(Mengenang 95 Tahun Mohammad Natsir)
Oleh : Israr
Di era reformasi,
sejumlah kalangan sejarawan dan intelektual kembali mengingatkan perihal
kecenderungan bangsa Indonesia yang terus memupuk dendam sejarah. Pemupukan dan
pewarisan dendam sejarah itu dianggap berbahaya, karena anak bangsa atau
generasi penerus tidak akan pernah dapat memetik hikmah dan kearifan dari
peristiwa masa lalu untuk kegunaan masa kini dan masa depan.
Karena itu,
"rekonsiliasi sejarah" mendesak untuk dilakukan oleh bangsa Indonesia. Upaya ini
merujuk kepada pengertian bahwa anak bangsa mesti dapat melihat kembali sejarah
bangsanya secara jernih, jujur, adil, dan objektif, sesuai dengan "standar"
akademis. Usaha itu pertama-tama tentu dapat dilakukan melalui rekonstruksi
sejarah yang selama ini dianggap lebih banyak menurut selera penguasa. Ikhtiar
lain berupa penghargaan yang proporsional terhadap tokoh-tokoh pelaku sejarah
yang telah berjasa kepada bangsa dan kemanusiaan.
Mohammad Natsir
(1908-1993) adalah salah satu founding father Republik Indonesia yang hingga
kini dinilai belum mendapatkan penghargaan yang layak dari bangsanya sendiri.
Dalam sejarah nasional posisinya pun masih "kabur". Keadaan itu telah
berlangsung sejak era Orde Baru dan berlanjut hingga era reformasi ini.
Padahal jasa-jasa mantan Perdana Menteri RI setelah kembali ke negara
kesatuan (1950-1951) itu sangat besar kepada bangsa dan negara. Pada momentum 95
tahun Mohammad Natsir sekarang ini, ada baiknya wacana kesadaran historis itu
digugah kembali, agar anak-anak bangsa dapat memetik hikmah dan kearifan dari
sejarah.
Berdasarkan beberapa literatur sejarah, sulit dipungkiri bahwa
sosok Mohammad Natsir yang lahir di Alahan Panjang, Sumatera Barat, 17 Juli 1908
dan wafat di Jakarta, 16 Februari 1993 nampak ibarat sebuah prisma. Banyak segi
dan banyak pula sinarnya. Dalam pelbagai bidang yang digelutinya, dia selalu
tampil di garda depan. Sebagai politisi, ia pernah sampai ke puncak: ketua umum
Partai Masyumi, partai politik Islam terbesar di masa lalu, dan PM RI pertama
setelah kembali ke negara kesatuan (1950-1951).
Sebagai ulama, ia
merintis dan memimpin Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), sebuah lembaga
dakwah terkemuka di Tanah Air. Selaku intelektual, Natsir mungkin seorang
ulul-albab: tidak sekadar punya wawasan ilmu yang luas, tetapi juga menaruh
keprihatinan, memikirkan, dan mencoba mencari jalan keluar bagi persoalan yang
dihadapi bangsanya. Dari semua posisi historis itu, Natsir juga terkenal sebagai
pemimpin yang mempraktikkan pola hidup sederhana, santun, jujur, demokratis, dan
moderat sejauh moderasi itu tidak melanggar hal-hal yang dinilainya sebagai
prinsip.
Namun citra positif Natsir tersebut agaknya perlu
disosialisasikan lebih lanjut kepada generasi sekarang dan masa depan. Bagi
mereka, seperti disinggung di muka, Natsir barangkali sudah menjadi sebuah
gambaran yang kabur di masa lalu. Dalam bacaan sejarah di sekolah-sekolah, nama
Natsir mungkin terletak di lembaran hitam atau paling tidak
kelabu.
Natsir kira-kira diasosiasikan dengan tokoh ekstrem,
fundamentalis, dan sejenisnya - seandainya itupun masuk dalam bacaan mereka. Di
samping itu, Natsir juga tergambar "kritis" terhadap idiologi Pancasila, karena
dalam sidang-sidang Konstituante tahun 1950-an, ia merupakan tokoh nomor satu
yang memperjuangkan dasar negara Islam.
Natsir bahkan kemudian
dicitrakan sebagai "pemberontak", lantaran di akhir tahun 1950-an ia "bergabung"
dengan gerakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Padahal PRRI
sendiri tak bisa serta merta dituding sebagai makar, tanpa memahami secara baik
setting sosial politik dekade 1950-an. Dalam kaitan ini, kadar keterlibatan tiap
tokoh dalam PRRI itu pun sangat beragam. Natsir diketahui "bergabung" dengan
PRRI lebih belakangan.
Ia semula di Jakarta, tapi karena terus
mendapatkan teror dari antek-antek PKI, ia bersama beberapa tokoh Masyumi
lainnya terpaksa meninggalkan Ibukota menuju Sumatera Barat, basis PRRI. Dan
Natsir, seperti dituturkan Kahin dan Kahin (1997:162), sebenarnya tidak banyak
ikut serta dalam proses gerakan yang berujung "perang saudara" itu. Satu hal
penting lagi: Natsir menolak cara-cara konfrontasi untuk menekan Jakarta.
Mungkin perlu disadari bahwa sebagai manusia, di antara tokoh-tokoh
nasional masa lalu juga memiliki "dosa-dosa politik". Sebutlah nama Sukarno,
proklamator dan Presiden RI pertama. Sukarno dianggap memiliki "dosa-dosa
politik", antara lain karena telah mengeluarkan Dekrit Presiden 1959 yang
"melegalisasi" pembubaran Konstituante hasil Pemilu 1955, memberi ruang hidup
kepada PKI, serta memaklumkan Demokrasi Terpimpin. Jenderal AH Nasution, mantan
KSAD, juga dianggap punya dosa-dosa politik, karena ia dinilai telah "mendorong"
dan mendukung keluarnya Dekrit Presiden 1959 itu.
Seiring perjalanan
waktu, beberapa tokoh besar masa lalu kemudian menerima perlakuan tidak pantas
dari rezim berkuasa. Sebagian di antara mereka telah mengalami nasib tragis
sejak masa Demokrasi Terpimpin, khususnya yang "terlibat" PRRI/Permesta atau
para penentang rezim otoriter itu.
Di samping Natsir, perlakuan pahit
misalnya juga dialami Sutan Sjahrir, bekas PM RI pertama, Sumitro
Djojohadikusumo, salah satu "arsitek" PRRI, serta beberapa tokoh Masyumi dan PSI
lainnya. Pola perlakuan semacam itu terus berlanjut ke era rezim berikutnya.
Bahkan di era Orde Baru, Sukarno sendiri juga mengalami perlakuan yang tragis
secara personal maupun peran kesejarahannya.
Tetapi seburuk-buruk nasib
Sjahrir, ia masih lebih beruntung dibandingkan Natsir. Ditahan sebagai
pengkhianat negara selama tiga tahun, tetapi di hari meninggalnya tahun 1966,
tokoh sosialis ini langsung dianugerahi Pahlawan Nasional.
Sedangkan
Sukarno, meskipun berpuluh-puluh tahun dikebiri rezim Soeharto, nasibnya kelak
masih jauh lebih beruntung ketimbang Natsir. Berbagai atribut dan penghormatan,
seperti Pahlawan Nasional telah disandangkan ke pundaknya. Terakhir penghargaan
nasional itu tercermin dari peringatan kolosal Satu Abad Bung Karno
(2001).
Secara politis, banyak nama-nama tokoh yang sudah direhabilitasi.
Tetapi Natsir, selain tidak jelas status kepahlawanannya, citranya sebagai
"pemberontak" terhadap Republik tidak pernah secara resmi direhabilitasi
pemerintah. Keterlibatannya dalam PRRI, antara lain bersama Sumitro, seakan-akan
tetap dianggap sebagai "dosa-dosa politik" yang tak terampunkan.
Dalam
konteks ini, nasib Natsir (plus Sjafruddin Prawiranegara dan Burhanuddin
Harahap) lagi-lagi tidak lebih baik dibandingkan Sumitro. Buktinya, sejak era
Orde Baru, citra sebagai "pemberontak" seakan-akan tidak lagi melekat pada sang
"begawan ekonom" itu.
Sebetulnya upaya mendesak pemerintah merehabilitasi
nama Natsir cs telah dilakukan sejak masa Orde Baru, tapi selalu gagal. Bahkan
yang diterima Natsir bukannya rehabilitasi nama baik, tetapi justru pelbagai
kesulitan pribadi dan kelembagaan. Soeharto memang tidak seperti Sukarno yang
pernah memenjara Natsir selama tiga tahun tetapi rezim militeristik ini telah
pula memperlakukan Natsir secara tidak adil.
Di antaranya pencekalan ke
luar negeri. Ini kondisi yang ironis sekali. Padahal di luar negeri
kredibilitasnya dihormati. Posisi Natsir sebagai salah satu pemimpin terkemuka
dunia Islam cukup mengharumkan nama bangsa. Tidak hanya itu, di belakang layar,
Natsir sebenarnya berjasa membantu pemerintah Orde Baru menjalin kontak dengan
beberapa negara donatur, seperti Jepang dan negara-negara Timur Tengah.
Barulah setelah pemerintah Presiden Habibie (1998-1999), keluarga dan
pengagum Natsir sedikit berbahagia, karena Natsir tokoh pelopor Mosi Integral
yang akhirnya mengembalikan Indonesia ke bentuk negara kesatuan diberikan
penghargaan Bintang Adipradana, bersama Sjafruddin Prawiranegara dan Burhanuddin
Harahap.
Tetapi baru sebatas Bintang Adipradana. Usulan DDII agar ketiga
tokoh Masyumi itu diangkat sebagai Pahlawan Nasional, tetap tak terwujud. Sampai
pucuk kekuasaan negara beralih ke tangan Abdurrahman Wahid dan Megawati sekarang
ini, usulan itu kembali tenggelam dalam hiruk-pikuk situasi politik
nasional.
Pada akhirnya, berbicara sejarah semestinya juga berbicara
masalah keadilan. Diakui, sebagai manusia, tokoh-tokoh besar bangsa di masa lalu
tentu juga memiliki kekurangan dan kelemahan. Maka, ketika beberapa tokoh
sejarah nasional yang juga pernah memiliki "dosa-dosa politik" dengan mudah
direhabilitasi nama baiknya dan dianugerahi gelar pahlawan, kenapa ada tokoh
yang lain diperlakukan tidak sama.
Diktum bahwa "sejarah dikuasai oleh
mereka yang berkuasa", agaknya kurang cocok dalam semangat "rekonsiliasi" yang
banyak dianjurkan kalangan cendekiawan dewasa ini. Diktum itu harus
ditinggalkan, agar sejarah tidak lagi mewariskan dendam, melainkan memberikan
hikmah dan kearifan kepada kita bagi masa depan bangsa.
Peneliti sejarah
dan politik CIRUS, Jakarta
Republika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar