Christiaan Snouck
Hurgronje merupakan tokoh peletak dasar kebijakan “Islam Politiek” yang
merupakan garis kebijakan “Inlandsch Politiek” yang dijalankan pemerintah
kolonial Belnda terhadap pribumi Hindia Belanda. Konsep strategi kebijakan yang
diciptakan Snouck terasa lebih lunak dibanding dengan konsep strategi kebijakan
para orientalis lainnya, namun dampaknya terhadap umat Islam terus
berkepanjangan bahkan berkelanjutan sampai dengan saat ini.
Snouck lahir
tanggal 8 Februari 1857 di Oosterhout Belanda, merupakan anak keempat dari
pasangan Pendeta JJ Snouck Hurgronje dan Anna Maria. Nama depannya diambilkan
dari nama kakeknya, pendeta D Christiaan de Visser. Pada tahun 1874 selepas dari
pendidikan HBS di Breda, ia melanjutkan ke Fakultas Teologi Universitas Leiden.
Tahun 1878 ia lulus kandidat examen (sarjana muda) kemudian ia meneruskan ke
Fakultas Sastra Universitas Leiden. Semasa di Universitas Leiden, Snouck
dibimbing oleh para tokoh aliran “modernis Leiden”, seperti CP Tieles, LWE
Rauwenhoff, Abraham Kuenen, MJ de Goeje.
Aliran pemikiran “modernis
Leiden” ini berpandangan liberal dan rasional. Dalam aliran pemikiran ini, agama
hanyalah sekedar kesadaran etis yang ada pada setiap manusia dan budaya Eropa
memiliki superioritas kebudayaan sehingga interaksi antara agama Kristen dengan
budaya Eropa adalah proses puncak perkembangan kebudayaan, sedangkan kebudayaan
lain –Islam dan budaya dunia Timur- merupakan suatu bentuk “degenerasi”
kebudayaan.
Dari Abraham Kuenen –ahli perjanjian lama- Snouck mendapat
pelajaran tentang Kritik Biblik / Kritik Kitab Suci. Hal itu mendasari
pemikirannya dalam menolak hal-hal yang irasional dalam agama yang dianutnya
–Kristen- seperti Trinitas dan kedudukan Yesus sebagai Anak Allah. Disamping itu
ia juga belajar bahasa dan sastra Arab dari RPA Dozi dan MJ de
Goeje.
Snouck menyelesaikan pendidikan formalnya pada tahun 1880 dengan
disertasi berjudul Het Mekkaansche Feest yang membahas tentang Ibadah Haji.
Kemudian ia mengajar di “Leiden & Delf Academi”, tempat dimana semua calon
pejabat pemerintah kolonial Belanda dididik dan dilatih sebelum mereka dikirim
berdinas di Hindia Belanda.
Tahun 1884 -atas prakarsa JA Kruyt Konsul
Belanda di Jeddah- Snouck dikirim ke Makkah untk melakukan penelitian tentang
Islam. Untuk mendapatkan ijin tinggal di Makkah, Snouck mengganti namanya
menjadi Abdul Ghaffar, ia juga mengerjakan Shalat dan ritual agama Islam
lainnya. Dengan sikap tersebut, Snouck dapat mengenal lebih dekat kehidupan
sehari-hari umat Muslim di Makkah serta dengan mudah bergaul erat dengan para
pelajar dan ulama, terutama yang berasal dari Hindia Belanda.
Dalam
penelitiannya tersebut, Snouck memusatkan perhatiannya pada tiga hal. Pertama,
dengan cara bagaimana sistem Islam didirikan. Kedua, apa arti Islam didalam
kehidupan sehari-hari dari pengikut-pengikutnya yang beriman. Ketiga, bagaimana
cara memerintah orang Islam sehingga melapangkan jalan untuk mengajak orang
Islam bekerjasama guna membangun suatu peradaban yang universal.
Snouck
tahun 1889 dipindah tugaskan ke Hindia Belanda, oleh Gubernur Jenderal Pijnacker
Herdijk, ia diangkat sebagai peneliti dan penasehat urusan bahasa-bahasa timur
dan Islam. Guna memuluskan tugasnya dan memperkuat penerimaan masyarakat, Snouck
mengawini wanita Muslim Pribumi secara Islam. Snouck melangsungkan perkawinannya
dengan Sangkana, anak tunggal Raden Haji Muhammad Ta’ib, Penghulu Besar Ciamis.
Dari perkawinannya itu terlahir empat orang anak, Salmah, Umar, Aminah, Ibrahim.
Pada tahun 1895, Sangkana meninggal dunia, kemudian tahun 1898 Snouck mengawini
Siti Sadiyah, putri Haji Muhammad Soe’eb, Wakil Penghulu kota Bandung. Pada
tahun 1910 Snouck melangsungkan pernikahan dengan Ida Maria, putri Dr.AJ Oort,
pendeta liberal di Zutphen, perkawinannya yang ketiga ini dilangsungkan di
negeri Belanda.
Berdasarkan konsep Snouck, pemerintah kolonial Belanda
dapat mengakhiri perlawanan rakyat Aceh dan meredam munculnya
pergolakan-pergolakan di Hindia Belanda yang dimotori oleh umat Islam. Pemikiran
Snouck -berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya- menjadi landasan dasar
doktrin bahwa “musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai Agama, melainkan Islam
sebagai Doktrin Politik”.
Konsep Snouck berlandaskan fakta masyarakat
Islam tidak mempunyai organisasi yang “Hirarkis” dan “Universal”. Disamping itu
karena tidak ada lapisan “Klerikal” atau kependetaan seperti pada masyarakat
Katolik, maka para ulama Islam tidak berfungsi dan berperan pendeta dalam agama
Katolik atau pastur dalam agama Kristen. Mereka tidak dapat membuat dogma dan
kepatuhan umat Islam terhadap ulamanya dikendalikan oleh dogma yang ada pada
Al-Qur’an dan Al-Hadits -dalam beberapa hal memerlukan interprestasi- sehingga
kepatuhan umat Islam terhadap ulamanya tidak bersifat mutlak.
Tidak semua
orang Islam harus diposisikan sebagai musuh, karena tidak semua orang Islam
Indonesia merupakan orang fanatik dan memusuhi pemerintah “kafir” belanda.
Bahkan para ulamanya pun jika selama kegiatan Ubudiyah mereka tidak diusik, maka
para ulama itu tidak akan menggerakkan umatnya untuk memberontak terhadap
pemerintah kolonial Belanda. Namun disisi lain, Snouck menemukan fakta bahwa
agama Islam mempunyai potensi menguasai seluruh kehidupan umatnya, baik dalam
segi sosial maupun politik.
Snouck memformulasikan dan mengkategorikan
permasalahan Islam menjadi tiga bagian, yaitu ; bidang Agama Murni, bidang
Sosial Kemasyarakatan, bidang Politik. Pembagian kategori pembidangan ini juga
menjadi landasan dari doktrin konsep “Splitsingstheori”.
Pada hakikatnya,
Islam tidak memisahkan ketiga bidang tersebut, oleh Snouck diusahakan agar umat
Islam Indonesia berangsur-angsur memisahkan agama dari segi sosial masyarakatan
dan politik. Melalui “Politik Asosiasi” diprogramkan agar lewat jalur pendidikan
bercorak barat dan pemanfaatan kebudayaan Eropa diciptakan kaum pribumi yang
lebih terasosiasi dengan negeri dan budaya Eropa. Dengan demikian hilanglah
kekuatan cita-cita “Pan Islam” dan akan mempermudah penyebaran agama
Kristen.
Dalam bidang politik haruslah ditumpas bentuk-bentuk agitasi
politik Islam yang akan membawa rakyat kepada fanatisme dan Pan Islam,
penumpasan itu jika perlukan dilakukan dengan kekerasan dan kekuatan senjata.
Setelah diperoleh ketenangan, pemerintah kolonial harus menyediakan
pendidikan, kesejahteraan dan perekonomian, agar kaum pribumi mempercayai maksud
baik pemerintah kolonial dan akhirnya rela diperintah oleh “orang-orang
kafir”.
Dalam bidang Agama Murni dan Ibadah, sepanjang tidak mengganggu
kekuasaan, maka pemerintah kolonial memberikan kemerdekaan kepada umat Islam
untuk melaksanakan ajaran agamanya. Pemerintah harus memperlihatkan sikap
seolah-olah memperhatikan agama Islam dengan memperbaiki tempat peribadatan,
serta memberikan kemudahan dalam melaksanakan ibadah haji.
Sedangkan
dibidang Sosial Kemasyarakatan, pemerintah kolonial memanfaatkan adat kebiasaan
yang berlaku dan membantu menggalakkan rakyat agar tetap berpegang pada adat
tersebut yang telah dipilih agar sesuai dengan tujuan mendekatkan rakyat kepada
budaya Eropa. Snouck menganjurkan membatasi meluasnya pengaruh ajaran Islam,
terutama dalam hukum dan peraturan. Konsep untuk membendung dan mematikan
pertumbuhan pengaruh hukum Islam adalah dengan “Theorie Resptie”. Snouck
berupaya agar hukum Islam
menyesuaikan dengan adat istiadat dan
kenyataan politik yang menguasai kehidupan pemeluknya. Islam jangan sampai
mengalahkan adat istiadat, hukum Islam akan dilegitimasi serta diakui eksistensi
dan kekuatan hukumnya jika sudah diadopsi menjadi hukum adat.
Sejalan
dengan itu, pemerintah kolonial hendaknya menerapkan konsep “Devide et Impera”
dengan memanfaatkan kelompok Elite Priyayi dan Islam Abangan untuk meredam
kekuatan Islam dan pengaruhnya dimasyarakat. Kelompok ini paling mudah diajak
kerjasama karena ke-Islaman mereka cenderung tidak memperdulikan “kekafiran”
pemerintah kolonial Belanda.
Kelompok ini dengan didukung oleh konsep
“Politik Asosiasi” melalui program jalur pendidikan, harus dijauhkan dari sistem
Islam dan ajaran Islam, serta harus ditarik kedalam orbit “Wearwenization”.
Tujuan akhir dari program ini bukanlah Indonesia yang diperintah dengan corak
adat istiadat, namun Indonesia yang diper-Barat-kan. Oleh karena itu orang-orang
Belanda harus mengajari dan menjadikan kelompok ini sebagai mitra kebudayaan dan
mitra kehidupan sosial.
Kaum pribumi yang telah mendapat pendidikan
bercorak barat dan telah terasosiasikan dengan kebudayaan Eropa, harus diberi
kedudukan sebagai pengelola urusan politik dan administrasi setempa. Mereka
secara berangsur-angsur akan dijadikan kepanjangan tangan pemerintah kolonial
dalam mengemban dan mengembangkan amanat politik asosiasi.
Secara tidak
langsung, asisiasi ini juga bermanfaat bagi penyebarab agama Kristen, sebab
penduduk pribumi yang telah berasosiasi akan lebih mudah menerima panggilan
misi. Hal itu dikarenakan makna asosiasi sendiri adalah penyatuan antara
kebudayaan Eropa dan kebudayaan pribumi Hindia Belanda. Asosiasi yang dipelopori
oleh kaum Priyayi dan Abangan ini akan banyak menuntun rakyat untuk mengikuti
pola dan kebudayaan asosiasi tersebut.
Pemerintah kolonial harus menjaga
agar proses transformasi asosiasi kebudayaan ini seiring dengan evolusi sosial
yang berkembang dimasyarakat. Harus dihindarkan, jangan sampai hegemoni pengaruh
dimasyarakat beralih kepada kelompok yang menentang program peng-asosiasi-an
budaya ini. Secara berangsur-angsur pejabat Eropa dikurangi, digantikan oleh
pribumi pangreh praja yang telah menjadi ahli waris hasil budaya asosiasi hasil
didikan sistem barat. Akhirnya Indonesia akan diperintah oleh pribumi yang telah
ber-asosiasi dengan kebudayaan Eropa.
Konsep-konsep Snouck tidak
seluruhnya dapat dijalankan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, sehingga
tak seluruhnya dapat mencapai hasil yang maksimal. Namun setidaknya selama itu
telah mampu meredam dan mengurangi aksi politik yang digerakkan oleh umat Islam.
Pada akhirnya, umat Islam pula yang menjadi motor penggerak gerakan kemerdekaan
Indonesia di tahun 1945.
Tanggal 12 Maret 1906 Snouck kembali ke negeri
Belanda. Ia diangkat sebagai Guru Besar Bahasa dan Sastra Arab pada Universitas
Leiden. Disamping itu ia juga mengajar para calon-calon Zending di Oestgeest.
Snouck meninggal dunia pada tanggal 26 Juni 1936, di usianya yang ke 81
tahun.
Kebesaran Snouck selalu dikenang, dialah ilmuwan yang dijuluki
‘dewa” dalam bidang Arabistiek-Islamologi dan Orientalistik, salah satu pelopor
penelitian tentang Islam, Lembaga-Lembaganya, dan Hukum-Hukumnya. Ia “berjasa”
menunjukkan “kekurangan-kekurangan” dalam dunia Islam dan perkembangannya di
Indonesia. Di Rapenburg didirikan monumen “Snouck Hurgronjehuis” untuk mengenang
jasa-jasanya dan kebesarannya. (hayatulislam.net)
disadur dari
: Strategi Belanda Melumpuhkan Islam Biografi C. Snouck
Hurgronje Lathiful Khuluq Pustaka Pelajar
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar