Dalam catatan sejarah nasional, nama tokoh ini sangat mencuat di akhir tahun
1940-an. Waktu itu Mr Mohammad Roem diamanahi oleh Pemerintah Republik Indonesia
sebagai ketua tim juru runding RI dalam perundingan dengan Belanda. Tim juru
runding dari Belanda diketuai Van Royen. Akhirnya perundingan yang berlangsung
pada tanggal 14 April 1949 itu diberi nama “Perundingan Roem-Royen”.
Mohammad Roem lahir di Desa Klewongan, Kecamatan Parakan, Kabupaten
Temanggung, Jawa Tengah pada tanggal 16 Mei 1908. Ia lahir sebagai anak keenam
dari tujuh bersaudara. Ayahnya bernama Djulkarnaen Jayasasmito, ibunya bernama
Siti Tarbiyah.
Pendidikannya dimulai di Volkschool (Sekolah Rakyat,
sekolah dasar di masa Belanda) di desa kelahirannya. Ia kemudian melanjutkan ke
HIS (Holland Inlandsche School) Temanggung sampai kelas III, dan diteruskan ke
HIS Pekalongan. Dan tamat dari HIS Pekalongan pada tahun 1924.
Semangat
perjuangannya mulai bersemi sejak di HIS. Kisahnya bermula tatkala seorang
gurunya yang berkebangsaan Belanda menghardik Roem, “Zeg, Inlander!”. Dasar
pribumi, begitu kira-kira artinya.
Roem sangat tersinggung dihardik
demikian. Sebagai orang pribumi ia merasa dirinya dihina dan dilecehkan. Ia
kemudian teringat sejumlah papan larangan di gedung-gedung bioskop, di rumah
makan, dan lain-lain tempat yang mengharamkan orang pribumi masuk.
Penghinaan itu belum selesai. Diwaktu istirahat ada seorang murid
Belanda yang mendorong-dorong tubuh Roem sambil mengolok-olok, “Inlander!
Inlander!” Akibat dorongan itu Roem jatuh terjerembab. Tapi ia segera bangkit
lalu dikejarnya anak Belanda itu. Setelah tertangkap ditinjunya perut si anak
bule itu hingga muntah-muntah.
Peristiwa itu sangat membekas pada diri
Roem. Ia kemudian bertekad untuk memerdekakan bangsanya agar tak lagi dihina
bangsa asing. Untuk mewujudkan niatnya itu sambil bersekolah Roem kemudian
bergabung dengan organisasi Jong Java (Pemuda Jawa).
Mula-mula Roem
bersemangat di kelompok pemuda itu. Namun belakangan ia tidak betah berada di
lingkungan Jong Java, karena aspirasi Islam tidak tertampung di situ, ia bersama
Syamsuridjal dan beberapa tokoh lainnya memilih keluar, lalu pada tahun 1925
mendirikan Jong Islamieten Bond (JIB) atau Himpunan Pemuda Islam.
Dalam
JIB ini Roem dipercaya menjadi salah seorang anggota pimpinan pusatnya. Kemudian
pada tahun 1930 ia menjadi ketua Panitia Kongres JIB di Jakarta. Ketika JIB
membentuk kepanduan (Natipij) ia menjadi ketua umumnya.
Pada tahun 1930
Roem tamat dari Algemene Middlebare School (AMS) atau sekolah menengah atas. Ia
kemudian melanjutkan sekolah ke Rechts Hoge School (RHS) atau Sekolah Tinggi
Hukum. Dari perguruan tinggi tersebut ia berhasil meraih gelar Mester in de
Rechten (Mr) atau Sarjana Hukum pada tahun 1939. Skripsinya tentang Hukum Adat
Minangkabau.
Sambil kuliah dan mengurus JIB, Roem aktif di Partai
Syarikat Islam Indonesia (PSII). Pada tahun 1932 ia menjadi ketua Panitia
Kongres PSII di Jakarta. Ketika terjadi kemelut di PSII, ia bersama-sama Haji
Agus Salim keluar dari partai tersebut dan mendirikan PSII-Penyadar. Dalam
partai baru tersebut ia menjadi Ketua Komite Centraal Executif (Lajnah
Tanfidziyah).
Kemelut itu terjadi karena PSII dalam pandangan Roem lebih
menekankan pada aspek politik sementara tujuan dasar SI, yaitu memajukan
perekonomian bumiputera, tidak diperhatikan lagi. Syarikat Islam juga tidak
memperhatikan lagi masalah pendidikan agama Islam atau pengkaderan.
Untuk
mengamalkan ilmu hukumnya, Roem membuka kantor pengacara (advokat) di Jakarta.
Sebagian di antara organisasi yang mempercayakan jasa kepengacaraannya adalah
Rumah Piatu Muslim di Jakarta dan Perhimpunan Dagang Indonesia (Perdi) di
Purwokerto.
Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), Roem dipercaya
sebagai Ketua Muda “Barisan Hizbullah” di Jakarta. Barisan Hizbullah adalah
organisasi semi-militer di bawah naungan Masyumi.
Dalam Muktamar Masyumi
tahun 1947 diputuskan bahwa ummat Islam harus ikut berjuang mempertahankan
kemerdekaan Indonesia. Negara Islam Indonesia tidak akan tegak kalau Indonesia
belum merdeka, itulah alasannya. Oleh karena itulah para pimpinan dan anggota
Masyumi berjuang mati-matian mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Apalagi
setelah ada fatwa wajib jihad kepada seluruh umat Islam dari Hadratus Syaikh
K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdhatul Ulama yang juga salah seorang pendiri
Masyumi.
Mohammad Roem-pun berjihad mati-matian mempertahankan
kemerdekaan Indonesia, utamanya melalui jalur perundingan/diplomasi. Sikapnya
untuk selalu menghargai pendapat orang lain meski berbeda dengan pendapatnya,
menunjang keberhasilannya sebagai diplomat.
Oleh Pemerintahan Soekarno ia
mendapat amanah menjadi angota tim juru runding RI dalam perundingan Renville 17
Januari 1948. Kemudian, seperti telah disinggung di atas, Roem diangkat sebagai
ketua juru runding RI dalam perundingan Roem-Royen pada tanggal 14 April 1949.
Perundingan tersebut dinilai berhasil karena telah mendorong segera
terselenggaranya Konferensi Meja Bundar dan pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda
tahun 1949.
Di masa berikutnya Roem pernah menjabat sebagai menteri dalam
negeri dalam kabinet Natsir (1950-1953) serta pernah juga menjadi wakil perdana
menteri dalam kabinet Ali Sastroamijoyo (1956-1957).
Pada masa Demokrasi
Terpimpin, terjadi konflik antara Masyumi dengan Presiden Soekarno. Apalagi
kemudian beberapa pemimpin Partai Masyumi, seperti Natsir bergabung dalam
pemberontak PRRI.
Sejak Partai Masyumi membubarkan diri, karena dipaksa
Soekarno, pada tanggal 17 Agustus 1960, Roem tidak lagi memegang jabatan di
pemerintahan. Ia kemudian memusatkan perhatian pada penulisan buku dan
penelitian sejarah perpolitikan di Indonesia serta bidang ilmiah lainnya.
Kegiatan ini tidak berjalan lancar, karena pada tanggal 16 Januari 1962,
ia bersama-sama dengan beberapa tokoh Masyumi dan PSI ditahan pemerintah tanpa
pengadilan. Mereka dituduh oleh Pemerintahan Presiden Sukarno terlibat peristiwa
Cendrawasih, yakni peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno di
Makassar.
Roem dan kawan-kawan bisa keluar dari tahanan pada tahun 1966
setelah pemerintahan Soekarno goyang usai pemberontakan PKI tahun 1965. Selepas
dari penjara kegiatan menulis buku dan penelitian diteruskan kembali. Salah satu
kesibukannya antara lain menjadi Wakil Ketua Dewan Kurator Sekolah Tinggi
Kedokteran Islam Jakarta pada tahun 1971.
Pada tahun 1969 Roem sempat
hampir kembali ke kancah politik setelah terpilih sebagai ketua Partai Muslimin
Indonesia (Parmusi). Ini adalah partai ‘jelmaan’ Masyumi yang didirikan oleh
para mantan kader Masyumi.
Sayangnya Soeharto, presiden waktu itu, tidak
menyetujui. Soeharto khawatir, jika dipimpin Roem, Parmusi bisa menjadi partai
besar seperti Masyumi dulu, hingga menyaingi Golkar. Atas desakan pemerintah,
terpaksa Roem batal jadi Ketua Parmusi, digantikan oleh Djarnawi Hadikusumo.
Sejak itu Roem betul-betul undur diri dari dunia politik praktis.
Kemudian bersama-sama M Natsir dan kawan-kawan mantan kader Masyumi lainnya
mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) di tahun 1970-an. Di tempat
inilah kakek dari Adi Sasono ini berkhidmat bersama para warga Bulan Bintang.
Sejak itu Roem aktif dalam berbagai fora Islam internasional, antara
lain menjadi anggota Dewan Eksekutif Muktamar Alam Islami (1975), Member of
Board Asian Conference of Religion for Peace di Singapura (1977) serta menjadi
anggota Konferensi Menteri-Menteri Luar Negeri Islam di Tripoli
(1977).
Meski begitu perhatiannya pada perkembangan Islam di tanah air
tidak juga berkurang. Suat ketika Amien Rais dalam wawancaranya dengan majalah
Panji Masyarakat (no 379/1982) menyatakan tidak ada negara Islam dalam Al-Quran
dan As-Sunnah, “Oleh karena itu tidak ada perintah dalam Islam untuk menegakkan
negara Islam,” kata Amien Rais.
Atas pandangan Amien itu kemudian Roem
mengirimkan tanggapan ke majalah yang sama. Roem membenarkan, bahwa memang tidak
ada negara Islam dalam nama, namun secara substansial ada. “…Pada akhir hayat
Nabi, pada saat Surat Al-Maidah ayat 3 diwahyukan, maka sudah tumbuh sebuah
masyarakat yang dibangun oleh dan di bawah kepemimpinan Nabi sendiri, yang tidak
diberi nama khusu oleh Nabi, akan tetapi sudah mempunyai ciri-ciri sebagai
negara, sedang hukumnya oleh Tuhan sudah dinamakan sempurna… Saya rasa selama
tidak lebih dari tiga bulan itu di dunia pernah ada ‘Negara Islam’ atau Islamic
State, tidak dalam nama, melainkan dalam substance, dalam
hakikatnya.”
Sesudah itu Nurcholish Madjid yang sedang berada di Chicago
menyuratinya, sehingga berlangsung korespondensi antara mereka berdua selama
beberapa bulan. Setelah korespondensi berakhir, Mohammad Roem dipanggil ke
hadhirat Allah pada tanggal 24 September 1983.
Pada tahun 1997 kumpulan
korespondensi itu plus wawancara Amien Rais dengan majalah Panji Masyarakat
serta tanggapan Roem dibukukan dan diterbitkan oleh Adi Sasono, lalu diberi
judul “Tidak Ada Negara Islam; Surat-surat Politik Nurcholish Madjid-Mohammad
Roem”.
Judul buku itu jelas menyesatkan, seolah-olah Roem menafikan
keberadaan negara Islam. Padahal sesungguhnya, sebagaimana kutipan di atas, Roem
mengakui pernah ada negara Islam, meski tidak dinamakan Negara Islam, yakni
pemerintahan yang dipimpin oleh Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa
sallam. (Agung Pribadi/SHW)
Sumber Hidayatulah Edisi 12/XV 2003 -
Sejarah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar