay, takut ketularan Aids maupun takut terbawa perilaku mereka. Nah, dalam Teletubbies Land tak perlu ada orangtua, anak-anak bisa hidup mandiri dan tetap gembira tanpa mama atau papa sebagai sosok otoritas. Jika ada sesuatu yang tidak beres, ada sosok lain yang punya tugas khusus, yaitu Nu-Nu si Vacum Cleaner, sebagai sosok pelayan yang membereskan apa yang di kacaukan atau dibuat berantakan oleh para Teletubbies. Jadi tak perlu mama.
Satu-satunya sosok otoritas yang dibolehkan ada adalah sosok matahari dengan wajah bayi (sebagaimana wajah para pemirsa). Jadi dalam Teletubbies Land sosok otoritasnya berada dalam posisi yang sedikit banyak 'sejajar' dengan para Teletubbies maupun penonton: sama-sama bayi! Dan sang 'matahari bayi' tadi mengajarkan: boleh saja boys (laki-laki, yaitu Tinky Winky) memakai rok ballet berenda bergantian dengan La Laa dan yang lain. Jadi 'boys' dan 'girls' boleh bertukar peran, karena dalam Teletubbies Land jenis kelamin tidak penting dan boleh gantian! That's it !!
Ini adalah sosialisasi awal yang amat-amat halus dan canggih dengan sasaran yang amat tepat: anak yang sangat kecil yang putih bersih bagai kertas kosong. Bahkan ada pengamat media lain yang mensinyalir bahwa matahari bayi yang digambarkan dalam serial ini diambil dari mitos-mitos para penyembah berhala, Yunani, Persia dan Hindu. Seolah para pencipta Teletubbies ingin menciptakan Dewa baru bagi manusia, yaitu dewa yang menerima gay sebagai kewajaran dalam hidup.
Wah-wah wah, apalagi yang lebih berbahaya? Perilaku kaum Luth, penghilangan fungsi lembaga keluarga (bapak dan ibu) serta penyembahan berhala.
Masih bisa diamati lebih lanjut, yaitu apa saja celotehan dan tingkah laku para Teletubbies sebenarnya sarat dengan istilah-istilah khas dunia mesum dan dunia gay. Tentunya para 'pakar kemesuman' lebih bisa menjelaskannya dari saya. Wallahua'lambishshowwaab (eramuslim)
Penulis: Saisyahn Bachtir
mihsat@hotmail.com
"I believe television and video are the most underestimated force for good in educating our children in the technological age in which we live. It is important to develop children’s thinking skills."1 (Anne Wood, Teletubby creator, BBC) "Time for Teletubbies. Time for Teletubbies…."At the sound of the familiar call, toddlers around the world scamper to their television sets for 30 minutes of simple play, enchantment, and learning. They smile with the baby-faced sun rising in the sky and laugh at four chubby Teletubbies popping out of their under-ground home. When the magic windmill spins its sparkly beams, they share the excitement of a daily mystery: Which tummy-screen will light up and broadcast a short TV clip?
Look again at the picture on the far right. This mirror was pictured in a Time Magazine article about the Harry Potter books. In the photograph, Ms. Rowling sat next to a large gray gargoyle with her back to the mirror. It's possible that she didn't attach any spiritual significance to this representation of the sun -- one that would carry the image of whoever gazed at it. But whether she was consciously aware or not, her mirror fits today's feminist quest to "re-imagine God" in one's own image. No one illustrates this pursuit better than Patricia Lynn Reilly who told me she was "born again" as a Christian. Her book title says it all: A God that Looks Like Me -- Discovering a Woman's Self-Affirming Spirituality. Even toddlers can absorb the subtle message behind a transcendent god-like sun that sees, giggles and smiles -- just like them. |
Langganan:
Postingan (Atom)