Baca Juga Penghianatan para founding father pada umat Islam Parlemen Prancis telah
menyetujui rancangan undang-undang (RUU) tentang larangan jilbab. Setelah
dilakukan voting yang dilakukan pada Selasa (11/02/2004) malam (Rabu dinihari
WIB), 494 anggota majelis rendah menyetujui RUU tersebut, sedangkan 36 anggota
menolak. Dukungan tersebut berasal dari partai berkuasa pimpinan Presiden
Jacques Chirac dan partai oposisi, Partai Sosialis. Selanjutnya, RUU ini akan
diserahkan kepada majelis tinggi parlemen (Senat) yang dikuasai oleh Partai UMP
pimpinan Chirac, pengusul RUU itu.
Supaya tidak tampak sebagai
pengebirian atas keyakinan kaum Muslim, dalam RUU tersebut dipakai kalimat umum:
"penggunaan pakaian atau simbol-simbol yang menunjukkan pada suatu agama
adalah illegal, termasuk jilbab. RUU ini sebenarnya lebih ditujukan pada
Islam dan umatnya.
Hal ini ditunjukkan oleh beberapa
hal....
Pertama, penyebab disusunnya RUU ini merupakan respon atas
meningkatnya penggunaan jilbab di kalangan umat Islam negeri tersebut yang
jumlahnya mencapai lima juta orang, bukan respon terhadap pemakaian tutup kepala
Yahudi atau salib. Jelas sekali, yang terjadi sejak beberapa tahun terakhir
adalah pelarangan jilbab di sekolah.
Barulah pada tanggal 11 Desember
2003, Presiden Prancis Jacques Chirac menunjuk tim beranggotakan 20 orang untuk
menyusun RUU dan pada tanggal 17 Desember 2003 menyatakan dukungannya secara
terbuka terhadap RUU yang akhirnya disetujui oleh 93,2% anggota parlemen
tersebut. Dalam pidatonya pada 17 Desember 2003 tersebut (dapat diakses pada
situs kedubes Perancis), Presiden Perancis Jacques Chirac antara lain menegaskan
bahwa Perancis harus terus menghidupkan prinsip sekularisme.
Pembaca, inilah dia ujung-ujung praktek sekularisme.
Penuturan KH Abdul Kahar Muzakkir
kepada Firdaus AN: Jum'at petang, 17 Agustus 1945. Dering telepon memaksa Bung
Hatta beranjak dari istirahatnya. Pembantu Laksamana Maeda memberitahukan,
sebentar lagi seorang opsir Kaigun (angkatan laut Jepang) akan menemuinya. Bung
Hatta mengangguk di telepon. "Ya, baik," ujarnya singkat. Benar saja. Tak sampai
satu jam, tamunya datang. Kaigun itu, (Bung Hatta lupa namanya) menyampaikan
pesan kepada Bung Hatta, bahwa jika ke-7 kata "dengan kewajiban menjalankan
syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya" dalam alinea ke-4 itu tidak dicoret,
maka bagian timur Indonesia tidak akan ikut membela Republik Indonesia yang baru
diproklamasikan itu dan akan memisahkan diri dari Republik Indonesia.
--Bagian Timur Indonesia dikontrol oleh tentara pendudukan Kaigun
sedangkan bagian barat oleh Rikugun (angkatan darat). Angkatan Perang Jepang
tidak punya angkatan udara, masing-masing Kaigun dan Rikugun punya angkatan
udara sendiri-sendiri.--Esok harinya, 18 Agustus 1945, akan ada agenda penting
bagi negara yang baru lahir ini. Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
akan mensahkan Undang-Undang Dasar (UUD) yang telah rampung disusun oleh BPUPKI
dan disetujui semua anggotanya.
Tanpa berkoordinasi dengan
anggota-anggota BPUPKI yang telah bekerja mati-matian hingga rancangan UUD
selesai, keesokan paginya sebelum sidang PPKI dimulai, Bung Hatta mengumpulkan
beberapa tokoh Islam seperti Ki Bagus Hadikusumo, Mr. Kasman Singodimejo, KH
Wahid Hasyim, dan Mr. Teuku Hasan. Maka akhirnya, dicoretlah tujuh kata yang
amat berarti bagi umat Islam Indonesia itu lewat sidang kecil yang berlangsung
kurang dari limabelas menit tersebut. Rapat kecil itu sendiri ternyata tidak
mengundang para penandatangan Piagam Jakarta seperti H. Agus Salim, Abikusno,
KH Abdul Kahar Muzakir, dan Mr. M. Yamin. Ketua BPUPKI, KH. Masykur
pun tidak diundang. Dalam sidang PPKI, Bung Hatta mengumumkan pencoretan tujuh
kata tersebut. Peserta sidang dari kaum nasionalis-sekuler bertepuk tangan
riuh.
Banyak peneliti sejarah berpandangan, seandainya Bung Hatta seorang
militer, maka sejarah akan berjalan lain. Ancaman separatisme sewajarnya
ditumpas dengan tindakan represif. Itu sudah hukum besi sejarah. Namun Bung
Hatta adalah seorang negarawan sipil, yang terlalu naif menghadapi situasi
semacam itu, yang ternyata di belakang hari berwujud dalam dua hal kenyataan
sejarah: Pertama, di bagian timur Indonesia, muncul Twaalfde Provintie
(Provinsi ke-12 dari Nederland) di Sulawesi Utara serta Republik Maluku
Selatan, dan kedua, pencoretan tujuh kata itu dibayar dengan harga mahal:
Perlawanan DII/TII di Aceh, Jawa Barat, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan.
Apa yang belum selesai sampai sekarang yaitu perlawanan GAM, yang metamorphosis
dari DII/TII di Aceh.
Firman Allah surat Al Hasyr ayat 18), dibaca:
Ya-aayyuhal ladzi-na a-manut taqu Lla-ha waltandzur nafsum ma- qaddamat ligadin,
wattaqu Lla-ha, inna Lla-ha khabi-rum bima- ta'malu-n. Artinya: "Hai orang-orang
beriman, taqwalah pada Allah dan mestilah setiap diri mengkaji masa lalu untuk
orientasi masa depan, dan taqwalah pada Allah, sesungguhnya Allah meliput semua
apa yang kamu kerjakan" (59:18).
Dalam sidang PPKI, Bung Hatta
mengumumkan pencoretan tujuh kata tersebut. Peserta sidang dari kaum
nasionalis-sekuler bertepuk tangan riuh. Itulah ma- qaddamat (masa lalu). Kalau
ummat Islam acuh tak acuh dalam hal memperjuangkan Piagam Jakarta melalui
Pemilu, lalu memilih wakil-wakilnya dan Presidennya yang sekuler, dan lagi pula
ada ulamanya menempatkan diri sebagai caleg dalam barisan penganut sekularisme,
maka ujung-ujungnya Indonesia akan mengalami praktek sekularisme seperti di
Perancis itu. Itulah lighadin (hari esok). WaLlahu a'lamu bisshawab
(eramuslim)
Diambil dari Wahyu dan Akal - Iman dan Ilmu, di harian Fajar
Makassar, oleh HM. Nur Abdurrahman
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar