Oleh: Fahmi Amhar Islam adalah lawan dari kekufuran. Yang
dipandang sebagai musuh adalah kekufuran, dan berarti kekuatan yang mendukung
implementasi, mempertahankan atau mempromosikan sistem kufur. Kalau kekufuran
diibaratkan kemiskinan, maka Islam tidak memerangi orang-orang miskin an sich,
namun memerangi kemiskinan, dan berarti orang-orang yang membuat kemiskinan
terus terjadi, yaitu para tiran, orang-orang yang terus berbuat kerusakan
(fasiq) dan orang-orang yang berlaku tidak adil (dhalim).
Perlawanan
Islam terhadap kekufuran dan permusuhan kekufuran atas Islam akan terus terjadi.
Rasulullah Saw mendapat informasi dari Allah SWT serta beberapa perintah sebagai
berikut:
Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi
kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Qs. al-Baqarah [2]:
190)
Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan
(sehingga) agama itu hanya untuk Allah belaka. Jika mereka berhenti (dari
memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang
yang zalim. (Qs. al-Baqarah [2]: 193).
Mengapa kamu tidak mau
berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki,
wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdo’a: “Ya Rabb kami,
keluarkanlah kami dari negeri ini yang zalim penduduknya dan berilah kami
pelindung dan penolong dari sisi Engkau”. (Qs. an-Nisaa’ [4]:
75).
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang
kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan
persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain
mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang
kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan
kamu tidak akan dianiaya (dirugikan). (Qs. al-Anfaal [8]: 60).
Dari
ayat-ayat di atas jelas bahwa peperangan dalam kerangka jihad bisa terjadi
karena (1) kaum muslimin diserang; (2) untuk melenyapkan fitnah (kekufuran) dan
permusuhan; (3) demi membela yang tertindas –tanpa melihat agama
mereka.
Untuk antisipasi peperangan melawan kekufuran yang selalu mungkin
terjadi itu, kaum muslimin diwajibkan menyiapkan segala kekuatan yang dapat
menggentarkan musuh, baik itu kekuatan iman, ilmu pengetahuan dan teknologi,
malliyah, jasmaniyah, organisasi militer dan juga kekuatan dakwah. Seluruh
potensi ummat diarahkan kepada peperangan tiada akhir melawan kekufuran, melawan
sesuatu yang menghalangi missi Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam, dan missi
muslim sebagai khalifatul fil ardh.
Dalam hubungannya dengan orang-orang
Yahudi dan Nasrani, meski terdapat ayat: Orang-orang Yahudi dan Nasrani
tidak akan senang kepada kamu sehingga kamu mengikuti millah mereka… (Qs.
al-Baqarah [2]: 120).
Namun ayat ini tak pernah dipakai kaum muslimin
sebagai legitimasi memerangi Yahudi dan Nasrani, hanya karena agama mereka.
Justru sebaliknya, kaum Yahudi dan Nasrani di dalam Darul Islam menikmati
perlindungan yang tidak mereka temukan di negara lain. Namun perang salib, yang
lama maupun yang baru, justru makin menunjukkan bahwa kekufuran adalah musuh
kita, sampai kiamat tiba.
Fakta-fakta Perang Salib
Tidak terlalu mudah mendapatkan gambaran yang akurat tentang peristiwa
Perang salib yang sesungguhnya. Beberapa penulis sejarah menggambarkannya
berbeda-beda, dan sebagian tampak berlebih-lebihan. *1)
Kesulitan
lainnya adalah mengenai nama-nama tempat atau kerajaan dalam buku-buku sejarah
lama yang tidak dilengkapi peta, sehingga sulit dipastikan nama dan lokasinya di
zaman modern ini, apalagi bila buku-buku tersebut ditulis dalam bahasa yang
berbeda-beda, misalnya dari sumber berbahasa Arab atau Latin.
Pada
tulisan ini sengaja dicari fakta-fakta dari sumber-sumber Islam dan non Islam,
agar didapatkan keseimbangan informasi, terutama mengenai kondisi front
masing-masing. Secara keseluruhan perang salib berlangsung selama hampir dua
abad, dengan momen-momen penting sebagai berikut:
Pada sinode di Clermont
Perancis, Paus Urbanus II (1088-1099) memulai inisiatif mempersatukan dunia
Kristen (yang saat itu terbelah antara Romawi Barat di Roma dan Romawi Timur
atau Byzantium di Konstantinopel). Kebetulan saat itu raja Byzantium sedang
merasa terancam oleh ekspansi kekuasaan Saljuk, yakni orang-orang Turki yang
sudah memeluk Islam.
Ketika terasa cukup sulit untuk mempersatukan
para pemimpin dunia Kristen dengan ego dan ambisinya masing-masing, maka
dicarilah suatu musuh bersama. Dan musuh itu ditemukan: ummat Islam. Sasaran
jangka pendeknyapun didefinisikan: pembebasan tempat-tempat suci Kristen di
bumi Islam, termasuk Baitul Maqdis. Adapun sasaran jangka panjangnya
adalah melumat ummat Islam. Pasukan salib tidak berencana membunuh Khalifah.
Yang mereka rencanakan adalah membunuh Islam, menghapus khilafah dan
menghancurkan ummat yang melindunginya dan hidup untuknya. Apa artinya seorang
Khalifah jika lembaga Khilafah tak ada lagi? Apa yang bisa dikerjakan Khalifah
jika ummat yang dipimpinnya tewas semua? (Qs. Ali-Imran [3]:
169).
1096 – serangan salib pertama diberangkatkan untuk merebut
Yerusalem. Pada 1099 pasukan di bawah Gottfried von Bouillon merebut
Yerusalem. Mereka mendirikan negara-negara salib, yakni negara-negara boneka di
wilayah-wilayah yang diduduki tentara salib.
Namun karena kelemahan
Byzantium dan perpecahan di kalangan muslim sendiri, negara-negara boneka ini
berkembang sebagai negara-negara latin yang feodalistis dan tirani, di mana
seluruh penduduk yahudi dan muslim dihabisi.
Pada serangan salib kedua
(1147-1149) pasukan salib berusaha merebut wilayah-wilayah di sepanjang pantai
laut tengah, baik yang dikuasai muslim maupun bukan, seperti misalnya
wilayah Athena, Korinthia dan beberapa pulau-pulau Yunani. Ini menunjukkan bahwa
serangan salib sebenarnya tidak spesifik ditujukan hanya kepada ummat Islam,
karena memang kekufuran sebenarnya musuh seluruh manusia –hanya saja ummat Islam
adalah penghalang terbesar bagi kekufuran itu.
Serangan salib ketiga
(1189-1192) terjadi setelah Sholahuddin al Ayubi berhasil mempersatukan kembali
wilayah-wilayah Islam di Mesir dan Syria. Pada 1171 Sholahuddin berhasil
menyingkirkan kekuasaan Fathimiyah di Mesir yang merupakan separatisme dari
Khilafah di Bagdad, dan mendirikan pemerintahan Ayubiah yang loyal kepada
Khalifah. Pada 1187 al-Ayubi berhasil merebut kembali Yerusalem. Serangan salib
ketiga ini dipimpin oleh tokoh-tokoh Eropa yang paling terkenal: Friedrich I
Barbarosa dari Jerman, Richard I Lionheart dari Inggris dan Phillip II dari
Perancis. Namun di antara mereka ini sendiri terjadi perselisihan dan persaingan
yang tidak sehat, sehingga Friedrich mati tenggelam, Richard tertawan (akhirnya
dibebaskan setelah memberi tebusan yang mahal), sedang Phillip bergegas kembali
ke Perancis untuk merebut Inggris justru selama Richard
tertawan.
Serangan salib keempat (1202-1204) terjadi ketika pasukan
salib dari Eropa Barat ingin mendirikan kerajaan Norman (Eropa Barat) di atas
puing-puing Yunani. Paus Innocentius III menyatakan pasukan salib telah
murtad (excommuned). Di Konstantinopel permintaan-permintaan tentara salib
menimbulkan perlawanan rakyat, yang dibalas tentara salib dengan membakar kota
itu serta mendudukkan kaisar latin serta padri latin. Sebelumnya, kaisar dan
padri Konstantinopel selalu yunani. Tahun 1212, ribuan pemuda Perancis
diberangkatkan dengan kapal untuk bergabung dengan pasukan salib, namun oleh
kapten kapal mereka justru dijual sebagai budak ke Afrika Utara! Reputasi
pasukan salib dan respek atasnya sudah semakin pudar.
Serangan salib
kelima (1218-1221) diumumkan oleh Paus Innocentius dan Konzil Lateran IV, yang
juga menetapkan undang-undang inquisisi dan berbagai aturan anti yahudi.
Untuk mendapatkan kembali kontrol atas pasukan salib, jabatan raja Yerusalem
digantikan oleh wakil Paus. Jabatan “raja Yerusalem” ini hanyalah “formalitas
idealis”, tanpa kekuasaan sesungguhnya, karena de facto Yerusalem telah direbut
kembali oleh al-Ayubi.
Serangan salib keenam (1228-1229) dipimpin oleh
kaisar Jerman Freidrich II. Sebagai “orang yang dimurtadkan” (excommuned)
dia berhasil merebut kembali Jerusalem. Paus terpaksa mengakui dia sebagai raja
Yerusalem. Sepuluh tahun kemudian Yerusalem berhasil direbut kembali oleh kaum
muslimin.
Serangan salib ketujuh (1248-1254) dipimpin oleh IX dari
Perancis yang telah dinobatkan sebagai “orang suci” oleh Paus Bonifatius
VIII. Meski di negerinya Ludwig dikenal sebagai penegak hukum yang baik, namun
ia memimpin sebuah organisasi yang amburadul sehingga justru tertangkap di
Mesir.
Di bawah Paus Gregorius X (1274) dan juga setelah jatuhnya
Konstantinopel (1453), perang salib pernah diserukan kembali, namun tak pernah
dimulai. Sejak perang salib keempat, perang ini sudah jatuh
popularitasnya.
Sementara itu, tanpa di bawah lambang pasukan salib, pada
1236 Cordoba pusat Daulah Islam di Andalusia direbut kembali oleh pasukan
Katolik Kastilia. Pada 1258 Bagdad –pusat Khilafah– dihancurkan oleh
Mongol-Tartar. Kedua serangan ini juga punya akibat yang sangat fatal pada
sejarah ummat Islam selanjutnya.
Bagi Eropa, hasil positif perang salib
yang utama adalah motivasi yang dalam banyak hal ikut memajukan Eropa. Ini
karena perang salib mempertemukan bangsa Eropa dengan peradaban yang lebih
tinggi (Qs. al-An’aam [6]: 39).
Efek negatifnya adalah secara teologis
Eropa makin terpolarisasi. Dunia Kristen Barat makin membentengi diri dan
bersikap memusuhi terhadap segala yang berasal dari luar. Dan ini berjalan
hingga abad 20. Mentalitas perang salib ini juga pernah digunakan beberapa
penguasa Barat untuk menekan kaum protestan. Dan pada Perang Dunia II, Hitler
memotivasi pasukannya dalam melawan Rusia sebagai “Perang salib melawan
Atheisme”.
Oleh karena itu, bila George W. Bush “kelepasan”
menyebut-nyebut perang salib demi minyak, senjata dan ideologi kapitalisme, hal
itu tak perlu mengherankan lagi.
Analisis Perang Salib
Al-Wakil menuliskan bahwa sebab-sebab yang mendorong orang-orang Kristen
terjun ke medan perang bertahun-tahun adalah (Qs. Ali-Imran [3]: 165):
- Penyebab utama perang salib adalah kedengkian orang-orang Kristen kepada
Islam dan umatnya. Ummat Islam berhasil merebut wilayah-wilayah strategis yang
sebelumnya mereka kuasai (terutama di Timur Tengah). Mereka menunggu kesempatan
yang tepat untuk meraih apa yang hilang dari tangannya, balas dendam terhadap
ummat yang mengalahkannya. Kesempatan itu datang ketika ummat Islam lemah dan
kehilangan jati dirinya yang kuat yang sebelumnya meredam perpecahan dan
menyatukan langkah. Para tokoh agamawan Kristen bangkit menyerukan pembersihan
tanah-tanah suci di Palestina dari tangan-tangan kaum muslimin dan membangun
gereja dan pemerintahan Eropa di dunia Timur. Perang mereka dinamakan perang
salib karena tentara-tentara Kristen menjadikan salib sebagai simbol obsesi suci
mereka dan meletakkannya di pundak masing-masing.
- Perasaan keagamaan yang kuat. Orang-orang Kristen meyakini kekuatan gereja
dan kemampuannya untuk menghapus dosa walau setinggi langit.
- Perlakuan in-toleran orang-orang Saljuk terhadap orang-orang Kristen dan
para peziarah Kristen yang menuju Yerusalem. Orang-orang Saljuk adalah penguasa
wilayah Turki yang relatif belum lama memeluk Islam dan belum begitu memahami
syariat Islam dalam memperlakukan agama lain.
- Ambisi Sri Paus yang ingin menggabungkan gereja Timur (ortodoks) dengan
gereja Katolik Roma. Paus ingin menjadikan dunia Kristen seluruhnya menjadi satu
negara agama yang dipimpin langsung Sri Paus.
- Kegemaran tokoh-tokoh dan tentara Kristen untuk berpetualang ke negara lain
dan mendirikan pemerintahan boneka di sana.
Bagi para pemimpin Kristen, kondisi waktu itu sangat tepat untuk
memulai serangan ke dunia Islam, karena:
- Ada kelemahan dinasti Saljuk, sehingga “front” terdepan dunia Islam terpecah
belah.
- Tidak adanya orang kuat yang menyatukan perpecahan ummat Islam. Khilafah de
facto terbagi sedikitnya menjadi tiga negara: Abbasiyah di Bagdad, Umayah di
Cordoba dan Fathimiyah di Kairo.
- Beberapa kabilah pesisir telah masuk agama Kristen seperti Genoa dan
Venezia, dan ini memuluskan jalan antara Eropa dan negara-negara Timur.
- Kemenangan Sri Paus atas raja sehingga Sri Paus memiliki kekuatan
mengendalikan para raja dan gubernur di Eropa.
Dampak Perang Salib
Bangsa Eropa belajar berbagai disiplin ilmu yang saat itu berkembang di
dunia Islam lalu mengarangnya dalam buku-buku yang bagi dunia Barat tetap terasa
mencerahkan. Mereka juga mentransfer industri dan teknologi konstruksi dari kaum
muslimin, sehingga pasca perang salib terjadi pembangunan yang besar-besaran di
Eropa. Gustav Lebon berkata: “Jika dikaji hasil perang salib dengan lebih
mendalam, maka didapati banyak hal yang sangat positif dan urgen. Interaksi
bangsa Eropa selama dua abad masa keberadaan pasukan salib di dunia Islam boleh
dikatakan faktor dominan terhadap kemajuan peradaban di Eropa. Perang salib
membuahkan hasil gemilang yang tak pernah mereka bayangkan
sebelumnya.”
Lalu apa yang didapat oleh kaum muslimin? Tidak ada. Ummat
Islam tak bisa mengambil apa-apa dari satu pasukan yang bermoral bejat*2), yang
sebagian besar berasal dari para penganggur dan penjahat. Perang salib
menghabiskan assset ummat baik harta benda maupun putra-putra terbaik.
Kemiskinan terjadi karena seluruh kekayaan negara dialokasikan untuk perang.
Dekadensi moral terjadi karena perang memakan habis orang laki-laki dan pemuda.
Kemunduran ilmu pengetahuan terjadi karena ummat menghabiskan seluruh waktunya
untuk memikirkan perang sehingga para ulama tidak punya waktu untuk mengadakan
penemuan-penemuan dan karya-karya baru kecuali yang berhubungan dengan dunia
perang.
Perang salib merupakan salah satu titik balik dari sejarah
keemasan ummat Islam. Perang salib yang melelahkan telah ikut berkontribusi atas
proses hancurnya Khilafah Abbasiyah, sehingga serangan Tartar atas Bagdad pada
1258 hanya sekedar finalisasi dari proses tersebut.
Menghadapi Perang Salib Baru
Dengan melihat fakta-fakta serta analisis di atas, tampak bahwa dari sisi
kaum muslimin perang salib –apapun motif sesungguhnya– selalu hanya berdampak
negatif. Namun demikian, jangankan bila diserang, ummat Islam memang harus
memikul amanah al-Qur’an untuk melawan fitnah (kekufuran) dan kezaliman. Dan
kapitalisme pimpinan Amerika Serikat adalah bentuk termodern dari kekufuran dan
kezaliman itu. Sedang Israel di Palestina adalah front terdepan perang
tersebut.
Dari sisi orang-orang Barat, istilah perang salib dihadapi
dengan beragam. Pada masyarakat Barat yang sekuler, motivasi religius seperti
pada abad 11-13 sudah tak ada lagi. Istilah itu hanya dilontarkan sebagai
“penyatu opini” bahwa mereka sama-sama terancam oleh Islam (maka dibuat skenario
serangan teror 911 atas WTC), seakan-akan perang salib dimulai oleh kaum
muslimin, dan secara militer ummat Islam memang masih memiliki kekuatan yang
mampu menggoyang kedigdayaan Barat.
Faktanya, dari sisi manapun, ekonomi,
teknologi, militer, ummat Islam sekarang ini berbeda dengan ummat Islam abad
11-13, yang masih memiliki khilafah yang berfungsi baik, serta ekonomi dan
teknologi yang lebih maju dari Barat.
Faktanya, sekarang dunia Islam
terpecah dalam puluhan negara, yang kesemuanya dipimpin oleh para diktator yang
membebek pada Barat. Mereka tergantung pada ekonomi dan teknologi Barat. Sedang
rakyatnya hidup dengan berorientasi pada budaya Barat dan gandrung mengkonsumsi
produk industri Barat.
Kalau demikian apa yang
dicemaskan Barat?
Kebobrokan sistem kapitalisme telah nyata,
baik berupa kerusakan lingkungan, pemiskinan di dunia ketiga maupun disorientasi
kehidupan pada masyarakat Barat sendiri, yang di antaranya tercermin dari
peningkatan penggunaan narkoba dan angka bunuh diri. Orang jelata di Barat
akhirnya merasakan sesuatu yang tidak benar dan tidak adil pada sistem yang
diterapkan atas mereka. Mereka menyadari bahwa sistem itu hanya menguntungkan
segelintir kecil elit mereka, yakni para kapitalis serta politisi yang
merealisasi tujuan para kapitalis itu secara sah.
Dan tidak ada lagi di
dunia ini yang bisa membendung laju kapitalisme seperti itu di Barat. Sampai
akhirnya, di dunia Islam muncul gerakan-gerakan Islam yang melawan kekufuran
kapitalisme itu, baik karena dorongan aqidah, maupun karena kesumpekan hidup
akibat praktek kapitalisme di negeri-negeri Islam.
Karena itu, yang
dicemaskan Barat, atau secara spesifik: yang dicemaskan para kapitalis Barat,
tak lain adalah geliat gerakan-gerakan Islam.
Rupanya, meski puluhan
tahun sudah khilafah dibubarkan dan sistem kapitalisme diterapkan di dunia
Islam, namun selama ummat Islam ini masih ada, dan selama akses kepada
sumber-sumber Islam masih dibuka, selama itu pula masih akan bermunculan
orang-orang dari ummat Islam ini yang menggeliat untuk bangkit melawan
kekufuran, karena kekufuran adalah musuh abadi Islam sejak para
nabi.
Sejarah menunjukkan, perang salib-pun akhirnya dimenangkan oleh
kaum muslimin, setelah tentara salib berkuasa hampir dua abad. Bagdad-pun
demikian, setelah dihancurkan Tartar, akhirnya bangkit kembali. Ini karena ummat
Islam masih ada dan dakwah masih berjalan. Berbeda dengan Andalusia, yang ketika
inquisisi seluruh muslim dihabisi, sehingga sampai sekarang praktis wilayah itu
tidak pernah menjadi muslim kembali.
Karena itu, seandainya perang salib
terjadi lagi, maka model yang paling masuk akal adalah model inquisisi. Ummat
Islam akan dihabisi, sebab tidak cukup menjadikan mereka sekuler, yang masih
berpotensi untuk bangkit kembali.
Untuk itu ditempuh strategi
penghancuran dakwah dan penghancuran ummat. Dakwah digilas dengan isu terorisme.
Harakah-harakah dakwah yang paling ideologis diserang lebih dulu, walaupun pada
akhirnya, yang paling moderatpun akan digilas juga, sebagaimana pengalaman di
Bosnia. Sedang penghancuran ummat dilakukan dengan penguasaan total
sumber-sumber ekonomi. Maka penguasa manapun yang sulit diajak “kerjasama” akan
dihabisi untuk digantikan dengan agen-agen mereka. Beserta tentara dan rakyat
yang mendukungnya.
Di sisi lain, kekuatan kapitalisme dioptimalkan untuk
membiayai penyesatan opini via media massa, mengorbitkan intelektual yang
mendukung mereka (seperti JIL), membiayai partai politik yang sejalan dengannya,
melobby penguasa atau tokoh masyarakat agar lunak terhadap mereka, membayar
demonstrasi yang mengusung agenda-agenda mereka -sadar ataupun tidak, dan bila
perlu membiayai aksi-aksi teroris yang dipandang bermanfaat untuk kepentingannya
–baik sadar ataupun tidak bahwa mereka dimanfaatkan.
Menjawab konspirasi
ini, tak ada jalan lain bagi harakah-harakah Islam selain lebih merapatkan
barisan agar mendapatkan energi yang cukup untuk secepatnya menegakkan kembali
Khilafah Islamiyah, karena hanya institusi ini yang akan sanggup menahan “perang
salib” tersebut bahkan membalikkannya menjadi jihad fii sabilillah, untuk
membuka Roma, sebagaimana nubuwaah Rasul. ( hayatulislam.net )
Catatan Kaki:
1. Ibnu Katsir (dalam [3]: 167) berkata bahwa pasukan Armanus Raja Romawi
terdiri dari 35.000 Batrix, dan tiap Batrix mengepalai 200.000 personil
kavaleri. Artinya, tujuh milyar personil! Tampak angka ini terlalu
dilebih-lebihkan oleh sumber Ibnu Katsir.
2. Pada tentara salib bahkan
terdapat suatu “corps pelacur” dari Perancis khusus untuk menghibur pasukan
salib yang berbulan-bulan jauh dari keluarga.
Referensi:
- Imam AS-SUYUTHI (1498): Tarikh Khulafa’.
(penerjemah: Samson Rahman). Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001.
- IBNU KHALDUN (1332–1406): Muqaddimah.
(penerjemah: Ahmadie Thoha). Jakarta, Pustaka Firdaus, 2000.
Muhammad Sayyid
AL-WAKIL (1989): Wajah Dunia Islam dari Dinasti Umayyah hingga Imperialisme
Modern. (penerjemah: Fadhli Bahri). Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
1998.
- Cyril GLASSE: Enskilopedi Islam Ringkas.
Jakarta, RajaGrafindo Persada, 1999.
- Gerhard KONZELMANN (1988): Die Islamische
Herausforderung. 5. Aufl. dtv, 1991.
- Franklin H. LITTELL (1976): Atlas zur
Geschichte des Christentums (The Macmillan Atlas History of Christianity). New
York: Macmillan Publishing Co.; Deutsche Ausgabe - Brockhaus Verlag,
1989.
- Werner STEIN (1979): Der grosse
Kulturfahr-plan. Berlin: Herbig, 1979.
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar