APA jadinya jika para
"ekstremis" dan serdadu Hollander bertemu? Di masa perjuangan kemerdekaan
Indonesia dulu, pertemuan itu bisa berbuntut kematian bagi salah satu pihak.
Tapi, di masa damai sekarang ini, yang ada adalah pelukan hangat dan gelak
tawa.
Itulah yang terjadi saat sejumlah veteran perang Belanda berkunjung
ke sejumlah tempat di Jawa Barat, dua pekan lalu. Selama lima hari, 34 orang
anggota rombongan ini menapaktilasi tempat-tempat yang punya kenangan buat
mereka.
Di Bandung, misalnya, mereka berkunjung ke pemakaman Pandu,
Kerkhof Leuwigajah, dan perkebunan teh Malabar. "Kini kami datang sebagai
sahabat. Tidak ada perasaan dendam sedikit pun," kata Jenderal Noordzy, Komandan
Divisi Zeven December, tentara Belanda yang bertugas di Jawa Barat pada 1946
sampai 1949.
Meski sudah gaek dimakan usia, para veteran Belanda itu
masih tampak gagah dan punya ingatan tajam. Beberapa kosakata bahasa Indonesia
dan Sunda masih diingatnya. Misalnya selamat pagi, terima kasih, dan selamat
tinggal. Bahkan Otto, 76 tahun, langsung berujar, "Abdi kapungkur di Cimahi
(Saya dulu tinggal di Cimahi)."
Saat mengunjungi Museum Linggarjati di
Kabupaten Kuningan, beberapa veteran itu mereka-reka apa yang dulu pernah mereka
lakukan di tempat itu. Fred Mulder, 79 tahun, memuaskan rasa penasarannya
terhadap gedung itu. "Dulu ini markas komandan. Kami tidak boleh masuk ke sini,"
katanya.
Fred tampak penasaran di satu pojok Museum Linggarjati. "Dulu
ada kolam renang. Saya sering mandi di sini," ujarnya. Pensiunan sersan ini
mengaku punya segudang kenangan saat bertugas di Linggarjati sepanjang 1947
sampai 1948.
Di Kuningan ini ia belajar makan nasi. Selain itu, berbagai
jenis buah-buahan pernah disantapnya di sini. Ia sama sekali tak pernah
menyangka akan kembali ke tempat itu dalam suasana berbeda. "Saya kembali lagi
dalam kondisi perdamaian. Ini sebuah karunia. Saya suka Indonesia,"
katanya.
Yang paling heboh dari anggota rombongan ini adalah G.W.V
Mierlo, sersan di bagian teknisi perhubungan darat tentara Belanda. Dia terus
diledek teman-temannya hendak mencari gacoannya di Kuningan. "Dulu saya punya
pacar bernama Rafnani," katanya terus terang. "Kala itu, ia baru berusia 20
tahun. Rafnani sangat cantik."
Tapi kisah kasih mereka tak berlanjut ke
pelaminan karena Rafnani menolak diboyong ke Belanda. "Ah, siapa tahu di sini
saya bisa bertemu dia kembali," kata Mierlo. Aki-aki ini kini sudah
menduda.
Anggota pasukan Mierlo ada 30 orang. Dalam invasi itu, mereka
sering telat menerima kiriman logistik. Agar tetap bertahan, mereka kerap
menyantap makanan lokal. Ternyata tentara Belanda itu belajar makan nasi. "Pada
awalnya saya merasa jijik makan nasi dan sup buatan juru masak lokal. Saya lihat
sendiri juru masak itu bertelanjang dada saat memasak ransum pasukan. Tetes
keringatnya masuk ke panci besar berisi sup," kata Mierlo sembari
terkekeh.
Pria 77 tahun yang sudah memiliki 13 cucu ini punya cerita
menarik saat bertugas di Kuningan. Setelah menguasai kota, mereka membuat tangsi
di sekitar alun-alun kota. Untuk menghilangkan rasa jenuh, mereka bermain bola.
Selagi asyik bermain, tiba-tiba terdengar tembakan dari kejauhan. Mierlo
mengaku, dia dan teman-temannya sama sekali tak gentar. "Ah, biarkan saja, toh
itu jauh. Lagi pula, tentara Siliwangi itu kan tidak profesional menembak,"
katanya.
Herman Sarens Sudiro, veteran tentara Siliwangi yang mendampingi
serdadu Belanda ini, hanya tersenyum mendengar cerita Mierlo. "Tapi perlawanan
kami memakan banyak korban tentara Belanda," kata Herman.
Suasana akrab
memang tergambar dalam pertemuan itu. Ini bukan kali pertama mereka bertemu.
Veteran Siliwangi bahkan sudah dua kali berkunjung ke markas Zeven December di
Appeldoorn, Belanda, pada 1995 dan Desember tahun lalu.
Di sana mereka
dijamu sangat hangat. "Selama dua mingu kami menjadi tamu mereka," kata F. Adhi
Saputra, pengurus Legiun Veteran Republik Indonesia Jawa Barat, kepada Dadan
Firmansyah dari Gatra. Saat perang itu berkecamuk, Adhi adalah prajurit dari
Tentara Pelajar.
Kehangatan Divisi Zeven December itu tecermin dari
sambutan yang disampaikan Jenderal Noordzy waktu itu. "Pejuang TNI dan Belanda
telah melakukan kewajiban waktu perang. Kita prajurit hanya bisa mengikuti
perintah dari mereka yang menguasai politik. Atas nama persahabatan, semoga kita
bisa melupakan masa suram," kata Noordzy.
Hanya bedanya, veteran
Siliwangi berkunjung ke Belanda dengan biaya ditanggung pihak Zeven December.
Sedangkan veteran Belanda itu berkunjung ke Indonesia, ya, atas biaya kantong
pribadi masing-masing. Mereka bahkan menyumbang untuk rehabilitasi Museum
Linggarjati.
Divisi Zeven December ini tergolong pasukan terlatih dalam
ketentaraan Belanda. Saat itu, ada sekitar 20 anggota divisi ini yang bertugas
di seluruh Jawa. Kebanyakan bertugas di Jawa Barat. Para "ekstremis" yang mereka
buru waktu itu, ya, tentara Siliwangi.
Harap maklum. Waktu itu, Siliwangi
pun bukanlah organisasi tentara modern seperti pihak lawannya, Divisi Zeven
December itu. Para pemuda yang tergabung dalam BKR (Badan Keamanan Rakyat), TP
(Tentara Pelajar), dan organisai pejuang kepemudaan lainnya adalah personel
utamanya. Senjatanya tentu saja kalah canggih. "Bisa dibilang keunggulan kami
hanyalah bertempur dengan penuh semangat," kata Herman Sarens Sudiro. Kala itu,
Herman baru berusia 16 tahun.
Divisi Zeven December kembali ke Belanda
pada 1950. Setahun sesudah Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Namun
rupanya penugasan di tatar Sunda ini sangat berkesan hampir di semua benak
anggota Zeven December. Mereka bahkan punya buku yang memuat detail operasi
Zeven December di Jawa Barat. "Bahkan di kita sendiri tidak ada dokumentasi
selengkap itu," kata Adhi Saputra.
Divisi ini tampaknya memang punya
kedekatan emosional dengan tatar Sunda. Maka tak mengherankan, meski berbalut
kunjungan pariwisata ke berbagai tempat di Indonesia --dari Kuningan mereka
melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta dan Bali-- saat berada di Jawa Barat,
mereka punya kesan mendalam.
Tempat-tempat bersejarah yang mereka
kunjungi tidak hanya bermakna penting bagi generasi berikutnya. Bagi mereka,
tempat-tempat itu juga membangkitkan suasana heroik tugas mulia membela negara.
Merekalah pelaku sejarah.
Taufik Abriansyah dan Sulhan Syafi'i
(Bandung) [Astakona, Gatra Nomor 52 beredar Jumat 5 November 2004]
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar