Baca Juga : Kilas balik Perang Salib
Saat perang Salib, tentara Kristen, Jerman, Yahudi membantai orang Islam
di jalan-jalan. Berbalik 180 derajat dengan perlakuan pasukan Islam terhadap
pasukan Kristen. Simak akhlaq Salahuddin al-Ayyubi
“Pemandangan
mengagumkan akan terlihat. Beberapa orang lelaki kami memenggal kepala-kepala
musuh; lainnya menembaki mereka dengan panah-panah, sehingga mereka berjatuhan
dari menara-menara; lainnya menyiksa mereka lebih lama dengan memasukkannya ke
dalam api menyala. Tumpukan kepala, tangan, dan kaki terlihat di jalan-jalan
kota. Kami berjalan di atas mayat-mayat manusia dan kuda. Tapi ini hanya masalah
kecil jika dibandingkan dengan apa yang terjadi di Biara Sulaiman, tempat dimana
ibadah keagamaan kini dinyanyikan kembali. Di sana, para pria berdarah-darah
disuruh berlutut dan dibelenggu lehernya.”
Kisah di atas bukan skenario
film yang fiktif, tapi sungguh-sungguh pernah terjadi. Itu adalah pengakuan
seseorang bernama Raymond, salah satu serdadu Perang Salib. Pengakuan ini
didokumentasikan oleh August C Krey, penulis buku The First Crusade: The
Accounts of Eye-Witnesses and Praticipants (Princeton & London: 1991).
Bagi kaum Muslimin, Perang Salib I memang menyesakkan. Menurut catatan
Krey, hanya dalam tempo dua hari, 40.000 kaum Muslimin dan Yahudi di sekitar
Palestina, baik pria maupun wanita, dibantai secara massal dengan cara tak
berperikemanusiaan. Cara pembantaiannya tergambar dalam pengakuan Raymond di
atas.
Sepak Terjang Tentara Salib
Sampai abad ke-11 M, di bawah pemerintahan kaum Muslimin, Palestina
merupakan kawasan yang tertib dan damai. Orang-orang Yahudi, Nasrani, dan Islam
hidup bersama. Kondisi ini tercipta sejak masa Khalifah Umar bin Khattab (638 M)
yang berhasil merebut daerah ini dari kekaisaran Byzantium (Romawi Timur). Namun
kedamaian itu seolah lenyap ditelan bumi begitu Tentara Salib datang melakukan
invasi.
Ceritanya bermula ketika orang-orang kekhalifahan Turki Utsmani
merebut Anatolia (Asia Kecil, sekarang termasuk wilayah Turki) dari kekuasaan
Alexius I. Petinggi kaum Kristen itu segera minta tolong kepada Paus Urbanus II,
guna merebut kembali wilayah itu dari cengkeraman kaum yang mereka sebut “orang
kafir”.
Paus Urbanus II segera memutuskan untuk mengadakan ekspedisi
besar-besaran yang ambisius (27 November 1095). Tekad itu makin membara setelah
Paus menerima laporan bahwa Khalifah Abdul Hakim—yang menguasai Palestina saat
itu—menaikkan pajak ziarah ke Palestina bagi orang-orang Kristen Eropa. “Ini
perampokan! Oleh karena itu, tanah suci Palestina harus direbut kembali,” kata
Paus.
Perang melawan kaum Muslimin diumumkan secara resmi pada tahun
1096 oleh Takhta Suci Roma. Paus juga mengirim surat ke semua raja di seluruh
Eropa untuk ikut serta. Mereka dijanjikan kejayaan, kesejahteraan, emas, dan
tanah di Palestina, serta surga bagi para ksatria yang mau berperang.
Paus juga meminta anggota Konsili Clermont di Prancis Selatan—terdiri
atas para uskup, kepala biara, bangsawan, ksatria, dan rakyat sipil—untuk
memberikan bantuan. Paus menyerukan agar bangsa Eropa yang bertikai segera
bersatu padu untuk mengambil alih tanah suci Palestina. Hadirin menjawab dengan
antusias, “Deus Vult!” (Tuhan menghendakinya!)
Dari pertemuan terbuka
itu ditetapkan juga bahwa mereka akan pergi perang dengan memakai salib di
pundak dan baju. Dari sinilah bermula sebutan Perang Salib (Crusade). Paus
sendiri menyatakan ekspedisi ini sebagai “Perang Demi Salib” untuk merebut tanah
suci.
Mobilisasi massa Paus menghasilkan sekitar 100.000 serdadu siap
tempur. Anak-anak muda, bangsawan, petani, kaya dan miskin memenuhi panggilan
Paus. Peter The Hermit dan Walter memimpin kaum miskin dan petani. Namun mereka
dihancurkan oleh Pasukan Turki suku Seljuk di medan pertempuran Anatolia ketika
perjalanan menuju Baitul Maqdis (Yerusalem).
Tentara Salib yang utama
berasal dari Prancis, Jerman, dan Normandia (Prancis Selatan). Mereka
dikomandani oleh Godfrey dan Raymond (dari Prancis), Bohemond dan Tancred
(keduanya orang Normandia), dan Robert Baldwin dari Flanders (Belgia). Pasukan
ini berhasil menaklukkan kaum Muslimin di medan perang Antakiyah (Syria) pada
tanggal 3 Juni 1098.
Sepanjang perjalanan menuju Palestina, Tentara
Salib membantai orang-orang Islam. Tentara Jerman juga membunuhi orang-orang
Yahudi. Rombongan besar ini akhirnya sampai di Baitul Maqdis pada tahun 1099.
Mereka langsung melancarkan pengepungan, dan tak lupa melakukan pembantaian.
Sekitar lima minggu kemudian, tepatnya 15 Juli 1099, mereka berhasil merebut
Baitul Maqdis dari tangan kaum Muslimin. Kota ini akhirnya dijadikan ibukota
Kerajaan Katolik yang terbentang dari Palestina hingga Antakiyah.
Teladan Shalahuddin Al-Ayyubi
Pada tahun 1145-1147 pecah Perang Salib II. Namun perang besar-besaran
terjadi pada Perang Salib III. Di pihak Kristen dipimpin Phillip Augustus dari
Prancis dan Richard “Si Hati Singa” dari Inggris, sementara kaum Muslimin
dipimpin Shalahuddin Al-Ayyubi.
Pada masa itu, Kekhalifahan Islam
terpecah menjadi dua, yaitu Dinasti Fathimiyah di Kairo (bermazhab Syi’ah) dan
Dinasti Seljuk yang berpusat di Turki (bermazhab Sunni). Kondisi ini membuat
Shalahuddin prihatin. Menurutnya, Islam harus bersatu untuk melawan
Eropa-Kristen yang juga bahu-membahu.
Pria keturunan Seljuk ini
kebetulan mempunyai paman yang menjadi petinggi Dinasti Fathimiyyah. Melalui
serangkaian lobi, akhirnya Shalahuddin Al-Ayyubi berhasil menyatukan kedua kubu
dengan damai.
Pekerjaan pertama selesai. Shalahuddin kini dihadapkan
pada perilaku kaum Muslimin yang tampak loyo dan tak punya semangat jihad.
Mereka dihinggapi penyakit wahn (cinta dunia dan takut mati). Spirit perjuangan
yang pernah dimiliki tokoh-tokoh terdahulu tak lagi membekas di hati.
Shalahuddin lantas menggagas sebuah festival yang diberi nama peringatan
Maulid Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tujuannya untuk menumbuhkan
dan membangkitkan spirit perjuangan. Di festival ini dikaji habis-habisan sirah
nabawiyah (sejarah nabi) dan atsar (perkataan) sahabat, terutama yang berkaitan
dengan nilai-nilai jihad.
Festival ini berlangsung dua bulan
berturut-turut. Hasilnya luar biasa. Banyak pemuda Muslim yang mendaftar untuk
berjihad membebaskan Palestina. Mereka pun siap mengikuti pendidikan
kemiliteran.
Salahuddin berhasil menghimpun pasukan yang terdiri atas
para pemuda dari berbagai negeri Islam. Pasukan ini kemudian berperang melawan
Pasukan Salib di Hattin (dekat Acre, kini dikuasai Israel). Orang-orang Kristen
bahkan akhirnya terdesak dan terkurung di Baitul Maqdis. Kaum Muslimin meraih
kemenangan (1187).
Dua pemimpin tentara Perang Salib, Reynald dari
Chatillon (Prancis) dan Raja Guy, dibawa ke hadapan Salahuddin. Reynald akhirnya
dijatuhi hukuman mati karena terbukti memimpin pembantaian yang sangat keji
kepada orang-orang Islam. Namun Raja Guy dibebaskan karena tidak melakukan
kekejaman yang serupa.
Tiga bulan setelah pertempuran Hattin, pada hari
yang tepat sama ketika Nabi Muhammad diperjalankan dari Mekah ke Yerusalem dalam
Isra’ Mi’raj, Salahuddin memasuki Baitul Maqdis. Kawasan ini akhirnya bisa
direbut kembali setelah 88 tahun berada dalam cengkeraman musuh.
Sejarawan Inggris, Karen Armstrong, menggambarkan, pada tanggal 2
Oktober 1187 itu, Shalahuddin dan tentaranya memasuki Baitul Maqdis sebagai
penakluk yang berpegang teguh pada ajaran Islam yang mulia. Tidak ada dendam
untuk membalas pembantaian tahun 1099, seperti yang dianjurkan Al-Qur`an dalam
surat An-Nahl ayat 127: “Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaran itu
melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap
(kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka
tipu dayakan.”
Permusuhan dihentikan dan Shalahuddin menghentikan
pembunuhan. Ini sesuai dengan firman dalam Al-Qur`an: “Dan perangilah mereka
sehingga tidak ada fitnah lagi dan agama itu hanya untuk Allah. Jika mereka
berhenti (memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan lagi, kecuali terhadap
orang-orang yang zhalim.” (Al-Baqarah: 193)
Tak ada satu orang Kristen
pun yang dibunuh dan tidak ada perampasan. Jumlah tebusan pun disengaja sangat
rendah. Shalahuddin bahkan menangis tersedu-sedu karena keadaan mengenaskan
keluarga-keluarga yang hancur terpecah-belah. Ia membebaskan banyak tawanan,
meskipun menyebabkan keputusasaan bendaharawan negaranya yang telah lama
menderita. Saudara lelakinya, Al-Malik Al-Adil bin Ayyub, juga sedih melihat
penderitaan para tawanan sehingga dia meminta Salahuddin untuk membawa seribu
orang di antara mereka dan membebaskannya saat itu juga.
Beberapa
pemimpin Muslim sempat tersinggung karena orang-orang Kristen kaya melarikan
diri dengan membawa harta benda, yang sebenarnya bisa digunakan untuk menebus
semua tawanan. [Uskup] Heraclius membayar tebusan dirinya sebesar sepuluh dinar
seperti halnya tawanan lain, dan bahkan diberi pengawal pribadi untuk
mempertahankan keselamatan harta bendanya selama perjalanan ke Tyre (Libanon).
Shalahuddin meminta agar semua orang Nasrani Latin (Katolik)
meninggalkan Baitul Maqdis. Sementara kalangan Nasrani Ortodoks--bukan bagian
dari Tentara Salib—tetap dibiarkan tinggal dan beribadah di kawasan itu.
Kaum Salib segera mendatangkan bala bantuan dari Eropa. Datanglah
pasukan besar di bawah komando Phillip Augustus dan Richard “Si Hati Singa”.
Pada tahun 1194, Richard yang digambarkan sebagai seorang pahlawan dalam
sejarah Inggris, memerintahkan untuk menghukum mati 3000 orang Islam, yang
kebanyakan di antaranya wanita-wanita dan anak-anak. Tragedi ini berlangsung di
Kastil Acre. Meskipun orang-orang Islam menyaksikan kekejaman ini, mereka tidak
pernah memilih cara yang sama.
Suatu hari, Richard sakit keras.
Mendengar kabar itu, Shalahuddin secara sembunyi-sembunyi berusaha
mendatanginya. Ia mengendap-endap ke tenda Richard. Begitu tiba, bukannya
membunuh, malah dengan ilmu kedokteran yang hebat Shalahudin mengobati Richard
hingga akhirnya sembuh.
Richard terkesan dengan kebesaran hati
Shalahuddin. Ia pun menawarkan damai dan berjanji akan menarik mundur pasukan
Kristen pulang ke Eropa. Mereka pun menandatangani perjanjian damai (1197).
Dalam perjanjian itu, Shalahuddin membebaskan orang Kristen untuk mengunjungi
Palestina, asal mereka datang dengan damai dan tidak membawa senjata. Selama
delapan abad berikutnya, Palestina berada di bawah kendali kaum Muslimin.
***
Perang Salib IV berlangsung tahun 1204. Bukan antara Islam
dan Kristen, melainkan antara Takhta Suci Katolik Roma dengan Takhta Kristen
Ortodoks Romawi Timur di Konstantinopel (sekarang Istambul, Turki).
Pada
Perang Salib V berlangsung tahun 1218-1221. Orang-orang Kristen yang sudah
bersatu berusaha menaklukkan Mesir yang merupakan pintu masuk ke Palestina. Tapi
upaya ini gagal total.
Kaisar Jerman, Frederick II (1194-1250),
mengobarkan Perang Salib VI, tapi tanpa pertempuran yang berarti. Ia lebih
memilih berdialog dengan Sultan Mesir, Malik Al-Kamil, yang juga keponakan
Shalahuddin. Dicapailah Kesepakatan Jaffa. Isinya, Baitul Maqdis tetap dikuasai
oleh Muslim, tapi Betlehem (kota kelahiran Nabi Isa ‘alaihis-salaam) dan
Nazareth (kota tempat Nabi Isa dibesarkan) dikuasai orang Eropa-Kristen.
Dua Perang Salib terakhir (VII dan VIII) dikobarkan oleh Raja Prancis,
Louis IX (1215-1270). Tahun 1248 Louis menyerbu Mesir tapi gagal dan ia menjadi
tawanan. Prancis perlu menebus dengan emas yang sangat banyak untuk
membebaskannya.
Tahun 1270 Louis mencoba membalas kekalahan itu dengan
menyerang Tunisia. Namun pasukannya berhasil dikalahkan Sultan Dinasti Mamaluk,
Bibars. Louis meninggal di medan perang.
Sampai di sini periode Perang
Salib berakhir. Namun, beberapa sejarawan Katholik menganggap bahwa penaklukan
Konstantinopel oleh Sultan Muhammad II Al-Fatih dari Turki (1453) juga sebagai
Perang Salib. Penaklukan Islam oleh Ratu Spanyol, Isabella (1492), juga dianggap
Perang Salib.* (Agung Pribadi, Pambudi/Hidayatullah) Sumber: Majalah
Hidayatullah edisi Desember 2004.
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar