Lantas mengapa dia berontak? Operasi militer di Aceh kini telah memasuki minggu ke-12. Ada banyak alasan untuk tetap bergabung atau berpisah. Tapi dibutuhkan lebih banyak lagi alasan untuk mengangkat senjata atau menggunakan senjata demi menciptakan damai. Dan 17 Agustus adalah saat yang tepat untuk merenung: mengapa mereka yang pernah jatuh cinta itu kemudian berontak.
Mengapa Aceh Berontak?
Apa yang disebut Indonesia? Pertanyaan ini layak kita renungkan di saat merayakan hari ulang tahun kemerdekaan ke-58 republik yang kita sayangi ini. Terutama setelah rasa penat mengikuti upacara—atau setelah balap karung di RT—mulai hilang. Sebab, tak semua daerah merayakan acara 17 Agustus ini dengan tawa-ria tarik tambang ataupun berbagai perlombaan lain yang diadakan untuk merangsang suasana gembira bersama. Di beberapa daerah Aceh, misalnya, kegembiraan tak kelihatan sosoknya. Lupakan soal pesta lomba, karena soal sepele seperti apakah sebaiknya memasang bendera Merah Putih atau tidak saja bisa bermuara pada keselamatan jiwa sang pemilik rumah. Simbol resmi negara Indonesia itu dimusuhi oleh sejumlah warga yang ingin menjadikan Aceh sebagai negara merdeka, terlepas dari RI.
Perbedaan suasana yang mencolok di provinsi paling barat itu sungguhlah ironis. Bagaimana tidak. Sejarah telah mencatat betapa tingginya gairah rakyat Aceh ketika menyambut kelahiran Republik Indonesia, sehingga secara spontan dinyatakan oleh Bung Karno sebagai "daerah modal Republik", ketika Bapak Bangsa dan Presiden Indonesia ini berkunjung untuk pertama kalinya, 1948. Namun, tak sampai lima tahun kemudian, kekecewaan terhadap pemerintah pusat, yang dirasakan tidak tanggap terhadap aspirasi daerah, mulai tumbuh. Pemberontakan bersenjata pun meletus sejak 1953. Mula-mula karena janji otonomi khusus tak kunjung ditepati dan, belakangan, karena pengerukan hasil alam daerah oleh pusat menyinggung rasa keadilan penduduk Aceh yang merasa nyaris tak mendapatkan manfaat dari kegiatan ekonomi itu.
Terlepas dari apa pun alasannya, kekurangtanggapan Jakarta terhadap kekecewaan itu—yang malah sempat mengirim tentara untuk membungkam protes—telah menuai konflik bersenjata yang membuat ribuan warga tewas, terluka, dan jutaan lainnya menderita. Itu sebabnya perayaan proklamasi kemerdekaan kali ini tak bisa hanya diisi dengan kegiatan bersenang-senang, tapi juga perhatian pada saudara sebangsa di Aceh. Kita semua perlu meluangkan waktu untuk memahami mengapa Aceh berontak, karena hanya dengan pemahaman itu solusi yang tepat untuk menyelesaikannya dapat diraih.
Tentu bukan solusi penaklukan. Kita perlu belajar dari pengalaman Indonesia masa lalu agar tak mengulangi kesalahannya. Penaklukan Jawa oleh kekuatan luar Jawa, seperti pada masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya, terbukti jauh dari langgeng. Demikian pula penaklukan luar Jawa oleh kekuatan Jawa, seperti di era Majapahit, bermuara pada keruntuhan. Kita justru perlu belajar dari anak-anak muda bangsa ini yang pada 28 Oktober 1928 bersepakat mendirikan Indonesia atas dasar kesetaraan dan saling menguntungkan, yang melahirkan tekad untuk membangun satu bangsa, satu nusa, dan satu bahasa.
Bila kerangka pemikiran Sumpah Pemuda ini yang dijadikan patokan, jawaban atas pertanyaan "mengapa Aceh berontak?" jadi mudah ditebak. Sebab, gaya sentralistik pemerintahan Orde Baru, bahkan juga di paruh akhir pemerintahan Orde Lama, pada dasarnya adalah Majapahit babak II. Karena itu, sangat wajar jika sebagian penduduk Aceh melawannya dengan modus Sriwijaya babak II pula. Mereka mungkin tak secara sadar melakukannya, tapi simaklah mengapa baik Daud Beureueh ataupun Hasan Tiro menggunakan masa kejayaan Sultan Iskandar II sebagai modal pembangkit semangat gerakan separatisnya.
Lantas, bagaimana menyelesaikan kemelut separatisme yang dipicu oleh proses Majapahitisasi separuh abad ini? Jawabnya adalah dengan kembali ke Indonesia dengan semangat Sumpah Pemuda 1928. Kesepakatan untuk menjadi satu bangsa, satu nusa, dan satu bahasa atas dasar kesetaraan dan kepentingan bersama dan bukan oleh dominasi atau penaklukan yang kuat terhadap yang lemah. Mufakat ini hanya dapat dibangun melalui rentetan dialog yang jujur, rasional, dan melihat ke depan. Karena itu, perlu dibangun di atas kesepahaman rekonsiliasi nasional yang menyeluruh.
Rekonsiliasi pada dasarnya adalah saling memaafkan kesalahan masa lalu, tapi bukan melupakannya. Ini berarti masing-masing pihak harus menyadari telah melakukan kesalahan, mengakui secara terbuka, dan bertekad tak mengulanginya. Setelah proses ini dilalui, langkah selanjutnya adalah melakukan debat publik untuk menentukan Indonesia seperti apa yang diinginkan. Soalnya, jatidiri sebuah bangsa tak dapat dicari dari masa lampau, tapi justru harus terus-menerus dibangun. Mengutip apa yang dikatakan pemikir sohor Ignas Kleden, "Indonesia bukanlah suatu Gabe, sebuah karunia, melainkan sebuah Aufgabe, suatu tugas, yang mungkin akan merupakan ein unvollendetes Projekt, sebuah proyek yang tak kunjung selesai."
Cara penyelesaian seperti ini bukan orisinal, bahkan telah terbukti kemujarabannya di berbagai negeri. Portugal melakukannya untuk menyelesaikan pemberontakan bersenjata di Kepulauan Azores dan Madeira setelah negara ini mengalami proses demokratisasi di pertengahan 1970-an. Hal yang sama juga dilakukan negara kesatuan Spanyol untuk menyelesaikan gerakan separatis provinsi seperti Catalonia dan Basque setelah rezim diktator Jenderal Franco tumbang. Maka, tak ada alasan untuk pesimistis bahwa keampuhannya tak akan berlaku buat menyelesaikan pemberontakan Aceh.
Memang bukan pekerjaan gampang, tapi bukan pula sebuah mission impossible.
Pejuang Kemerdekaan yang Berontak
TIDAK pernah saya lupakan kemarahannya ketika saya katakan ada baiknya kalau undangan Dr. Mansyur untuk menghadiri konferensi se-Sumatera diterima saja. Ia memukul saya dengan tongkatnya sambil berkata: di mana akan kamu dapatkan negara yang jelas-jelas mengatakan dirinya berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa?". Begitulah cerita seorang tokoh Partai Persatuan Pembangunan Daerah Istimewa Aceh tentang sebuah episode yang dialaminya dengan Teungku Daud Beureueh.
Kalau cerita diteruskan, usaha Negara Sumatera Timur (NST) menggalang kekuatan Sumatera menghadapi RI yang dipimpin Sukarno-Hatta, yang telah ditawan Belanda (1949), pun gagal. Cerita anekdotal ini hanyalah salah satu dari sekian banyak kisah tentang Teungku Daud Beureueh yang saya dapatkan di Aceh di awal tahun 1980-an.
Golkar kalah di Aceh pada pemilu tahun 1982. Entah kenapa saya disuruh meneliti soal ini. Konon—jika "laporan pandangan mata" pimpinan yang menyuruh saya itu bisa dipercaya—kekalahan itu menyebabkan Presiden mengajukan pertanyaan: "Apakah Aceh anti-Pancasila?" Singkat cerita, saya pun berangkat ke Aceh untuk mencari jawab atas pertanyaan yang agak aneh ini (Emangnyé Golkar ajé yang Pancasilais?). Tetapi sudahlah. Sebab-sebab kekalahan Golkar dengan mudah bisa diketahui. Saya pun lebih asyik meneliti visi Aceh tentang dirinya dan tentang tempatnya dalam sejarah dan masyarakat-bangsa. Selama dua minggu saya berkeliaran di sepanjang pantai timur, membelok dua hari ke Takengon, sampai akhirnya sampai di Medan. Jadi, praktis saya menjalani wilayah etnis Aceh dan Gayo saja.
Apakah yang tidak saya dapatkan dalam seri diskusi dan wawancara yang nyaris non-stop ini? Sejarah, folklore, mitos, kebanggaan sejarah, harapan, keluhan, ocehan, dan entah apa lagi. Kisah Samudra Pasai sebagai kerajaan Islam tertua, perang kolonial di Aceh yang terlama dan termahal, Hamzah Fansuri, Abdurrauf al-Singkili, dan sebagainya dengan lancar keluar dari mulut para tokoh—dari birokrat dan ulama sampai pedagang, dari yang telah mantan sampai yang masih sibuk menggapai karier. "Aceh daerah modal." Kapal terbang Seulawah dan sebagainya adalah kebanggaan yang tak terlupakan. Tetapi seketika berbagai kisah yang membanggakan itu berakhir, helaan napas panjang pun tak selamanya bisa terelakkan. "Aceh telah sangsai," kata seorang tokoh di Aceh Timur. Kalau telah begini, kebanggaan daerah kembali dikemukakan, tetapi dengan nada yang menuntut kewajaran dalam penghargaan.
Kalau telah begini pula berbagai cerita dari revolusi diulang-ulang dan pengalaman getir dari "Peristiwa Daerah" 1950-an diingat-ingat. Dalam ingatan kolektif yang disampaikan kepada saya itu, sering kali Tgk. Daud Beureueh tampil sebagai tokoh yang paling dominan. Kadang-kadang timbul juga keraguan dalam diri saya, "Apakah memang demikian halnya?"
Saya telah tahu bahwa persaingan ini terjadi, kata para pengecam Snouck Hurgronje, adalah akibat kemampuan ilmuwan kolonial ini melihat celah dalam sistem kepemimpinan Aceh. Ia berhasil menjadikan perbedaan peran sosial sebagai landasan bagi persaingan ideologis. Seandainya para pengecam ini benar, saya tentu bisa berkata bahwa, biarpun sebuah policy bertolak dari landasan pengetahuan yang salah, jika dijalankan dengan konsisten akhirnya akan menciptakan realitasnya sendiri.
Saya juga telah tahu bahwa sejarah masa revolusi nasional di Aceh tidak hanya menghamparkan kisah tentang pengorbanan bagi negara yang baru diproklamasikan, tetapi juga tentang konflik berdarah golongan uleebalang, dengan para pengikut ulama, yang bergabung dalam Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Bahkan, jika saja bacaan saya tidak mengkhianati saya, "Peristiwa Daerah" di tahun 1950-an tidak pula terbebas dari persaingan kedua corak kepemimpinan Aceh itu. Hanya, dalam wawancara saya, kisah tentang konflik internal ini disebut sepintas lalu saja, sebelum kisah beralih kembali pada masalah penghadapan Aceh dengan kekuatan luar—entah Belanda, entah pemerintah pusat. Kalau telah begini, nama Tgk. Daud Beureueh pun diulang-ulang.
Dengan mudah saya mendapatkan verifikasi yang sahih tentang cerita bahwa keterlibatan Aceh dalam revolusi nasional semakin intensif setelah Daud Beureueh dan tiga kawannya sesama ulama mengeluarkan maklumat dukungan pada Republik Indonesia, di bulan Oktober 1945. Maklumat itu juga ditandatangani oleh T. Nyak Arief, Residen Aceh, dan Tuanku Mahmud, Ketua Komite Nasional. Sepintas lalu keikutsertaan Residen dan Ketua Komite Nasional Indonesia hal yang biasa saja. Tetapi, besar dugaan saya, di masa awal revolusi—sebelum arus bawah dari konflik internal tampil ke permukaan— keikutsertaan mereka secara simbolis ingin mengatakan keutuhan kepemimpinan Aceh. Ulama, uleebalang, dan aristokrat kerajaan bersatu dalam memberikan dukungan kepada RI. Hanya, "Peristiwa Cumbok" dan kemudian gerakan pemuda PUSA, yang mengadakan "revolusi sosial" terhadap apa yang mereka sebut "feodalisme", memorak-porandakan "bulan madu" yang singkat ini. Maka, seperti halnya "perang Aceh", para ulama pun semakin memantapkan diri sebagai "perumus realitas" Aceh. Dan kedudukan sentral Daud Beureueh semakin kukuh juga. Konon ketika inilah Bung Karno datang ke Aceh dan ketika ini pulalah ia berjanji kepada sang ulama—yang menurut kisahnya dipanggilnya "kakak"—bahwa ia akan ikut memperjuangkan agar hukum syariah bisa dijalankan di Aceh. Entah sejarah, entah folklore. Yang jelas, kisah ini selalu diulang dan ditulis. Karena dianggap sebagai kebenaran yang sahih, mestikah diherankan kalau kejujuran Bung Karno disangsikan?
Revolusi adalah kisah yang membangkitkan rasa bangga bagi Aceh. Bukan saja daerah mereka terbebas dari pendudukan Belanda dan sebagainya, tetapi juga ketika itulah Aceh merasakan nikmat dan tantangan sebagai provinsi yang otonom. Tgk. Daud Beureueh adalah gubernur militer, yang didukung oleh mata rantai kepemimpinan lokal yang kuat. Kedudukan ini semakin diperkuat ketika "Yogya telah kembali" dan Sjafruddin Prawiranegara menjadi wakil perdana menteri yang berkedudukan di Kutaraja/Banda Aceh. Tetapi, ketika kedaulatan negara telah didapatkan dan Republik Indonesia Serikat (RIS) telah berdiri, Aceh dijadikan sebagai bagian dari Sumatera Utara. Ketika RIS bubar dan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdiri, keputusan diperkuat. Memang benar pemerintah pusat menghadapi berbagai corak situasi yang dilematis—sebagai akibat pilihan yang tak mudah antara keharusan rasionalisasi administrasi pemerintahan dan keberlanjutan aspirasi revolusioner—tetapi bagi masyarakat Aceh pembubaran provinsi dirasakan sebagai pengkhianatan dan penghinaan. Maka, lagi-lagi saya diingatkan pada berbagai insiden kerdil yang dilakukan aparat pemerintah terhadap Tgk. Daud Beureueh.
Ketika para tokoh pemerintah pusat masih bersedia menyibukkan diri untuk mendengar keinginan masyarakat Aceh dan menyabarkan kemarahan yang telah telanjur dicetuskan, situasi dialogis masih bisa dipertahankan. Tetapi, ketika kabinet telah berganti dan pemerintah pusat hanya melihat masalah Aceh sebagai pantulan dari persaingan internal antara para pemimpin Aceh, hal yang mestinya telah diduga itu pun terjadi. Tgk. Daud Beureueh "ke hutan" di hari Pekan Olahraga Nasional III di Medan, 21 September 1953, secara resmi dimulai. Ironis juga ia memisahkan diri ketika persatuan bangsa secara simbolis ingin diwujudkan dalam pekan olahraga. Tetap, bukankah ironis juga kalau sang pendekar kemerdekaan dengan begitu saja disingkirkan dengan dalih ketertiban pemerintahan?
Dalam masa "di hutan" itu ia, seperti juga halnya Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan, bergabung dengan NII/Darul Islam, yang berpusat di Jawa Barat. Kemudian ia mendekatkan diri dengan Republik Persatuan Indonesia/PRRI. Dengan kata lain, sang ulama-politikus ini hanya menginginkan Aceh sebagai bagian dari alternatif NKRI—negara Islam atau/dan negara federal, tetapi bukan negara yang terpisah. Ia berontak, tetapi ia bukankah seorang separatis. Sembilan tahun kemudian ia turun ke bawah, kalah, tetapi diterima dengan segala kehormatan.
"Peristiwa Daerah" telah berakhir. Aceh pun menjadi daerah istimewa, yang dibolehkan menjalankan hukum syariah. Tetapi pertanyaan yang sering dilontarkan kepada saya: dalam hal apa Aceh diistimewakan? Atau pertanyaan ini: jika saja 10 persen dari hasil Aceh dikembalikan kepada kami, rakyat Aceh sudah puas dan berterima kasih? Seorang pedagang di Lhok Seumawe berkata, "Di manakah keadilan mau dicari kalau semeter tanah dihargai lebih murah dari semeter plastik?" Ia mungkin melebih-lebihkan masalah, tetapi tuntutan terhadap ketidakadilan semakin nyaring juga. Sementara itu, Tgk. Daud Beureueh telah diharuskan, dengan segala cara, hanya berperan sebagai "museum sejarah"—untuk dinikmati dan direnungkan. Orde Baru bukan saja telah menguasai politik dan ekonomi, tetapi juga penguasa kesadaran dan pemegang monopoli ingatan kolektif bangsa. Ketika monopoli ini goyah, mestikah diherankan kalau semuanya meletup keluar? Yang tampil bukan lagi alternatif terhadap tatanan negara, melainkan hasrat pemisahan dari bangsa dan negara yang pernah diperjuangkan Aceh dengan gigih. (Taufik Abdullah Sejarawan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar