Renungan Kemerdekaan Indonesia memang sudah setengah abad lebih
merdeka dan tanggal 17 Agustus 2004 yang akan datang merupakan HUT RI ke-59.
Usia tersebut untuk ukuran manusia sudah tergolong senja. Hanya saja, bagi
sebuah negara masih tergolong muda. Sehingga meskipun sudah konsensus kebangsaan
sudah dicetuskan pada sumpah pemuda dan baru benar-benar terwujud sebagai bangsa
pada proklasmi kemerdekaan yang bacakan Seokarno pada tanggal 17 Agustus 1945,
potensi konflik seputar masalah itu masih sangat kuat.
Persoalan
tersebut mengemuka, karena persoalan nasionalisme (kebangsaan) di republik ini
belum selesai. Barangkali, karena masih adanya sejumlah ras dan etnis yang
merasa didomenasi oleh ras dan etnis tertentu, sehingga menimbulkan kecemburuan
dan rasa ketidakadilan. Untuk itu, sudah selayaknya dilakukan rekonstruksi
kebangsaan dengan satu persoalan utama, yaitu: Kapan bangsa Indonesia lahir?
Berkaitan dengan itu, ketika berbicara mengenai kerajaan-kerajaan yang
ada di nusantara yang sebagian besar wilayahnya kini menjadi Negara Indonesia,
hendaklah diletakkan dalam konteks kerajaan-kerajaan yang pernah ada di
Indonesia bukan sebagai kelanjutan kebangsaan dengan bangsa Indonesia saat ini.
Sebab, bagaimanapun besarnya kerajaan pada masa lalu seperti Sriwijaya dan
Majapahit konsensus kebangsaan nusantara itu apalagi Indonesia tidak pernah ada.
Justru yang ada adalah domenasi sebuah ras atas ras yang lain melalui
penaklukkan. Sehingga ketika, kerajaan itu hancur, wilayah-wilayah taklukan itu
kembali kepada keberadaan semula. Ini menunjukkan bahwa konsensus kebangsaan
memang belum pernah ada yang ada ada adalah sejarah ras tertentu di nusantara
ini yang mendomenasi yang lain.
Itulah sebabnya, meskipun Indonesia
sudah 59 tahun merdeka gesekan antara suku tertentu dengan negara masih sering
terjadi yang dikarenakan belum ada kata sepakat perihal kelahiran bangsa
Indonesia itu sendiri. Untuk itu, perlu ditegaskan bahwa bangsa Indonesia lahir
sejak Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 bukan sebelum dari itu.
Dengan adanya penegasan itu, diharapkan adanya keterikatan emosional antara suku
yang sama-sama mengalami penjajahan sehingga harus dibangun solidaritas yang
kuat dalam rangka menjaga kometmen tersebut. Sebab, jika masa lalu yang
dijadikan landasan lahirnya bangsa Indonesia, maka yang terasosiasikan adalah
dominasi suku tertentu (Jawa) atas suku-suku lain di nusantara. Dan, jika itu
yang terjadi, maka gerakan untuk melepaskan diri dari domenasi itu bisa jadi
tidak akan menurun bahkan mungkin akan meningkat, jika negara tidak bisa
menciptakan kemakmuran dan keadilan di antara warganegaranya.
Oleh sebab
itu, dalam rangka memperingati kemerdekaan yang ke 59 ini perlu ditegaskan bahwa
bangsa dan negara Indonesia bukanlah warisan nenek moyang apalagi
kerajaan-kerajaan besar masa lalu, melainkan entitas bangsa yang dibangun
berdasarkan persamaan nasib suku terjajah dan itu benar-benar terwujud sebagai
bangsa secara de facto ketika Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan. Oleh
karena bangsa ini dibangun berdasarkan solidaritas itu, sudah semestinya, ketika
ada benturan-benturan antara kelompok masyarakat dengan sesamanya dan dengan
negara, penyelesaian secara dialogis seharusnya menjadi prioritas utama dengan
harapan kesan dominasi suku atau ras tertentu atas lainnya tidak menyeruak ke
permukaan. Hal yang penting dari semua itu adalah bagaimana pemerintah
menegakkan hukum secara adil kepada semua pihak yang melanggar konsensus
tersebut.
Persoalan kedaulatan
Secara fisik, masalah itu memang tidak diragukan lagi bahwa Indonesia
memang merdeka dan berdaulat, karena memang wilayah yang terbentang dari Sabang
sampai Merauke ini di bawah pemerintahan sendiri. Namun, jika ditinjau dari
aspek lain, persoalan kedaulatan tampaknya masih sangat debatable, karena banyak
indikasi menunjukkan bahwa kedaulatan yang dicita-citakan oleh pendiri bangsa,
seperti berdiri di atas kaki sendiri (Soekarno) masih jauh dari kenyataan. Ambil
contoh penambangan pasir laut yang mengancam luas wilayah laut RI dan penebangan
dan pencurian di kalimantan di kalimantan. Kedua kasus tersebut menunjukkan
bahwa kedaulatan yang sering dikumandangkan oleh petinggi republik ini terutama
kalangan militer masih sebatas jargon belaka. Betapa tidak, karena seperti
penambangan pasir laut bukan tidak berlangsung di hadapan aparat seperti polisi,
tentara, dan otoritas lainnya. Padahal semua pihak sadar, jika pengerukan pasir
laut menimbulkan persoalan serius bagi luas laut Indonesia. Hal itu, bisa
dilihat dari dua hal.
Pertama, pengerukan itu mengacam eksistensi sebuah
pulau di perbatasan RI-Singapura. Jika pulau itu sampai tenggelam, batas laut
Singapura akan semkain luas, sebaliknya batas RI akan semakin sempit. Kedua,
pasir yang dibawa ke Singpura dipergunakan untuk menguruk pantai di mana hal itu
akan membuat garis pantainya akan semakin membuat sempit perairan Indonesia.
Begitu juga dengan penebangan hutan di Kalimantan. Menurut sebuah sumber
luas hutan yang hilang di Kalimantan berkisar 1,6 sampai dengan 2,4 hektar
pertahunnya atau setara dengan enam kali luas lapangan bola setiap menitnya.
Dan, jika kerugian itu dinilai dengan uang, maka negara diperkiran mengalami
kerugian sekitar Rp 83 miliar akibat perambahan hutan tersebut.
Kerugian
yang sangat besar bukan tidak diketahui oleh otoritas Indonesia, karena hal itu
berlangsung secara kasat mata. Bahkan, kendaraan Malaysia yang mengangkut hasil
hutan ilegal itu mondar-mandir di jalanan Kalimantan tanpa ada hambatan
sedikitpun dari aparat yang bewenang. Hal ini sangat berbeda dengan susahnya
kendaraan Indonesia jika ingin memasuki wilayah Malaysia. Apakah sudah begitu
tergadainya harga diri bangsa ini? Atau sudah begitu miskinnya, sehingga harus
mengorbankan kekayaan bangsa?
Bahkan, lebih mengenaskan lagi, penebangan
hutan oleh pihak Malaysia tidak hanya mengurangi jumlah hutan, tetap berimbas
kepada luas wilayah Indonesia. Berdasarkan ulasan Majalah Tempo dalam sebuah
edisnya pada tahun 2001 disebutkan bahwa, karena persyaratan membuka lahan di
Malaysia sangat ketat, sejumlah warganya yang masih mempunyai hubungan famili
dengan orang-orang di Kalimantan meminjam tanah untuk pertanian. Namun, proses
peminjaman itu tidak hanya sampai di situ, melainkan diikuti juga dengan
pemindahan patok perbatasan wilayah.
Kasus-kasus tersebut menunjukkan
bahwa masalah kedaulatan dalam tataran praktisnya masih persoalan, karena
meskipun ada ancaman terhadap hak negara ini, tidak mendapatkan respon yang
memadai dari pemerintah. Apakah, karena penabangan itu dianggap tidak mengancam
integritas wilayah Indonesia? Akan tetapi, jika seperti diberitakan Tempo itu
benar, berarti ancaman berpindahnya wilayah Indonesia (sedikit demiki sedikit)
seperti Pulau Sipadan dan Ligitan masih akan berlanjut. Belum lagi, berkaitan
dengan persoalan keseriusan pemerintah mangadvokasi wilayah-wilayah terluar
seperti perbatasan Papua-PNG, RI-Timor Leste, dan lainnya. Itu perlu ditangani
serius. Sebab jika tidak, apa artinya kata kedaulatan bagi bangsa Indonesia?
Berkaitan dengan HUT RI ke 59 ini, tampaknya masih banyak perkerjaan
yang harus dilakukan oleh semua lapisan terutam pemerintah terutama yang
berkaitan dengan masalah nasionalisme dan kedaulatan agar tujuan kemerdekaan
benar-benar bisa terwujud. Semoga dengan perayaan hari kemerdekaan ke-59 ini
rasa kebangsaan bangsa Indonesia semakin kuat guna menangkal setiap gerakan yang
mengarah kepada separatisme. (eramuslim)
Mahmudi Asyari. Pemerhati
masalah sosial dan politik dan mahasiswa S3 UIN Jakarta
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar