Renungan Kemrdekaan Tidak dapat
disangkal bahwa Islam merupakan komponen penting yang turut mem-bentuk dan
mewarnai kehidupan masyarakat Indo-nesia dari waktu ke waktu. Perjuangan umat
Islam merupakan suatu proses ke arah pembentukan pola tatanan baru dalam
dinamika kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara.
Dalam kurun waktu
permulaan abad 20 hingga abad 21 sekarang ini, pergerakan Islam memberikan peran
tersendiri di negeri ini. Perjalanan sejarah umat Islam di Indonesia
memperlihatkan peranan yang amat dominan dalam menyuarakan dan menegakkan
kemerdekaaan dalam segala aspeknya; menentang penjajahan, mengupayakan
kemerdekaan politik untuk membebaskan diri dari belenggu pen-jajahan, perjuangan
bersenjata dalam perang kemerdekaan, perjuangan di alam pembangunan dalam
mengisi kemerde-kaaan, hingga menyuarakan kemerdekaaan berpikir, umat Islam
tampil paling depan dengan segala konsekwensinya. Tapi, terkadang ia tampil
dalam pentas politik nasional, dan terkadang pula ia terpental darinya.
Zaman Kolonial Belanda
Bangsa Indonesia (baca: umat Islam) sejak abad ke-17 hingga pertengahan
abad ke-20 berada di bawah kekuasaan imperialisme Barat (Belanda yang paling
lama) yang menguasai segala aspek kehidupan dan mencoba melumpuhkan kekuatan.
Sejak zaman VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) masa awal penjajahan
Belanda, berganti ke zaman Cultuur Stelsel (tanam paksa) terus ke periode
Etische Politiek (polotik etis), hingga zaman Volksraad (Dewan Rakyat) tempat
berbagai diplomasi politik ber-kembang, dan berakhir pada zaman Exorbitante
Rechten (hak luar biasa di tangan Gubernur Jenderal), kekayaan dan kemakmuran
bangsa Indonesia dihisap oleh penjajah Belanda. Kemerdekaan berpikir dan
bertindak dirampas oleh kekuatan politik kolonial. Akibat dari lima periode
penjajahan Belanda tersebut bangsa Indonesia menanggung penderi-taan yang tiada
tara. Umat Islam pun bangkit menentangnya. Umat Islam men-jadi barisan terdepan
dalam menghadapi penjajahan Belanda, karena Islam pada dasarnya anti
imperialisme dalam segala bentuk dam manifestasinya. Sebut saja Sultan
Hasanudin, Sulta Ageng Tirtayasa, Imam Bonjol, Pengeran Dipenogoro, Teuku Umar,
Tjut Nyak Dien, dan masih banyak pemimpin-pemimpin Islam lainnya, mereka bangkit
mengobarkan perlawanan untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan.
Pemerintah Belanda pun memahami, jika kesadaran persatuan umat Islam
yang bersumber kepada ajaran tergalang, maka bahaya dan bencana besar bagi
kekuatan kolonial Belanda akan mengancam. Pada akhirnya mereka pun menggunakan
politik devide et impera; memecah belah untuk kemudian menguasai.
Kesadaran akan pentingnya persatuan umat Islam dalam menentang
penjajahan kolonial Belanda dalam bentuk organisasi baru terwujud dan berkembang
pada awal abad ke-20. Masa akhir penjajahan Belanda, memberikan gambaran tentang
pertumbuhan pergerakan keislaman di Indonesia. Pada masa permulaan abad 20,
ketika rasa nasionalisme modern masih baru tumbuh, kata “Islam” merupakan kata
pemersatu bagi bangsa Indonesia yang berhadapan bukan saja dengan pihak Belanda
tapi juga dengan orang-orang Cina. Lihatlah sebab berdirinya Syarekat Islam
(1912) di Solo yang berdasarkan atas hubungan spiritual agama sekaligus sebagai
front untuk (1) melawan semua penghinaan dan penindasan terhadap rakyat Bumi
Putera; (2) reaksi terhadap rencana krestenings politiek dari Gubernur Jenderal
Idenburg dengan dukungan kaum Zending; (3) perlawanan terhadap kecurangan dan
penindasan dari kaum ambtenar Bumi Putera; dan (4) perlawanan terhadap permainan
dan kecurangan praktik dagang orang-orang Cina. Kesemuanya itu merupakan reaksi
ter-hadap bentuk penindasan dan kesombo-ngan rasial dengan Islam sebagi alat
pemer-satu untuk melawannya.
Persoalan kemudian yang muncul ke permukaan
pada permulaan abad 20 adalah tampilnya berbagai organisasi Islam yang di satu
pihak memberikan pembaru-an ke dalam pola pemikiran Islam dengan melakukan
pemurnian aqidah dari unsur-unsur pra Islam, dan di lain pihak, melahirkan
kelompok yang berpegang teguh pada paham dan anggapan lama serta madzhab yang
dianutnya. Kelompok pertama yang membawa arus gerakan pembaruan mendirikan
oraga-nisasi-organisasi untuk menggalang umat Islam dan mendidik mereka agar
sejalan dengan tuntutan masa. Di antaranya dengan mendirikan lembaga pendidikan
(pesantren) yang memasukkan berbagai mata pelajaran non agama ke dalam
kurikulumnya. Organisasi-organisasi pembaru itu antara lain Muhammadiyah yang
didirikan tahun 1912 di Yogyakarta, Al-Irsyad yang berdiri di Jakarta tahun
1914, Persatuan Islam (Persis) di Bandung pada tahun 1923, dan berbagai
organisasi lain yang sejenis.
Sementara kelompok kedua, untuk
mempertahankan diri dari paham pembaru dan mempertahankan praktik bermadzhab
dari ancaman kaum Wahabi, maka golongan tradisional Islam ini, khususnya di
Jawa, memperkuat diri dengan mendirikan organisasi Nahdlatul Oelama (kebangkitan
para ulama) pada tahun 1926. Nahdlatul Oelama (NU) kemudian menjadi tempat
berhimpun bagi kalangan mereka yang bermadzhab (lebih jauh lihat Deliar
Noer,1980 : 241-254).
Perkembangan selanjutnya, perbedaan-perbedaan yang
semula timbul di kalangan koelompok modernis dan tradisionalis -yang lebih
merupakan perbedaan-perbedaan dalam masalah furu’ (cabang) dan bukan dalam
masalah ushul (pokok)- mulai dapat menimbulkan saling pengertian. Persatuan di
antara umat Islam pun semakin terasa di kala berhadapan dengan kekuatan politik
yang meng-hambatnya.
Lihat saja ketika tahun 1935 berdiri Majelis Islam
A’la Indonesia (MIAI) tempat berhimpunnya berbagai organisasi Islam yang telah
banyak bermunculan pada awal abad ke-20 guna merespon perilaku politik
pemerintah kolonial. Pertemuan-pertemuan antarulama dari berbagai organisasi
menjadi dialog kerjasama untuk memecahkan masalah bersama; lepas dari
penjajahan. Demikian pula, hubungan antara organisasi-organisasi Islam dan
kalangan nasionalis yang netral agama dan berbeda pandangan sejak pertengahan
tahun 1920-an hungga permulaan tahun 1930-an, mulai membaik dengan adanya GAPI
(Gabungan Politik Indonesia) yang didirikan tahu 1939, serta Majelis Rakyat
Indonesia (MRI) yang didirikan pada tahun 1941. Dimana MRI merupakan pertemuan
antara GAPI, MIAI, dan Persatuan Vakbonden Pegawai Negeri (federasi pekerja
dalam jawatan pemerintahan). Salah satu contoh dari hubungan yang membaik itu
dapat dilihat dari dukungan umat Islam terhadap memorandum tuntutan Indonesia
berparlemen pada tahun 1939 yang disokong sepenuhnya oleh golongan nasionalis,
termasuk kalangan Islam, demikian pula tentang perubahan konstitusi Indonesia
yang dituntut oleh pergerakan nasional pada tahun 1941.
Zaman Kolonial Jepang
Masa selanjutnya, ketika Jepang menjajah bangsa Indonesia, kolonial baru
tersebut berusaha menerapkan pola “nipponisasi” terhadap bangsa Indonesia yang
mayoritas beragama Islam. Bangsa Jepang memerintahkan rakyat Indonesia, termasuk
para ulamanya, melakukan saikerei (memberi hormat dengan cara membungkukkan
badan ke arah matahari terbit). Cara penghormatan yang hampir sama dengan ruku
ini membuat marah kalangan umat Islam. Selain itu, umat Islam tidak dapat
menerima kepercayaan Jepang yang meyakini bahwa mereka bangsa terpilih di dunia
dan bahwa kaisar mereka merupakan turunan dewa. Menurut kalangan Islam anggapan
seperti itu jelas menjurus ke arah kemusyrikan.
Kesalahan yang dapat
menyinggung perasaan umat Islam itu berusaha dihapus oleh pihak Jepang; mereka
berusaha menarik kaum muslimin dan meng-angkatnya dengan cara memberikan
kebebasan bergerak dalam organisasi Islam dengan mendirikan kembali MIAI pada 5
September 1942, dan kemudian berubah menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia
(Masyumi) -bukan Masyumi pimpinan Mohammad Natsir-.
Cara lain yang
ditempuh oleh pihak Jepang untuk menarik simpati kaum Muslimin, yang di kemudian
hari mem-berikan keuntungan bagi bangsa Indonesia adalah diselenggarakannya
latihan-latihan kemiliteran bagi para santri, ulama, dan umumnya umat Islam.
Latihan kemiliteran itu lamanya satu bulan berturut-turut mulai
pertengahan tahun 1943 dan diikuti oleh sekitar 60 orang ulama dari berbagai
kabupaten di Jawa. Kemudian suatu latihan yang lamanya tiga bulan diadakan untuk
80 orang guru agama dalam tahun 1944. Pada latihan-latihan ini, para peserta
diajari berbagai ilmu pengetahuan umum, semangat dan kepercayaan Jepang, metode
mengajar, olah raga militer, serta baris-berbaris.
Latihan-latihan itu
menurut Deliar Noer (1987) memberikan hasil, di antara-nya pertama, para ulama
dan para santri memperoleh kesempatan untuk bertemu dengan rekannya yang lain,
di tempat ataupun di dalam perjalanan selama latihan, yang memberikan kesempatan
untuk bertukar pikiran. Kedua, mereka ditantang oleh pikiran dan pendapat yang
selama ini kurang mendapat perhatian. Misalnya isi semangat dan kepercayaan
Jepang. Dengan cara berdiskusi antar-sesama ulama atau santri di tempat latihan,
mereka dapat membandingkan antara Islam dan kepercayaan Jepang; bahwa Islam
lebih mulia dari keyakinan apa pun, termasuk keyakinan yang dianut oleh
Jepang.
Latihan-latihan kemiliteran yang diselenggarakan oleh Jepang bagi
para santri dan ulama, nantinya akan me-numbuhkan semangat juang yang tinggi dan
berguna dalam menghadapi perang kemerdekaan; Revolusi Fisik 1945-1949. Pada masa
Jepang inilah, umat Islam mendirikan laskar perjuangan Hizbullah pada 1944, yang
dalam Revolusi Fisik, laskar ini turut ambil bagian memper-tahankan kemerdekaan
Republik Indonesia. Di samping itu, sebagian besar para pemuda muslim banyak
yang tergabung dalam barisan tentara Pembela Tanah Air (PETA) yang telah
didirikan pada bulan Oktober 1943.
Selain itu, perlawanan fisik juga
dilaku-kan oleh umat Islam terhadap Jepang yang melakukan penindasan. Romusha
atau kerja paksa yang diterapkan bagi rakyat Indonesia telah mengundang
kemarahan, di samping paksaan ideologi “nipponisasi”. Reaksinya adalah bentrokan
senjata di berbagai tempat, sebut saja misalnya perlawanan umat Islam
Tasikmalaya (Jawa Barat) yang dipimpin KH. Zaenal Mustafa.
Pada akhirnya,
usaha Jepang untuk menarik umat Islam ke dalam pangkuan-nya ternyata tidak
membuahkan hasil. Tapi justru sebaliknya, umat Islam memperoleh keuntungan dari
berbagai latihan pada masa Jepang. W.F. Wertheim mengemu-kakan bahwa matahari
terbit (baca: Jepang) sia-sia mencoba menarik bulan sabit (baca: umat Islam)
untuk menetap di dalam orbitnya. Bulan sabit terlalu besar untuk menjadi satelit
yang tidak berbahaya bagi siapa pun, bulan sabit tidak mungkin dan tidak akan
hanya jadi sekedar sebuah sputnik.
Dan, perkembangan berikutnya adalah
suatu dinamika, dimana umat Islam terkadang tampil dalam posisi yang
meng-untungkan, dan terkadang pula terpental darinya. Sekarang, dalam nuansa
keter-bukaan, diharapkan umat Islam tampil memegang kendali, seirama dengan
gerak langkah pembangunan. Insya Allah, umat Islam dapat meraih kunci
keberhasilan dalam lingkaran mardlatillah. Wallahu a’lam. (Ar risalah)
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar