Kemerdekaan Semu Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, merdeka dimaknai
sebagai bebas (dari penghambaan, penjajahan dan sebagainya); tidak terkena atau
lepas dari tuntutan; tidak terikat; tidak bergantung kepada orang atau pihak
tertentu; dan leluasa. Berkaitan dengan penjajahan, merdeka berarti lepas dari
berbagai bentuk penjajahan dan penghambaan manusia terhadap manusia lainnya,
baik penjajahan secara fisik maupun penjajahan dalam bentuk ekonomi, sosial,
politik, dan budaya.
Secara realitas, kita belum benar-benar merdeka;
kita baru merdeka semu. Betul, penjajah Belanda maupun Jepang telah lama angkat
kaki dari bumi Indonesia, tetapi itu sebatas fisik.
Sementara itu,
sistem dan aturan yang ada, bahkan kebergantungan kepada pihak asing, khususnya
negara-negara besar, demikian tinggi.
Dalam bidang ekonomi, umat Islam,
termasuk Indonesia, masih terjajah; baik melalui penanaman modal asing (PMA),
utang luar negeri, dolar sebagai standar mata uang, dan perdagangan bebas lewat
WTO. Dengan PMA, perusahaan makanan, minuman, otomotif, elektronik,
pertambangan, semen, perikanan-kelautan, dan lainnya dikuasai asing. Di
Indonesia sendiri, sejak tahun 1998 terdapat 80 perusahaan yang dicengkeram oleh
asing (Warta Ekonomi, no. 14/XII/9 April 2001). Negara-negara maju dapat menekan
negeri Muslim terbesar ini karena jeratan utang luar negeri. Untuk menutupinya
harus ada pinjaman lagi dari luar negeri; tutup lobang gali lobang terjadi.
Akhirnya, utang luar negeri menyebabkan ketergantungan
terus-menerus.
Hingga kini, dolar diterapkan sebagai standar mata uang
dunia. Karenanya, melalui permainan nilai dolar ini, negara Barat dapat
mengintervensi negara lain. Sebagai contoh, krisis ekonomi, sosial, dan politik
yang terjadi di Indonesia ini diawali dan dipicu oleh krisis moneter dengan
anjloknya rupiah tahun 1997 hingga mencapai Rp 15.000 perdolar. Defisit anggaran
sebesar 86 triliun saat itu juga disebabkan karena perubahan kurs rupiah
terhadap dolar. Harga-harga di dalam negeri melonjak hanya karena perubahan
nilai rupiah terhadap dolar AS. Jelaslah, dengan dolar sebagai standar mata
uang, keguncangan di dalam negeri dapat direkayasa kapan saja. Realitas hidup
ditentukan oleh kafir imperialis.
Pada sisi lain, WTO dengan perdagangan
bebasnya senantiasa merancang berbagai strategi ekonomi dan mempublikasikan
kajian-kajian yang berkaitan dengan perdagangan bebas dan investasi ekonomi
untuk menghilangkan hambatan tarif dan membuka pasar-pasar internasional. Dengan
pasar bebas berarti kualitas menjadi tolok ukur. Sementara itu, kualitas
ditentukan oleh teknologi yang dimiliki. Padahal, teknologi canggih hanya
dipunyai oleh negara-negara besar dan maju. Negeri-negeri kaum Muslim tidak
memiliki kemampuan itu. Akibatnya, dengan pasar bebas, kafir imperialis dapat
memasarkan produk-produk mereka, termasuk peralatan militer. Sementara
negeri-negeri Islam kalah bersaing. Konsekuensinya, alih-alih dapat menyaingi,
negara-negara Dunia Ketiga akan terus bergantung pada negara-negara
maju.
Sebagai contoh, Senin (26/7/2004), Menteri Perhubungan AS Norman Y.
Mineta dan Menteri Perhubungan Indonesia, menandatangani perjanjian penerbangan
Langit Terbuka (Open Skies) antara kedua negara yang akan menghapus berbagai
hambatan pada pelayanan udara ke, dari, dan di luar wilayah udara masing-masing.
Sebagai akibat dari perjanjian itu, Amerika Serikat sekarang mempunyai hubungan
Langit Terbuka dengan 65 mitra. Berkaitan dengan masalah ini, ngocor hibah dari
Badan Perdagangan dan Pembangunan A.S. bernilai total 1,1 juta dolar AS.
Hibah-hibah tersebut akan dipakai pada sistem kontrol dan perlengkapan
lalu-lintas udara guna membantu Indonesia mengelola kawasan udaranya dengan aman
di atas Kepulauan Natuna.
Dalam bidang sosial dan budaya kecenderungan
pem-Barat-an dengan meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan menuju nilai hewani
tampak jelas di depan mata. Bidang politik pun tidak luput dari berbagai campur
tangan pihak-pihak negara besar. Kasus Pemilu yang baru lalu memberikan banyak
indikasi tentang campur tangan asing tersebut.
Walhasil, saat ini kita
baru merdeka secara fisik dari tangan penjajah. Namun, kita tetap masih terjajah
dalam bidang, ekonomi, sosial, politik, dan budaya; bahkan keyakinan dan sistem
hidup.
Kemerdekaan Hakiki
Di dalam al-Qur’an, istilah merdeka (al-hurr, at-tahrîr) senantiasa
terkait dengan pembebasan budak dari cengkeraman majikannya. Nash-nash yang
menyatakan hal ini adalah:
Tidak layak bagi seorang Mukmin membunuh
seorang Mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Barangsiapa
membunuh seorang Mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang
hamba sahaya yang beriman serta membayar denda (diyat) yang diserahkan kepada
keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh)
bersedekah. (Qs. an-Nisaa’ [4]: 92).
Istilah merdeka juga terdapat
dalam Qs. al-Baqarah (2) ayat 178, Qs al-Maa’idah (5) ayat 89, dan Qs.
al-Mujadilah (58) ayat 3. Berdasarkan hal ini dapat dipahami bahwa merdeka
berarti lepasnya manusia dari cengkeraman dan penghambaan terhadap sesama
manusia, lalu beralih kepada penghambaan semata kepada Allah SWT. Istilah
merdeka dalam arti ini terdapat dalam firman Allah SWT:
(Ingatlah),
ketika istri Imran berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada
Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang salih dan berkhidmat (di
Baitul Maqdis). Karena itu terimalah (nazar) itu daripadaku. Sesungguhnya
Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Mahatahu.” (Qs. Ali Imran [3]:
35).
Dengan demikian, kemerdekaan yang hakiki adalah lepasnya manusia
dari menjadikan sesama manusia sebagai tuhan, lalu hanya berkhidmat dan tunduk
kepada Allah SWT dengan menegakkan hukum-hukum-Nya. Dalam firman lain-Nya Allah
SWT menegaskan bahwa penghambaan manusia kepada Allah SWT merupakan misi
penciptaan-Nya. Allah SWT berfirman:
Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (Qs. Adz-Dzariyat [51]:
56).
Tobat dan Syukur
Melihat realitas seperti ini, kita harus melakukan dua hal sekaligus,
yaitu tobat dan syukur. Keterjajahan ekonomi, sosial, politik, dan budaya yang
hingga kini masih berjalan akibat tidak menerapkan Islam patut ditobati.
Sebaliknya, lepasnya kita dari penjajahan fisik pun patut disyukuri. Sebab,
setiap kenikmatan apapun diperintahkan Allah SWT untuk kita
syukuri.
Tobat adalah perbuatan hati yang mencakup perasaan dan pengakuan
bersalah, benci atas perbuatan salahnya tersebut, dan usaha serius untuk tidak
mengulanginya lagi. Tobat berarti kembali pada kebenaran (rujû’ il al-haq).
Padahal, kebenaran terdapat dalam wahyu Allah SWT; kebenaran terdapat dalam
Islam. Oleh sebab itu, tobat berarti kembali pada aturan-aturan Islam secara
total. Dengan kata lain, kita wajib sadar akan kesalahan, yakni tidak menerapkan
Islam.
Secara individual dan spiritual, tobat dapat diwujudkan dengan
mengadu sepuas-puasnya, memohon atas segala kemurahan-Nya, seraya berdoa memohon
ampunan kepada-Nya. Sementara itu, tobat secara praktis dan implementatif
hanya dapat ditempuh dengan penerapan syariat Islam yang berasal dari Allah SWT,
Zat Yang Maha Pengasih.
Pada sisi lain, kekayaan sumberdaya alam dan
sumberdaya manusia yang dianugerahkan Allah SWT serta syariat Islam yang telah
diturunkan-Nya merupakan kenikmatan yang patut disyukuri. Dia Yang Mahamulia
menjelaskan bahwa kenikmatan yang diberikan olehnya akan dapat disikapi dengan
dua sikap berbeda, syukur ataukah kufur. Dia berfirman:
Berkatalah
seseorang yang mempunyai ilmu dari Al-Kitab, “Aku membawa singgasana itu
kepadamu sebelum matamu berkedip.” Tatkala Sulaiman melihat singgasana itu
terletak di hadapannya, ia pun berkata, “Ini termasuk kurnia Rabb-ku untuk
mencoba aku apakah aku bersyukur ataukah mengingkari (akan nikmatnya).
Barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya ia bersyukur untuk (kebaikan)
dirinya sendiri; barangsiapa yang ingkar maka sesungguhnya Rabb-ku Mahakaya lagi
Mahamulia.” (Qs. an-Naml [27]: 40).
Bersyukur kepada-Nya atas segala
nikmat yang diberikan-Nya akan semakin menambah kenikmatan itu kepada kita.
Bersyukur merupakan satu ciri kehambaan seorang hamba. Selain itu, syukur
mencirikan kebutuhan hamba akan kelanggengan dan pertambahan nikmat yang selama
ini diterimanya. Sebaliknya, ketika kenikmatan tersebut dikufuri maka
keburukan-keburukan akan menimpa manusia akibat pilihannya tidak bersyukur atas
nikmat tersebut. Allah berfirman:
Ingatlah ketika Rabb kalian
memaklumkan, “Sesungguhnya jika kalian bersyukur pasti kami akan menambahkan
nikmat kepada kalian. Jika kalian mengingkari nikmat-Ku sesungguhnya azab-Ku
sangat pedih.” (Qs. Ibrahim [14]: 7).
Apa syukur itu? Para ulama
memaknai syukur sebagai upaya menggunakan sesuatu sesuai dengan kehendak si
pemberi. Imam al-Ghazali menyatakan bahwa jika seseorang menggunakan nikmat itu
untuk taat, berarti ia bersyukur karena bertindak sesuai dengan yang dikehendaki
oleh Allah SWT. Jika dipergunakannya untuk maksiat maka itu berarti mengkufuri
nikmat, karena bertindak tidak sesuai dengan yang dikehendaki Allah SWT.
Sungguh, Allah SWT tidak meridhai kekufuran dan kemaksiatan hamba-Nya. Andaikata
ia pun menyia-nyiakan nikmat itu, tidak dipergunakan untuk maksiat atau untuk
taat, itu pun berarti kufur kepada nikmat. Dengan demikian, mensyukuri berbagai
kenikmatan materil dan aturan yang diberikan Allah SWT adalah dengan cara taat
total kepada-Nya melalui penerapan syariat Islam secara
total.
Berdasarkan hal di atas, berbagai keburukan yang menimpa
masyarakat kini harus ditobati, dan kurnia Allah SWT mutlak disyukuri. Caranya,
tobat dan syukur tersebut diwujudkan dalam bentuk ketaatan kepada Allah SWT.
Ketaatan kepada Allah SWT berarti taat pada syariat Islam sebagai aturan dan
sistem hidup yang diridhai-Nya untuk mengurus segenap manusia. Dengan kata lain,
kesalahan menerapkan aturan kufur dan sekular yang selama ini dilakukan
merupakan kesalahan dan karenanya harus segera dihentikan, lalu bertobatlah dan
syukuri kemerdekaan secara fisik ini dengan penerapan syariat Islam. [Buletin
Al-Islam, Edisi 217]
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar