Senin, 22 April 2013

download Swara Muslim




 
 

counter_liberalisme
desember_2005
FEBRUARI_2006
januari_2006
journey
mcb_swaramuslim_01
mcb_swaramuslim_02
mcb_swaramuslim_03
mcb_swaramuslim_04
mcb_swaramuslim_05
muallaf2005

download majalah insight muslim

Insight 1-5
Insight 6-10
Insight 11-14

pass: ridala

download buku harun yahya




























download all

artikel harun yahya


The Da vinci Code


Perkembangan Terakhir Tentang Manusia Flores


"Karena orang-orang sudah pasti terpengaruh oleh saya, saya ingin berusaha dan memperbaiki kerusakan besar yang mungkin telah saya lakukan." (Anthony Flew)
Pernyataan para pendukung evolusi bahwa Homo floresiensis merupakan suatu spesies tersendiri yang terpisah dari manusia zaman modern semakin memudar di hadapan penentangan yang semakin menguat. The Times Online, edisi internet dari surat kabar The Times dan The Sunday Times, merangkum sejumlah perkembangan terakhir seputar bahasan tersebut dalam kalimat berikut:
"Sebuah temuan yang diumumkan sebagai penemuan terbesar di bidang antropologi selama seabad telah terpuruk dan menjadi salah satu sengketa tersengit di bidang itu." (1)
Perkembangan yang menyulut api perselisihan tersebut adalah adanya para pakar lain yang mendukung pandangan para ilmuwan Indonesia yang berkeberatan atas dikemukakannya H. floresiensis sebagai suatu spesies tersendiri yang terpisah dari Homo sapiens. Yang terkemuka dari sederetan ilmuwan tersebut adalah ilmuwan Australia Dr. Maciej Henneberg dan Dr. Alan Thorne, dan para peneliti dari Field Museum Chicago di Amerika.
Sejumlah sanggahan baru, sebagaimana yang dilontarkan oleh para ilmuwan Indonesia, menegaskan bahwa Manusia Flores mungkin telah menderita penyakit syaraf yang dikenal sebagai microcephaly (kelainan berupa kepala yang berukuran kecil). Dukungan penting bagi pandangan ini datang dari Profesor Maciej Henneberg, ilmuwan anatomi dan pakar palaeopatologi selama 32 tahun. Henneberg, ketua Departement of Anatomical Sciences, the University of Adelaide, Australia, pertama-tama mengkaji hasil pengukuran tengkorak Manusia Flores yang diterbitkan di situs internet majalah Nature. Di sinilah ilmuwan tersebut teringat akan tengkorak lain dengan bentuk dan ukuran yang mirip. Tengkorak tersebut adalah spesimen Homo sapiens berusia 4.000 tahun yang didapatkan dalam penggalian di pulau Kreta. Tengkorak milik individu H. sapiens ini memiliki ukuran agak kecil, dan para ilmuwan yang menelitinya telah menjelaskan fenomena ini sebagai microcephaly.
Berdasarkan hasil perbandingan statistik yang ia lakukan pada 15 hasil pengukuran tengkorak, ilmuwan Australia itu mengungkapkan bahwa terdapat "perbedaan tidak nyata" antara keduanya. Henneberg, yang sanggahannya diberitakan dalam jurnal terkenal terbitan Amerika Serikat Science (2), menyimpulkan bahwa ukuran tengkorak Manusia Flores diakibatkan oleh microcephaly. Peneliti tersebut juga menyatakan bahwa anatomi wajah Manusia Flores masih dalam batas H. sapiens.
Pengkajian lain oleh Henneberg yang mengungkap hasil mengejutkan tentang Manusia Flores adalah perhitungannya tentang tulang lengan depan (radius) yang ditemukan di dalam sebuah gua. Dari panjang tulangnya, yang ditetapkan sebagai 210 mm (8,3 inci), Henneberg menghitung bahwa pemiliknya bertinggi tubuh antara 151 dan 162 cm (4,9 - 5,3 kaki). Angka ini agak lebih besar daripada 1 meter (3 kaki) yang diduga merupakan ukuran tinggi Manusia Flores, dan masih dalam batas yang dianggap normal untuk manusia zaman sekarang. Henneberg mengumumkan kesimpulan yang ia capai sebagai hasil dari penelitian ini:
"Hingga tambahan tulang-tulang lain dari 'spesies baru' dugaan ini diketemukan, saya akan tetap menyatakan bahwa suatu kondisi yang sudah sangat dikenal yang diakibatkan oleh penyakitlah yang menjadi penyebab timbulnya penampakan khusus dari rangka tersebut." (3)
Sebagaimana dijelaskan para ilmuwan, perbedaan dalam hal ukuran tengkorak maupun struktur rahang antara Manusia Flores dan Homo sapiens dapat dijelaskan dengan fenomena microcephaly (kelainan berupa ukuran kepala yang kecil).
Peneliti evolusi manusia terkemuka lainnya, antropolog Dr. Alan Thorne dari Australian National University, menyatakan penemuan Manusia Flores hanya memperlihatkan bahwa "tak seorang pun memperkirakan sesuatu seperti itu ada di sana," dan menyebutkan bahwa adalah melebih-lebihkan fakta untuk menyatakan H. floresiensis mewakili suatu spesies tersendiri. (4)
Robert Martin, ilmuwan primatologi dari Field Museum Chicago, dan arkeolog James Phillips melontarkan pernyataan berikut yang mendukung teori microcephaly berkaitan dengan volume otak Manusia Flores yang berukuran kecil:
"Satu-satunya tengkorak adalah milik seorang perempuan yang menderita microcephaly, suatu kelainan yang jarang terjadi yang berakibat pada kepala dan otak yang berukuran kecil. Microcephaly menyebabkan wajah tumbuh pada laju yang normal, tapi kepalanya tidak. Orang [tersebut] akhirnya berdahi miring dan tanpa dagu -- persis seperti Hobbit." (5) (Hobbit: Julukan untuk Manusia Flores yang diambil dari film The Lord of the Rings.)
Karena sejumlah sanggahan ini, tidak beralasannya penggambaran Manusia Flores sebagai suatu spesies tersendiri yang terpisah dari  H. sapiens sekali lagi terungkap. Pengkajian oleh Henneberg sudah pasti berperan besar dalam hal ini: karena individu H. sapiens yang berusia 4.000 tahun dikabarkan telah menderita kelainan microcephaly, lalu mengapa Manusia Flores, dengan ukuran tengkorak yang sama, digambarkan sebagai suatu spesies yang berbeda?
Barangkali penafsiran paling mencolok tentang debat seputar Manusia Flores ini berasal dari Robert Matthews, seorang penulis ilmu pengetahuan yang berpengalaman untuk surat kabar Inggris The Sunday Telegraph. Matthews mendukung gagasan microcephaly, dan mengecam keinginan sebagian kalangan untuk menampilkan Manusia Flores sebagai suatu spesies tersendiri. Ia juga mengutip skandal Manusia Nebraska, salah satu skandal terbesar dalam sejarah paleoantropologi, dalam mengungkap betapa tidak beralasannya keinginan itu. Dengan judul utama "Big Claims, meagre evidence; welcome to palaeontology" (Klaim Besar, bukti sangat kurang; selamat datang di palaeontologi), Matthews menulis:
"Minggu yang lain, dan perseteruan yang lain lagi di kalangan ilmuwan tentang sejumlah tulang kuno dan pernyataan tentang telah ditemukannya suatu spesies manusia baru yang lain lagi. Kali ini perselisihan tersebut tertuju pada penemuan tulang belulang berusia 18.000 tahun milik sejenis manusia dengan tinggi badan 3 kaki di pulau Flores, Indonesia.
... para ilmuwan yang menggalinya telah menerbitkan makalah di jurnal Nature, mengumumkannya sebagai suatu spesies baru manusia, dan memberinya nama Latin yang terdengar indah: Homo floresiensis.
Kemudian, sebagaimana kebiasaan lama, para ilmuwan lain bermunculan untuk membantah klaim tersebut sebagai terlalu dini. Seorang pakar terkemuka di bidang palaeoanatomi mengatakan kepada jurnal tandingan Science bahwa tengkorak berusia 18.000 tahun yang seukuran dengan jeruk besar tersebut mirip dengan tengkorak yang ditemukan di pulau Kreta yang merupakan milik spesimen berusia 4.000 tahun dari jenis Homo sapiens kuno yang sudah terlalu sering, dengan microcephaly sekunder, suatu keadaan yang ditandai dengan tengkorak yang secara tidak wajar berukuran kecil.
... Microcephaly sekunder memiliki banyak sekali penyebab, mulai dari infeksi virus selama kehamilan hingga luka atau kekurangan gizi ketika baru lahir. Spesimen-spesimen tersebut ditemukan di sebuah gua di suatu pulau. Siapakah yang bisa mengatakan bahwa pulau itu belum pernah dilanda wabah virus 18.000 tahun lalu yang menyebabkan berjangkitnya kelainan tersebut? Atau mungkin penghuni [pulau itu] telah terkena wabah itu di tempat lain di gugusan kepulauan Indonesia, dan telah diusir ke Flores karena penampakan mereka yang aneh.
Atau mungkin saja bahwa mereka yang mengidap microcephaly sekunder dapat bertahan hidup dan bahkan beranak pinak: kelainan itu tidak selalu harus dihubungkan dengan kecerdasan yang rendah.  Sebenarnya, [tingkat kecerdasan] bukan dikarenakan ukuran otak yang kecil saja: penentu terpenting adalah jumlah bagian [otak yang berwarna] abu-abu. Karena bagian ini tidak terawetkan pada sisa-sisa peninggalan fosil, kita tidak memiliki gambaran apakah para "hobbit" tersebut cerdas, bodoh atau biasa saja. Apa yang jelas adalah bahwa para palaeontolog terlalu bernafsu mendasarkan klaim besar pada bukti yang sudah dipastikan sangat kurang. Ini adalah kecenderungan kuat yang tidak begitu membantu mereka di masa lalu. Pada tahun 1922, pakar fosil Amerika, Henry Fairfield Osborn menjadi judul utama pemberitaan dengan mengumumkan penemuan tentang apa yang ia nyatakan sebagai kera mirip manusia pertama yang pernah ditemukan di Amerika, yang ia beri nama Hesperopithecus ( yang berarti "Ape from the Land of the Evening Sun" atau Kera dari Daratan Matahari Sore").
Ilmuwan anatomi terkenal Profesor Grafton Elliot Smith dari London University melangkah lebih jauh, ia bersikukuh bahwa Hesperopithecus setidaknya merupakan "anggota paling awal dan paling primitif dari keluarga manusia yang masih dapat ditemukan". Namun apakah bukti dari klaim yang lantang ini? Sebuah gigi tunggal yang sudah menjadi fosil yang ditemukan di Nebraska.
Tanggapan Prof Smith kepada mereka yang meragukan kearifan berpegang pada bukti yang sangat sedikit sungguh mirip dengan apa yang kini sedang dilakukan oleh para penemu Manusia Hobbit dari Flores: "Orang akan memandang kesimpulan yang demikian sangat penting dengan keraguan", ujar Prof Smith, "jika saja bukan karena kepakaran para ilmuwan Amerika di bidang itu yang tidak perlu dipertanyakan lagi."
Gertakan itu tidak menyurutkan langkah the American Museum of Natural History untuk mencari bukti lebih lanjut. Bukti itu ditemukan di saat yang tepat di Nebraska, dan mengungkap bahwa "Hesperopithecus" tak lebih dari seekor babi punah. Prof Smith di kemudian hari menjadikan dirinya tenar dengan membuat gambar populer dari manusia Neanderthal sebagai manusia berpenampilan dungu yang sedang mengunyah tulang, sembari pula mendukung klaim bahwa potongan-potongan tengkorak yang ditemukan di Inggris pada tahun 1912 adalah milik nenek moyang tertua H. sapiens yang pernah diketahui. Di kemudian hari diketahui bahwa manusia Neanderthal "khas bikinan" Prof Smith sebenarnya adalah seorang pria yang diketahui pasti tidak bertubuh normal dan bungkuk karena menderita radang sendi. Sedangkan mengenai potongan tulang tengkorak, ternyata berasal dari sebuah lubang galian di Sussex yang dikenal sebagai Piltdown; kelanjutannya bisa dipahami.
Tampaknya, tak satu pun dari kejadian ini menyurutkan semangat para palaeontolog untuk terus mengkhayal tentang keberadaan lebih banyak lagi "spesies" di luar pohon kekerabatan manusia. Semua yang dibutuhkan adalah beberapa potongan tulang yang tidak biasa ditambah dengan kamus bahasa Latin yang bagus, dan tempat dalam sejarah palaeontologi pun akan diperoleh.
Semuanya tampak bergantung pada bisa tidaknya potongan tulang tersebut dianggap "tidak seperti biasanya" sehingga berada di luar batasan spesies mana pun yang diketahui. Orang ngeri membayangkan kesimpulan apa yang akan dicapai para palaeontolog jika mereka diberi tulang belulang seorang cebol zaman sekarang dan seorang penambang minyak dari Texas." (6)
Kesimpulan:
Fakta yang terungkap melalui perkembangan ilmiah terkini tentang Manusia Flores maupun pelajaran dari sejarah sebagaimana yang diingatkan oleh Matthews adalah: Para ilmuwan evolusionis dan media massa sama-sama sangat bernafsu untuk menampilkan dan memberitakan fosil-fosil yang baru ditemukan sebagai spesies baru. Hasilnya, hampir setiap penemuan fosil diumumkan dengan kehebohan dan kegemparan besar oleh media massa, meskipun klaim ini lalu dengan senyap terbantahkan di kemudian hari.
Perkataan berikut dari Robert Locke, editor pelaksana majalah Discovering Archaeology, tentang penelitian di bidang palaeoantropologi adalah menyerupai gambaran tentang keraguan dan propaganda fanatik yang melingkupi pengkajian di bidang ini:
"Mungkin tidak ada bidang ilmu pengetahuan yang lebih banyak dipenuhi persengketaan daripada pencarian tentang asal usul manusia. Para paleontolog terkemuka saling tidak sepakat bahkan mengenai bagan paling mendasar dari pohon kekerabatan manusia sekalipun. Cabang-cabang baru bermunculan di tengah-tengah keriuhan, hanya untuk kemudian layu dan mati di hadapan temuan-temuan fosil baru." (7)
Akan tetapi, skenario khayal evolusi manusia, yang dipertahankan keberadaannya melalui propaganda, hasutan, pemutarbalikan fakta dan bahkan pemalsuan, akan pasti tersingkirkan di hadapan penemuan-penemuan ilmiah modern. Hal ini dikarenakan temuan ilmiah nyata mengungkap bahwa kehidupan terlalu rumit untuk dapat terbentuk melalui ketidaksengajaan, dan bahwa mekanisme mutasi acak dan seleksi alam tidak dapat menjelaskan keberadaan informasi genetik pada DNA suatu spesies. Klaim evolusi seputar masalah tersebut tidak lagi memiliki dasar ilmiah di hadapan penemuan-penemuan yang dibuat hampir setiap harinya. Karenanya tak dapat dihindarkan, upaya dari mereka yang meyakini bahwa memaparkan kisah khayal tentang masa lampau berdasarkan kemiripan antartulang sebagai ilmu pengetahuan akan berakhir dengan kegagalan.
Manusia diciptakan oleh Allah, beserta seluruh perangkat sempurna pada tubuhnya. Hal ini dinyatakan Allah dalam Al Qur'an:
Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur. (Al Qur'an, 32: 7-9)

1- Nigel Hawkes, "Kidnap marks the latest chapter in Hobbit's story," Times Online, December 4, 2004; online at: http://www.timesonline.co.uk/article/0,,3-1386936,00.html
2- Michael Balter, "Skeptics Question Whether Flores Hominid Is a New Species," Science, Vol 306, Issue 5699, 1116 , November 12, 2004
3- Maciej Henneberg, "Why The 'Hobbitt' May Not Be a New Species of Humans;" online at: http://www.thinkinganglicans.org.uk/archives/000884.html
4- Heather Catchpole, "Tiny Human a Big Evolutionary Tale," October 27, 2004; online at: http://dsc.discovery.com/news/afp/20041025/tinyhuman.html
5- Jim Ritter, "Experts here knock claim of new 'Hobbit' species," Chicago Sun-Times, November 16, 2004; online at: http://www.suntimes.com/output/news/cst-nws-human16.html
6- Robert Matthews, "Big claims, meagre evidence; welcome to palaeontology," The Telegraph, December 8, 2004; online at: http://gardening.telegraph.co.uk/connected/main.jhtml?xml=/connected/2004/12/08/ecrqed08.xml
7- Robert Locke, "Family Fights," Discovering Archaeology, July/August 1999, h. 36-39
 "Karena orang-orang sudah pasti terpengaruh oleh saya, saya ingin berusaha dan memperbaiki kerusakan besar yang mungkin telah saya lakukan." (Anthony Flew)
Pernyataan para pendukung evolusi bahwa Homo floresiensis merupakan suatu spesies tersendiri yang terpisah dari manusia zaman modern semakin memudar di hadapan penentangan yang semakin menguat. The Times Online, edisi internet dari surat kabar The Times dan The Sunday Times, merangkum sejumlah perkembangan terakhir seputar bahasan tersebut dalam kalimat berikut:
"Sebuah temuan yang diumumkan sebagai penemuan terbesar di bidang antropologi selama seabad telah terpuruk dan menjadi salah satu sengketa tersengit di bidang itu." (1)
Perkembangan yang menyulut api perselisihan tersebut adalah adanya para pakar lain yang mendukung pandangan para ilmuwan Indonesia yang berkeberatan atas dikemukakannya H. floresiensis sebagai suatu spesies tersendiri yang terpisah dari Homo sapiens. Yang terkemuka dari sederetan ilmuwan tersebut adalah ilmuwan Australia Dr. Maciej Henneberg dan Dr. Alan Thorne, dan para peneliti dari Field Museum Chicago di Amerika.
Sejumlah sanggahan baru, sebagaimana yang dilontarkan oleh para ilmuwan Indonesia, menegaskan bahwa Manusia Flores mungkin telah menderita penyakit syaraf yang dikenal sebagai microcephaly (kelainan berupa kepala yang berukuran kecil). Dukungan penting bagi pandangan ini datang dari Profesor Maciej Henneberg, ilmuwan anatomi dan pakar palaeopatologi selama 32 tahun. Henneberg, ketua Departement of Anatomical Sciences, the University of Adelaide, Australia, pertama-tama mengkaji hasil pengukuran tengkorak Manusia Flores yang diterbitkan di situs internet majalah Nature. Di sinilah ilmuwan tersebut teringat akan tengkorak lain dengan bentuk dan ukuran yang mirip. Tengkorak tersebut adalah spesimen Homo sapiens berusia 4.000 tahun yang didapatkan dalam penggalian di pulau Kreta. Tengkorak milik individu H. sapiens ini memiliki ukuran agak kecil, dan para ilmuwan yang menelitinya telah menjelaskan fenomena ini sebagai microcephaly.
Berdasarkan hasil perbandingan statistik yang ia lakukan pada 15 hasil pengukuran tengkorak, ilmuwan Australia itu mengungkapkan bahwa terdapat "perbedaan tidak nyata" antara keduanya. Henneberg, yang sanggahannya diberitakan dalam jurnal terkenal terbitan Amerika Serikat Science (2), menyimpulkan bahwa ukuran tengkorak Manusia Flores diakibatkan oleh microcephaly. Peneliti tersebut juga menyatakan bahwa anatomi wajah Manusia Flores masih dalam batas H. sapiens.
Pengkajian lain oleh Henneberg yang mengungkap hasil mengejutkan tentang Manusia Flores adalah perhitungannya tentang tulang lengan depan (radius) yang ditemukan di dalam sebuah gua. Dari panjang tulangnya, yang ditetapkan sebagai 210 mm (8,3 inci), Henneberg menghitung bahwa pemiliknya bertinggi tubuh antara 151 dan 162 cm (4,9 - 5,3 kaki). Angka ini agak lebih besar daripada 1 meter (3 kaki) yang diduga merupakan ukuran tinggi Manusia Flores, dan masih dalam batas yang dianggap normal untuk manusia zaman sekarang. Henneberg mengumumkan kesimpulan yang ia capai sebagai hasil dari penelitian ini:
"Hingga tambahan tulang-tulang lain dari 'spesies baru' dugaan ini diketemukan, saya akan tetap menyatakan bahwa suatu kondisi yang sudah sangat dikenal yang diakibatkan oleh penyakitlah yang menjadi penyebab timbulnya penampakan khusus dari rangka tersebut." (3)
Sebagaimana dijelaskan para ilmuwan, perbedaan dalam hal ukuran tengkorak maupun struktur rahang antara Manusia Flores dan Homo sapiens dapat dijelaskan dengan fenomena microcephaly (kelainan berupa ukuran kepala yang kecil).
Peneliti evolusi manusia terkemuka lainnya, antropolog Dr. Alan Thorne dari Australian National University, menyatakan penemuan Manusia Flores hanya memperlihatkan bahwa "tak seorang pun memperkirakan sesuatu seperti itu ada di sana," dan menyebutkan bahwa adalah melebih-lebihkan fakta untuk menyatakan H. floresiensis mewakili suatu spesies tersendiri. (4)
Robert Martin, ilmuwan primatologi dari Field Museum Chicago, dan arkeolog James Phillips melontarkan pernyataan berikut yang mendukung teori microcephaly berkaitan dengan volume otak Manusia Flores yang berukuran kecil:
"Satu-satunya tengkorak adalah milik seorang perempuan yang menderita microcephaly, suatu kelainan yang jarang terjadi yang berakibat pada kepala dan otak yang berukuran kecil. Microcephaly menyebabkan wajah tumbuh pada laju yang normal, tapi kepalanya tidak. Orang [tersebut] akhirnya berdahi miring dan tanpa dagu -- persis seperti Hobbit." (5) (Hobbit: Julukan untuk Manusia Flores yang diambil dari film The Lord of the Rings.)
Karena sejumlah sanggahan ini, tidak beralasannya penggambaran Manusia Flores sebagai suatu spesies tersendiri yang terpisah dari  H. sapiens sekali lagi terungkap. Pengkajian oleh Henneberg sudah pasti berperan besar dalam hal ini: karena individu H. sapiens yang berusia 4.000 tahun dikabarkan telah menderita kelainan microcephaly, lalu mengapa Manusia Flores, dengan ukuran tengkorak yang sama, digambarkan sebagai suatu spesies yang berbeda?
Barangkali penafsiran paling mencolok tentang debat seputar Manusia Flores ini berasal dari Robert Matthews, seorang penulis ilmu pengetahuan yang berpengalaman untuk surat kabar Inggris The Sunday Telegraph. Matthews mendukung gagasan microcephaly, dan mengecam keinginan sebagian kalangan untuk menampilkan Manusia Flores sebagai suatu spesies tersendiri. Ia juga mengutip skandal Manusia Nebraska, salah satu skandal terbesar dalam sejarah paleoantropologi, dalam mengungkap betapa tidak beralasannya keinginan itu. Dengan judul utama "Big Claims, meagre evidence; welcome to palaeontology" (Klaim Besar, bukti sangat kurang; selamat datang di palaeontologi), Matthews menulis:
"Minggu yang lain, dan perseteruan yang lain lagi di kalangan ilmuwan tentang sejumlah tulang kuno dan pernyataan tentang telah ditemukannya suatu spesies manusia baru yang lain lagi. Kali ini perselisihan tersebut tertuju pada penemuan tulang belulang berusia 18.000 tahun milik sejenis manusia dengan tinggi badan 3 kaki di pulau Flores, Indonesia.
... para ilmuwan yang menggalinya telah menerbitkan makalah di jurnal Nature, mengumumkannya sebagai suatu spesies baru manusia, dan memberinya nama Latin yang terdengar indah: Homo floresiensis.
Kemudian, sebagaimana kebiasaan lama, para ilmuwan lain bermunculan untuk membantah klaim tersebut sebagai terlalu dini. Seorang pakar terkemuka di bidang palaeoanatomi mengatakan kepada jurnal tandingan Science bahwa tengkorak berusia 18.000 tahun yang seukuran dengan jeruk besar tersebut mirip dengan tengkorak yang ditemukan di pulau Kreta yang merupakan milik spesimen berusia 4.000 tahun dari jenis Homo sapiens kuno yang sudah terlalu sering, dengan microcephaly sekunder, suatu keadaan yang ditandai dengan tengkorak yang secara tidak wajar berukuran kecil.
... Microcephaly sekunder memiliki banyak sekali penyebab, mulai dari infeksi virus selama kehamilan hingga luka atau kekurangan gizi ketika baru lahir. Spesimen-spesimen tersebut ditemukan di sebuah gua di suatu pulau. Siapakah yang bisa mengatakan bahwa pulau itu belum pernah dilanda wabah virus 18.000 tahun lalu yang menyebabkan berjangkitnya kelainan tersebut? Atau mungkin penghuni [pulau itu] telah terkena wabah itu di tempat lain di gugusan kepulauan Indonesia, dan telah diusir ke Flores karena penampakan mereka yang aneh.
Atau mungkin saja bahwa mereka yang mengidap microcephaly sekunder dapat bertahan hidup dan bahkan beranak pinak: kelainan itu tidak selalu harus dihubungkan dengan kecerdasan yang rendah.  Sebenarnya, [tingkat kecerdasan] bukan dikarenakan ukuran otak yang kecil saja: penentu terpenting adalah jumlah bagian [otak yang berwarna] abu-abu. Karena bagian ini tidak terawetkan pada sisa-sisa peninggalan fosil, kita tidak memiliki gambaran apakah para "hobbit" tersebut cerdas, bodoh atau biasa saja. Apa yang jelas adalah bahwa para palaeontolog terlalu bernafsu mendasarkan klaim besar pada bukti yang sudah dipastikan sangat kurang. Ini adalah kecenderungan kuat yang tidak begitu membantu mereka di masa lalu. Pada tahun 1922, pakar fosil Amerika, Henry Fairfield Osborn menjadi judul utama pemberitaan dengan mengumumkan penemuan tentang apa yang ia nyatakan sebagai kera mirip manusia pertama yang pernah ditemukan di Amerika, yang ia beri nama Hesperopithecus ( yang berarti "Ape from the Land of the Evening Sun" atau Kera dari Daratan Matahari Sore").
Ilmuwan anatomi terkenal Profesor Grafton Elliot Smith dari London University melangkah lebih jauh, ia bersikukuh bahwa Hesperopithecus setidaknya merupakan "anggota paling awal dan paling primitif dari keluarga manusia yang masih dapat ditemukan". Namun apakah bukti dari klaim yang lantang ini? Sebuah gigi tunggal yang sudah menjadi fosil yang ditemukan di Nebraska.
Tanggapan Prof Smith kepada mereka yang meragukan kearifan berpegang pada bukti yang sangat sedikit sungguh mirip dengan apa yang kini sedang dilakukan oleh para penemu Manusia Hobbit dari Flores: "Orang akan memandang kesimpulan yang demikian sangat penting dengan keraguan", ujar Prof Smith, "jika saja bukan karena kepakaran para ilmuwan Amerika di bidang itu yang tidak perlu dipertanyakan lagi."
Gertakan itu tidak menyurutkan langkah the American Museum of Natural History untuk mencari bukti lebih lanjut. Bukti itu ditemukan di saat yang tepat di Nebraska, dan mengungkap bahwa "Hesperopithecus" tak lebih dari seekor babi punah. Prof Smith di kemudian hari menjadikan dirinya tenar dengan membuat gambar populer dari manusia Neanderthal sebagai manusia berpenampilan dungu yang sedang mengunyah tulang, sembari pula mendukung klaim bahwa potongan-potongan tengkorak yang ditemukan di Inggris pada tahun 1912 adalah milik nenek moyang tertua H. sapiens yang pernah diketahui. Di kemudian hari diketahui bahwa manusia Neanderthal "khas bikinan" Prof Smith sebenarnya adalah seorang pria yang diketahui pasti tidak bertubuh normal dan bungkuk karena menderita radang sendi. Sedangkan mengenai potongan tulang tengkorak, ternyata berasal dari sebuah lubang galian di Sussex yang dikenal sebagai Piltdown; kelanjutannya bisa dipahami.
Tampaknya, tak satu pun dari kejadian ini menyurutkan semangat para palaeontolog untuk terus mengkhayal tentang keberadaan lebih banyak lagi "spesies" di luar pohon kekerabatan manusia. Semua yang dibutuhkan adalah beberapa potongan tulang yang tidak biasa ditambah dengan kamus bahasa Latin yang bagus, dan tempat dalam sejarah palaeontologi pun akan diperoleh.
Semuanya tampak bergantung pada bisa tidaknya potongan tulang tersebut dianggap "tidak seperti biasanya" sehingga berada di luar batasan spesies mana pun yang diketahui. Orang ngeri membayangkan kesimpulan apa yang akan dicapai para palaeontolog jika mereka diberi tulang belulang seorang cebol zaman sekarang dan seorang penambang minyak dari Texas." (6)
Kesimpulan:
Fakta yang terungkap melalui perkembangan ilmiah terkini tentang Manusia Flores maupun pelajaran dari sejarah sebagaimana yang diingatkan oleh Matthews adalah: Para ilmuwan evolusionis dan media massa sama-sama sangat bernafsu untuk menampilkan dan memberitakan fosil-fosil yang baru ditemukan sebagai spesies baru. Hasilnya, hampir setiap penemuan fosil diumumkan dengan kehebohan dan kegemparan besar oleh media massa, meskipun klaim ini lalu dengan senyap terbantahkan di kemudian hari.
Perkataan berikut dari Robert Locke, editor pelaksana majalah Discovering Archaeology, tentang penelitian di bidang palaeoantropologi adalah menyerupai gambaran tentang keraguan dan propaganda fanatik yang melingkupi pengkajian di bidang ini:
"Mungkin tidak ada bidang ilmu pengetahuan yang lebih banyak dipenuhi persengketaan daripada pencarian tentang asal usul manusia. Para paleontolog terkemuka saling tidak sepakat bahkan mengenai bagan paling mendasar dari pohon kekerabatan manusia sekalipun. Cabang-cabang baru bermunculan di tengah-tengah keriuhan, hanya untuk kemudian layu dan mati di hadapan temuan-temuan fosil baru." (7)
Akan tetapi, skenario khayal evolusi manusia, yang dipertahankan keberadaannya melalui propaganda, hasutan, pemutarbalikan fakta dan bahkan pemalsuan, akan pasti tersingkirkan di hadapan penemuan-penemuan ilmiah modern. Hal ini dikarenakan temuan ilmiah nyata mengungkap bahwa kehidupan terlalu rumit untuk dapat terbentuk melalui ketidaksengajaan, dan bahwa mekanisme mutasi acak dan seleksi alam tidak dapat menjelaskan keberadaan informasi genetik pada DNA suatu spesies. Klaim evolusi seputar masalah tersebut tidak lagi memiliki dasar ilmiah di hadapan penemuan-penemuan yang dibuat hampir setiap harinya. Karenanya tak dapat dihindarkan, upaya dari mereka yang meyakini bahwa memaparkan kisah khayal tentang masa lampau berdasarkan kemiripan antartulang sebagai ilmu pengetahuan akan berakhir dengan kegagalan.
Manusia diciptakan oleh Allah, beserta seluruh perangkat sempurna pada tubuhnya. Hal ini dinyatakan Allah dalam Al Qur'an:
Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur. (Al Qur'an, 32: 7-9)

1- Nigel Hawkes, "Kidnap marks the latest chapter in Hobbit's story," Times Online, December 4, 2004; online at: http://www.timesonline.co.uk/article/0,,3-1386936,00.html
2- Michael Balter, "Skeptics Question Whether Flores Hominid Is a New Species," Science, Vol 306, Issue 5699, 1116 , November 12, 2004
3- Maciej Henneberg, "Why The 'Hobbitt' May Not Be a New Species of Humans;" online at: http://www.thinkinganglicans.org.uk/archives/000884.html
4- Heather Catchpole, "Tiny Human a Big Evolutionary Tale," October 27, 2004; online at: http://dsc.discovery.com/news/afp/20041025/tinyhuman.html
5- Jim Ritter, "Experts here knock claim of new 'Hobbit' species," Chicago Sun-Times, November 16, 2004; online at: http://www.suntimes.com/output/news/cst-nws-human16.html
6- Robert Matthews, "Big claims, meagre evidence; welcome to palaeontology," The Telegraph, December 8, 2004; online at: http://gardening.telegraph.co.uk/connected/main.jhtml?xml=/connected/2004/12/08/ecrqed08.xml
7- Robert Locke, "Family Fights," Discovering Archaeology, July/August 1999, h. 36-39
 

Darwinisme tengah mengalami kemunduran, dan tidak mampu lagi membohongi Dunia!

Darwinisme mengemukakan bahwa terdapat fosil-fosil bentuk peralihan, namun kenyataannya tidak ditemukan ... Darwinisme mengemukakan bukti ilmiah yang tidak absah ... Meskipun seluruh fosil yang telah ditemukan dengan jelas membuktikan penciptaan, Darwinisme bersikukuh menyatakan hal yang sama sekali bertolak belakang ... Teori ini berupaya meyakinkan orang untuk mempercayai bahwa para seniman, ilmuwan dan profesor dapat terbentuk sebagai hasil dari ketidaksengajaan, melalui pembentukan protein-protein, yang memiliki peluang pembentukan secara kebetulan sebesar 1 per 10950, dengan kata lan "sebuah kemustahilan". Darwinisme bahkan berusaha menjadikan orang percaya bahwa para profesor yang terbentuk dengan cara seperti ini mendirikan universitas-universitas untuk mengkaji bagaimana diri mereka sendiri muncul menjadi ada secara tidak disengaja atau kebetulan.
Darwinisme menganggap kromosom di dalam sel makhluk hidup yang mengandung kode informasi lebih banyak daripada sebuah perpustakaan raksasa sebagai buah karya peristiwa kebetulan semata ... Teori ini menyatakan bahwa kekuatan mahahebat dari peristiwa kebetulan menjadikan atom-atom yang tidak dapat melihat, mendengar dan berpikir berubah menjadi manusia yang dapat melihat, mendengar, merasakan, berpikir dan berkesadaran… Bagi Darwinisme, peristiwa kebetulan atau ketidaksengajaan adalah tuhan yang melakukan karya-karya luar biasa. Dalam uraian ini akan Anda pahami betapa mantra hitam Darwinisme ini telah terhapuskan.
1. Darwinisme tidak lagi mampu mengatakan bahwa protein dapat terbentuk melalui evolusi. Sebab peluang terbentuknya satu protein saja dengan urutan yang benar secara acak  adalah 1 per 10950, sebuah angka yang menunjukkan kemustahilan secara matematis.
2. Darwinisme tidak lagi merujuk kepada fosil-fosil sebagai bukti terjadinya evolusi. Hal ini dikarenakan seluruh penggalian yang dilakukan di seluruh dunia dari pertengahan abad ke-19 hingga hari ini, tak satu pun dari "bentuk-bentuk peralihan" yang menurut para evolusionis seharusnya ada dalam jumlah jutaan ternyata tidak pernah ditemukan. Telah disadari bahwa bentuk-bentuk "mata rantai" ini tidak lain hanyalah sebuah kisah khayalan.
3. Para evolusionis berputus asa di hadapan fosil-fosil yang berjumlah tak berhingga yang telah berhasil digali hingga saat ini. Hal ini disebabkan semua fosil-fosil ini memiliki seluruh ciri-ciri yang mendukung dan membuktikan penciptaan.
4. Para evolusionis tidak lagi mampu menyatakan bahwa Archaeopteryx adalah nenek moyang burung, sebab penelitian terkini terhadap fosil-fosil Archaeopteryx telah sama sekali menggugurkan pernyataan bahwa Archaeopteryx adalah makhluk "setengah-burung." Telah diketahui bahwa Archaeopteryx memiliki struktur anatomi dan otak yang sempurna yang diperlukan untuk terbang, dengan kata lain Archaeopteryx adalah seekor burung sejati, dan "dongeng khayal tentang evolusi burung" tidak lagi dapat dipertahankan keabsahannya.
5. Darwinisme tidak lagi dapat menggunakan urutan palsu yang dikenal sebagai "silsilah evolusi kuda." Telah diketahui bahwa urutan silsilah palsu ini tersusun dari sejumlah spesies terpisah yang hidup di zaman yang berbeda dan di wilayah yang berbeda.
6. Darwinisme tidak lagi dapat menggunakan fosil yang dikenal sebagai Coelocanth untuk mendukung dongeng khayal peralihan dari air ke darat, sebab sejak pernyataan tersebut dikemukakan diketahui bahwa makhluk ini, yang sebelumnya dikukuhkan sebagai bentuk peralihan yang punah, ternyata ikan yang menghuni dasar lautan yang kini masih hidup, dan lebih dari 200 ikan hidup dari jenis tersebut hingga kini telah berhasil ditangkap.
7. Darwinisme tidak mampu lagi menyatakan bahwa makhluk hidup seperti Ramapithecus dan serangkaian Australopithecus (A. Bosei, A. Robustus, A. Aferensis, Africanus dst.) adalah para nenek moyang manusia. Hal ini disebabkan penelitian terhadap fosil-fosil ini telah memperlihatkan bahwa semua makhluk ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan manusia dan merupakan spesies-spesies kera sejati yang punah.
8. Darwinisme tidak akan lagi mampu membohongi masyarakat dengan gambar-gambar rekonstruksi [reka ulang], sebab para ilmuwan telah dengan jelas mengungkapkan bahwa rekonstruksi ini, yang didasarkan pada sisa-sisa tubuh hewan yang pernah hidup di masa lalu, tidaklah bernilai ilmiah dan sama sekali tidak dapat dipercaya.
9. Darwinisme tidak mampu lagi mengemukakan "Manusia Piltdown" sebagai bukti bagi evolusi, sebab penelitian menunjukkan bahwa fosil seperti "Manusia Piltdown" tidak pernah ada dan selama 40 tahun masyarakat telah dibohongi dengan sepotong rahang orang hutan yang direkatkan pada sebongkah tengkorak manusia.
10. Darwinisme tidak dapat lagi menyatakan bahwa "Manusia Nebraska" dan keluarganya membenarkan evolusi, sebab telah dikukuhkan bahwa fosil-fosil gigi geraham yang dijadikan bukti bagi kisah "Manusia Nebraska" ternyata milik sejenis babi liar yang telah punah.
11. Darwinisme tidak lagi mampu menyatakan bahwa seleksi alam mendorong terjadinya evolusi, sebab telah dibuktikan secara ilmiah bahwa mekanisme yang dimaksud tidak dapat menyebabkan makhluk hidup berevolusi dan tidak dapat menyebabkan mereka memperoleh sifat-sifat baru.
Para pendukung Darwinisme telah melakukan banyak sekali penyebaran informasi keliru sebagaimana disebutkan di atas, dan waktu telah mengungkap bahwa semua hal tersebut tidaklah benar. Misalnya, telah diketahui bahwa mutasi yang dulunya dinyatakan memiliki daya evolusi ternyata malah sama sekali bersifat merusak, dan berdampak menimbulkan penyakit, cacat atau kematian, dan bukan perbaikan... Telah diketahui bahwa struktur pada embrio manusia yang dulunya dikatakan oleh para Darwinis sebagai insang ternyata adalah cikal bakal saluran telinga bagian tengah, kelenjar paratiroid and kelenjar timus. Telah terungkap pula bahwa perubahan-perubahan telah sengaja dilakukan pada gambar-gambar embrio untuk memberi dukungan pada evolusi. Telah diketahui bahwa informasi genetik bagi kekebalan terhadap berbagai antibiotik yang terdapat pada bakteri ternyata telah ada pada DNA mereka "sejak saat bakteri tersebut ada di dunia ini"..

Masihkah anak anda menonton "Teletubbies"?

imageAssalamu'alaikum wr wb
Walaupun berita & artikel ini sudah cukup lama, namun apa salahnya saya postingkan di Swaramuslim sekedar mengingatkan kita semua akan bahaya "menonton Teletubbies" terutama bagi anak anak dikalangan umat Islam.

Walaupun kelihatan sepintas lucu, namun dibalik film tersebut tersembunyi pesan pesan Kampanye Homoseks, sehingga telah menimbulkan reaksi diberbagai dunia. Sebagian besar negara Eropah, negara Islam, Malaysia dan bahkan Singapore telah melakukan banned atas penayangan film, cuma justru lucunya tidak ada satupun organisasi Islam di Indonesia / MUI melakukan hal itu. Apakah karena terlalu sibuk??

Namun sampai saat ini walaupun penayangan di TV sudah tidak adalagi (karena sudah habus serialnya) namun kelihatannya "Teletubbies" sudah menjadi Trade Mark terbukti dengan penggunaan maskot & attributnya dalam berbagai produk anak anak (baju, kue Ul-Tah, Kaos dll) masih sering kita jumpai. Mohon sebarkan artikel ini kepada saudara saudara kita, aqidah islam tidak ada yang basi, semoga info ini bermanfaat
Wassalam

Kampanye Homoseks Teletubbies


Seorang Pendeta terkemuka di Amerika menguraikan misi homoseks di balik tayangan lucu Teletubbies. Kontroversi meluas. Singapura melarang penayangannya. Indonesia?

"Suka nonton Teletubbies?" Bila pertanyaan itu dilontarkan kepada anak-anak, niscaya akan dijawab 'ya'. "Bagus sih. Lain sama Pokemon atau Shinchan yang jorok," kata Eki, murid kelas IV sebuah SD di Rawamangun, Jakarta.
Saat ini, tontonan yang diputar hampir saban hari di Indosiar itu memang sedang digandrungi anak-anak. Television in the tummy of the babies (disingkat Teletubbies, televisi di perut para bocah) adalah film yang menampilkan empat tokoh boneka gendut (tubby) dan lucu bernama Tinky-Winky (berwarna ungu), Dipsy (hijau), Laa-Laa (kuning), dan Po (merah). Di kepala empat sekawan itu ada antena, yang menandakan bahwa televisi memang sudah menjadi bagian tak terpisahkan bagi anak-anak. Rumahnya berupa lapangan golf yang hijau dan sejuk, disebut Teletubbyland. Di situ ada kincir angin, televisi, kelinci, pancuran air, yang selalu disinari matahari berwajah bayi imut-imut.

Film rekaan Anne Woods dan Andrew Davenport yang pertama kali muncul di Inggris tahun 1995 itu tak sekadar nongol di televisi. Pernik-perniknya juga membanjir di toko mainan, toko buku, mal, pasar, sampai perempatan lampu merah. Bentuknya bisa komik, kartu, boneka, VCD, gantungan kunci, stiker, sikat gigi, tempat nasi, handuk, pigura, dan berbagai asesoris peralatan sekolah. Bahkan kini telah terbit majalah Teletubbies. Pendeknya, sang idola itu bisa menyapa anak-anak di mana saja, kapan saja. Tak mengherankan bila anak-anak begitu akrab.

Cuma, ada satu hal yang agaknya sulit dikenali anak-anak pada umumnya, yakni jenis kelaminnya. Sebab, kostumnya sama, aktivitasnya pun tak berbeda. Robbi Mighfari dan Balivia Andi Permata, murid-murid sebuah TK di Surabaya, mempunyai jawaban berbeda ketika ditanya mana dari anggota Teletubbies yang perempuan. Robbi menjawab Po. "Sebab Po kan warnanya merah," alasannya. Tapi menurut Balivia justru Tinky-Winki-lah, si ungu, yang perempuan.

Bagi Eki, yang paling membingungkan adalah sosok Tinky-Winky, anggota Teletubbies yang paling besar. "Dia itu laki-laki, tapi kadang tingkahnya kayak cewek. Suka mbawa tas dan bunga. Kayak orang banci,' ujarnya.
Di Barat identitas Teletubbies memang sempat menjadi perdebatan heboh. Bermula dari pendapat Pendeta Jerry Falwell dalam sebuah tulisan di National Liberty Journal (Februari 1999) yang menilai Teletubbies membawa misi homoseksualitas lewat tokoh Tinky-Winky. Alasannya? "Tinky-Winky berwarna ungu warna kebanggaan kaum gay dan mempunyai antena segitiga terbalik di kepalanya simbol kebanggaan gay," kata Falwell.

Majalah Time edisi 12 Oktober 1998 juga menyatakan hal yang sama. Di situ dilaporkan bahwa Tinky Winky yang membawa tas/dompet merah merupakan ikon kaum gay di Inggris. Identitas tokoh-tokoh Teletubbies memang tidak jelas. Perbedaan gender hanya digambarkan secara samar dengan suara dan pilihan warna: ungu dan hijau muda untuk laki-laki, merah dan kuning untuk perempuan. Dan di mata Falwell, ini dianggap sebagai pembenaran terhadap aktivitas homoseksual dan biseksual.

Kalangan rohaniwan Kristen menilai, indoktrinasi dini terhadap anak batita (di bawah tiga tahun) lewat Teletubbies akan menyebabkan anak tak bisa membedakan mana laki-laki mana perempuan. Lebih berbahaya lagi kalau anak sudah dicekoki nilai: boleh saja laki-laki sekali-sekali menjadi perempuan, dan sebaliknya. "Diluncurkannya Teletubbies adalah khusus untuk berkomunikasi dengan balita guna memasukkan nilai homoseksualitas. Dengan cerita berbahasa bayi, digambarkan bahwa perilaku homo dan biseks adalah wajar," masih kata Falwell.

Menurut psikolog pendidikan Elzim Khosyiyati, ketidakjelasan identitas ini berbahaya bagi perkembangan psikis anak-anak. "Itu sama dengan mengaburkan esensi dari nilai pendidikan anak yang harus jelas dan tegas," ujar Elzim yang juga aktivis Lembaga Pendidikan Islam Dwi Matra, Surabaya.

Hal senada ditulis Berit Kjos di situs Edutainment. Menurutnya, secara tidak disadari, anak-anak dibentuk Teletubbies untuk bisa menerima kelainan-kelainan perilaku seksual seperti biseksual, homoseksual, dan lesbian sebagai sesuatu yang wajar. Juga, anak-anak dibentuk untuk menjadikan televisi sebagai dunia mereka. Pendapat Kjos ini sama dengan pandangan umum kaum ibu di Inggris yang menilai Teletubbies mensosialisasikan televisi kepada anak-anak dalam usia terlalu dini.

Tuduhan bahwa Teletubbies membawa misi gay segera ditentang keras oleh Ragdoll Productions dan koleganya, produser film ini. Juru bicara untuk Itsy Bitsy Entertainment Co., pemegang lisensi Teletubbies di AS, berdalih bahwa dompet Tinky Winky adalah tas ajaib. "Sebenarnya yang dibawa tak menunjukkan dia gay. Ini adalah pertunjukan anak-anak, cerita," kata Steve Rice seperti dikutip Associated Press (1999).

Yang paling keras menentang Falwell tentu saja kalangan gay. Dalam sebuah wawancara diCBS, Joan Garry yang mewakili Aliansi Gay dan Lesbian, dengan nada cemooh menganggap Falwell sebagai penuduh yang pandir. Sedangkan Michael Colton di harian New York Observer menganggap tuduhan itu sebagai hal yang terlampau aneh dan mengerikan. Stan Yann dalam The Voice malah balik menuduh Falwell sebagai pendeta gemuk seperti Teletubby (tubby= gemuk) yang bodoh.

Namun pendapat Falwell tidak salah bila kita cermat melihat adegan film Teletubbies. Tingkah laku si Ungu memang seperti seorang gay. Dia suka bunga, membawa dompet warna merah, gerak tariannya dan nada nyanyiannya. Sebuah kebiasaan orang perempuan. Padahal keterangan resmi yang dikeluarkan sebuah produsen acara teve anak-anak PBS kids, jenis kelamin Tinky Winky adalah male (laki-laki).

Tinky Winky juga tak segan-segan berebut rok dengan Po. Saat rebutan itu terjadi, 'dewa'-nya Teletubbies matahari bermuka bayi lucu lalu mengatur agar yang berebut rok itu memakainya secara bergantian. Dewa bayi itu seolah menjadi 'tuhan' yang menganjurkan perilaku seks menyimpang.

Kalangan orang tua juga mesti waspada dengan adegan 'berpelukan' yang selalu dilakukan empat sekawan itu di akhir acara. Menurut Elzim, pelukan di antara anggota keluarga wajar, dan baik baik. Namun efek adegan berpelukan Teletubbies sangat didasari kebudayaan Barat. Ibu dua anak ini sekarang kerap menjumpai kecenderungan anak-anak di sekolah yang gandrung Teletubbies sering melakukan pelukan kepada kawan perempuan maupun lelaki, baik berlawanan jenis maupun tidak. "Di satu sisi memang bisa mengakrabkan, tapi di sisi lain bila perilaku ini terus-menerus dilakukan bisa fatal akibatnya. Anak-anak akan terbiasa melakukan pelukan dan ciuman dengan siapa saja tanpa pandang bulu."

Dampak lebih jauh, bila yang gandrung adalah anak laki-laki, akan berbahaya. "Anak laki-laki yang suka boneka Teletubbies akan terpengaruh seperti jiwa anak perempuan, bahkan bisa saja kemudian hari memperlakukan dirinya seperti perempuan atau waria," jelas Elzim.

Tidak hanya ajaran gay. Cara bicara tokoh Teletubbies yang cedal pun banyak diprotes kalangan ibu-ibu di Inggris. Misalnya pelafalan kata 'Halo' menjadi 'Ee-o'. Menurut Elzim Khosyiyati, bahasa cadel semacam itu tidak baik bagi proses pembelajaran kemampuan verbal anak. "Kita seharusnya mengajarkan pesan verbal secara tegas dan jelas kepada anak," ujarnya.

Meski penuh kontroversi, Teletubbies terus melaju tinggi. Ia telah mendatangkan keuntungan 80-an juta poundsterling bagi Ragdoll Productions dan BBC Worldwide, produsernya. Kini 45 negara di dunia menyiarkan serial anak-anak yang ternyata mengusung misi kaum Nabi Luth ini, dan menjadi terpopuler di dunia.

Bagi negeri yang peduli terhadap anak-anak, Teletubbies dilarang. Di Singapura, serial Tinky-Winky dan kawan-kawan ini tidak ditayangkan karena dianggap berpengaruh buruk terhadap perkembangan jiwa anak. Bagaimana di Indonesia yang mayoritas beragama Islam? (akbar, pambudi)

Teletubbies Digugat, Menyebarkan Tradisi Gay?


Lucu amat mereka yaaa, imut-imut gemas dan empuk. Itu yang kita bayangkan ketika melihat 4 sosok selebritis baru kesukaan anak batita. Setiap ke pasar, pasti anak merengek minta dibelikan boneka salah satu dari 4 tokoh tsb. Entah yang Ungu (Tinky Winky, paling besar), Hijau muda (Dipsy), Kuning (La Laa) maupun Merah (Po, paling kecil). Saya hafal karakter-karakter mereka sampai kepada model antena di kepala masing-masing adalah karena diprotes anak-anak. Tinky Winky antenanya adalah segitiga terbalik, Dipsy lurus seperti tongkat mencuat ke atas, La Laa melingkar seperti pegas dan Po antenanya seperti bulatan cincin. Beberapa produsen boneka 'aspal' (asli palsu) meniru dengan tidak tepat, sehingga ketika saya membelikan anak saya, saya diprotes: " Nggak cocok Ummi…., antena Po bukan seperti tongkat, tapi Dipsy yang begitu." Apalah artinya mainan.

Kemudian berlanjut dengan membeli VCD nya. Lucu-lucu blo'on, khas anak baru belajar bicara. Dengan satu catatan: suara yang dipakai adalah suara dewasa yang berlogat celat, sehingga kesan saya: koq seperti orang cacat mental? Tetapi sekali lagi: Apalah artinya mainan. Apalagi memang sarat fantasi ruang angkasa dengan gambaran rumah yang seperti pesawat ruang angkasa dan segala pernak pernik khayalan termasuk matahari dengan wajah bayi di tengah-tengahnya.

Jalan ceritanya pun amat-amat sederhana: mengenalkan berbagi mainan, mengenalkan bermain bersama, mengenalkan bahwa setiap orang punya barang kesukaan (my favorite things)…. Begitu sederhana sampai bungsu saya yang belum dua tahun sudah bisa menirukan kata-kata mereka yang khas : "A-oo" sambil menutup mulut. Itu adalah ritual Teletubbies jika ada sesuatu yang salah atau sesuatu yang kurang.Tanpa sadar gaya mereka memang mudah sekali melekat pada batita dan tidak mustahil akan selamanya. Sekali lagi: Apalah arti mainan?

Tapi ternyata artinya lebih dari sekedar mainan. Beberapa waktu yang lalu beredar di internet polemik tentang Teletubbies.

Ada seorang pastor menggugat sosok Tinky Winky yang seperti banci: suara berat tapi suka sekali pada dompet. Menurut salah seorang pengamat media anak, penggambaran sosok laki-laki (suara yang berat) dengan memakai dompet merah seperti itu, khas dompet kaum ibu di Inggris raya, bahkan seperti tas tangan Ratu Elizabeth pada acara-acara sosial, sangat feminin. Pada awalnya pastor tsb-pun digugat balik oleh para pendukung Teletubbies dengan berdalih bahwa dompet Tinky Winky adalah "magic bag" alias dompet ajaib, jadi buat apasih diributkan? Itu kata mereka (it's nothing important), sekali lagi: Namanya juga mainan khayal apapun boleh. Tetapi apakah benar begitu saja?

Ternyata semakin banyak yang terungkap dalam polemik yang kemudian juga melibatkan berbagai pengamat media anak di daratan Eropa dan Amerika. Info lain yang masuk semakin mengejutkan:
1)Warna Tinky Winky adalah warna kesayangan kaum gay
2)Antena Tinky adalah simbol Gay atau lesbian (jika dibalik)
3)Antena Dipsy adalah simbol (maaf) kelamin laki-laki.
4)Antena Po simbol perempuan

Bahkan dari jalan cerita salah satu filmnya, jelas menunjukkan sebuah niat untuk memperkenalkan tingkah laku para homosex, yaitu Tinky Winky berebut rok dengan La Laa dan diperbolehkan oleh si Matahari (yang di dalam Teletubbies Land dianggap sebagai simbol pengganti semua otoritas dunia manusia, yaitu otoritas orangtua, guru dll termasuk Tuhan!). Jadi ada satu lagi yang diajarkan di sini: re-definisi atas simbol-simbol otoritas!

Selama ini kaum homosex sedang bergelut untuk minta pengakuan dunia bahwa homosexual adalah sebuah kecenderungan sejak lahir (dalam bahasa Islam disebut fitrah, sebagaimana ketertarikan laki-laki terhadap perempuan). Mereka menggugat agar punya gereja sendiri dan bisa menikah resmi dengan pasangannya, mereka juga menggugat agar masyarakat menerima mereka sebagaimana menerima para cacat mental atau orang buta. Innocent!Tanpa dosa!

Sejauh ini sudah ada gereja-gereja dan pendeta-pendeta yang cukup 'gila' untuk mengakui mereka kemudian mau menikahkan pasangan gay atau lesbian, tetapi tetap saja Kepausan di Roma menolak dan mengkucilkan pendeta dan gereja yang menyimpang. Otoritas agama seperti itu amat di tentang oleh kaum gay dan dianggap melanggar 'hak asasi mereka'. Kemudian inilah yang kita lihat, sebuah usaha untuk mulai mengubah tata nilai manusia dengan mendidik batita dengan bahasa batita.

Agaknya mereka berharap bahwa dengan mengajarkan batita "kesamaan dan persamaan" bagi mereka dan segala tingkah laku menyimpangnya, maka 20 tahunan lagi mereka akan diakui sebagai sebuah komunitas yang sah, sebagaimana sekarang orang Amerika menganggap sah adanya komunitas negro atau hispanik di Amerika Serikat.Globalisasi telah membuat Teletubbies ini bukan hanya nge-top di negeri asalnya Inggris (pertama kali diluncurkan sebagai program Unesco di stasiun TV PBS dan kemudian BBC), tapi juga segera merambah ke seluruh dunia. Keberhasilan mereka terletak pada bahasa komunikasi yang mereka gunakan.

Para aktornya telah susah payah diajarkan bagaimana bertingkah laku, berbicara dan bergerak seperti Batita (toddler). Mengingat betapa sedikitnya film-film yang mendidik yang benar-benar bisa bicara dengan batita, saya akui teknik mereka dalam berkomunikasi dengan batita amat canggih. Meskipun kita, sebagai orang dewasa akan merasa ganjil dengan gaya Teletubbies (seperti kesan yang saya dapatkan yaitu seperti orang cacat mental), tetapi bagi batita mereka betul-betul mewakili dunianya. Penuh warna, main kejar-kejaran, banyak bunga dan binatang tak berbahaya, lapangan luas dan matahari yang bersinar cerah.

Absennya sosok penting bagi batita ternyata merupakan sebuah kesengajaan demi melancarkan misi kaum gay. Sosok yang hilang adalah sosok orangtua. Biasanya, bagi batita sosok 'mama' atau 'papa' amat lekat dengan dunia mereka. Dalam Teletubbies Land, sosok itu ditiadakan (baik mama maupun papa) karena sosok-sosok inilah yang mulai menanamkan nilai-nilai tradisi dan ideologi kepada anak termasuk agama dan nilai sosial masyarakat sejak kecil.

Inilah yang sedang 'dimusuhi' kaum gay, karena biasanya orangtua-lah yang memperingatkan anaknya jika berada dekat-dekat dengan gay, takut ketularan Aids maupun takut terbawa perilaku mereka. Nah, dalam Teletubbies Land tak perlu ada orangtua, anak-anak bisa hidup mandiri dan tetap gembira tanpa mama atau papa sebagai sosok otoritas. Jika ada sesuatu yang tidak beres, ada sosok lain yang punya tugas khusus, yaitu Nu-Nu si Vacum Cleaner, sebagai sosok pelayan yang membereskan apa yang di kacaukan atau dibuat berantakan oleh para Teletubbies. Jadi tak perlu mama.

Satu-satunya sosok otoritas yang dibolehkan ada adalah sosok matahari dengan wajah bayi (sebagaimana wajah para pemirsa). Jadi dalam Teletubbies Land sosok otoritasnya berada dalam posisi yang sedikit banyak 'sejajar' dengan para Teletubbies maupun penonton: sama-sama bayi! Dan sang 'matahari bayi' tadi mengajarkan: boleh saja boys (laki-laki, yaitu Tinky Winky) memakai rok ballet berenda bergantian dengan La Laa dan yang lain. Jadi 'boys' dan 'girls' boleh bertukar peran, karena dalam Teletubbies Land jenis kelamin tidak penting dan boleh gantian! That's it !!

Ini adalah sosialisasi awal yang amat-amat halus dan canggih dengan sasaran yang amat tepat: anak yang sangat kecil yang putih bersih bagai kertas kosong. Bahkan ada pengamat media lain yang mensinyalir bahwa matahari bayi yang digambarkan dalam serial ini diambil dari mitos-mitos para penyembah berhala, Yunani, Persia dan Hindu. Seolah para pencipta Teletubbies ingin menciptakan Dewa baru bagi manusia, yaitu dewa yang menerima gay sebagai kewajaran dalam hidup.

Wah-wah wah, apalagi yang lebih berbahaya? Perilaku kaum Luth, penghilangan fungsi lembaga keluarga (bapak dan ibu) serta penyembahan berhala.

Masih bisa diamati lebih lanjut, yaitu apa saja celotehan dan tingkah laku para Teletubbies sebenarnya sarat dengan istilah-istilah khas dunia mesum dan dunia gay. Tentunya para 'pakar kemesuman' lebih bisa menjelaskannya dari saya. Wallahua'lambishshowwaab (eramuslim)

Penulis: Saisyahn Bachtir
mihsat@hotmail.com

"Edutainment"

How Teletubbies Teach Toddlers


by Berit Kjos
Shortcut to the charts: symbolsBBC | Text only
Home                                                     Email this page
"I believe television and video are the most underestimated force for good in educating our children in the technological age in which we live. It is important to develop children’s thinking skills."1 (Anne Wood, Teletubby creator, BBC)
"The challenge to humanity is to adopt new ways of thinking, new ways of acting, new ways of organizing itself in society -- in short, new ways of living."2 (Our Creative Diversity, UNESCO)
"Young people like magical alternate realities; and the entertainment industry profits by providing amusement parks, videogames, movies, and television programs that build on this fascination. Educators too can profit, in a different way, by building eerily beautiful environments for sensory immersion that arouse curiosity and empower shared fantasy, leading to guided inquiry. If we forswear distributed learning based on mystery, intrigue, and 'edutainment,' we risk losing the generation growing up with high-performance computing and communications to the mindless mercies of videogames." ("The Transformation of Distance Learning to Distributed Learning")

"Time for Teletubbies. Time for Teletubbies…."
At the sound of the familiar call, toddlers around the world scamper to their television sets for 30 minutes of simple play, enchantment, and learning. They smile with the baby-faced sun rising in the sky and laugh at four chubby Teletubbies popping out of their under-ground home. When the magic windmill spins its sparkly beams, they share the excitement of a daily mystery: Which tummy-screen will light up and broadcast a short TV clip?
This simple but captivating Teletubby world is full of pretty flowers, lively rabbits, warm hugs, bumping tummies, and high tech marvels – but glaringly devoid of parental love and guidance. Instead, a mystical periscope (the Voice Trumpet) arises from the ground to emit friendly directions when needed. A large toaster makes tubby toast, while a tubby-sized machine spurts tubby custard. A magic vacuum cleaner called Noo-Noo cleans up the mess. And the Teletubbies are perfectly happy!
But who are these captivating, big-eyed creatures with television screens on their tummies (that's why they are called Teletubbies) and antennas on their heads? Why do toddlers love them so much?
"They are not human," argued their adult fans and the mainstream media during last year’s controversy over Tinky-Winky’s triangular antenna. "It’s absurd to criticize their gender. They’re fantasy creatures, not boys, girls, homosexuals, or toddlers."
That’s not what Anne Wood, their creator at BBC (British Broadcasting Co.) tells us. "They are babies," she explains. "… technological babies…. Like children, they also imitate what they hear, so they will attempt to speak like the Narrator and sometimes like the Voice Trumpets."3
Others have likened the Teletubbies to aliens, to fetuses, and to mythical half-human, half-animal creatures – albeit a cuter, more modern version. But what counts is their message, not their looks. What do they teach their little fans? What do those four antennas on their heads symbolize? Why do they wear television screens on their tummies? Why don't mommies and daddies take care of these baby look-alikes? Why does the sun wear the face of a baby? And finally, how does the teletubby program fit into the global agenda for "lifelong learning"?

1. What do they teach?

"…children are the same the world over," says scriptwriter Andy Davenport. "They grow, they learn language, they learn to talk, to think the same, wherever they grow up."4
If, as BBC (British Broadcasting Company) claims, small children around the world watch this show, they certainly will learn "to think the same" – a major goal of UNESCO’s program for "lifelong learning" [click also on "next slide"]. This cradle
 

 Teletubby
costumes

 to grave process of training human resources for the global village needs and has the support of America's PBS as well as BBC. Both help children to imitate their idols – four soft, roly-poly creatures played by real people. These actors have been trained to talk like toddlers, run like toddlers, eat like toddlers, and swing to music like toddlers. That’s to help real toddlers love them, follow them, feel at home with them – and, don’t forget, learn from them.
One of the lessons involves self-sufficiency (separation from parents, but not from peers) within a high-tech world. If that's hard to believe, hear it from PBS, which has adapted the show for the American audience: "In 'Teletubbies,' the technological world becomes engaging, playful and, most of all, manageable by the young child. The play technology that hums through Teletubbyland also supplies the Teletubbies' every need - Tubby Toast, Tubby Custard, and the conscientious care and support of the comic vacuum cleaner, Noo-noo."5 No need for parents or grandparents!
This philosophy matches that of Professor John Goodlad, who served on the governing board of UNESCO’s Institute for Education before he joined Bill Clinton on the 1987 Study Commission on Global Education. In his Preface to Schooling for a Global Age, he wrote,
"Enlightened social engineering is required to face situations that demand global action now. Education is a long-term solution.... The majority of our youth still hold the same values as their parents and, if we don’t re-socialize, our system will decay."6
The Teletubbies may be fantasy creatures, romping in a fantasy world. But toddlers pick up cues fairly indiscriminately from both fantasy worlds and the real world. They don’t know enough about reality to separate the two. So they are ready and eager to believe and assimilate the cues they receive. There are plenty of questionable messages. Take a look at some of them from a child’s perspective.
 

From Teletubby toy Mega Bloks

2. What does the baby-faced sun tell toddlers?

The sun rises from behind the flowery green hills each morning, and shines happily on the teletubby world all day. It sinks back at the end of each day. Sounds a bit like the real sun, doesn’t it?
But wait, this sun is also a living creature with a congenial personality. Its pretty, blue-eyed baby face giggles when the Teletubbies play happily together and do nice, expected things. It often frowns when a teletubby is separated from the rest or does something unexpected.
That sounds innocent enough. What could be wrong with a happy face framed in the sun’s bright rays? Could this feel-good image be anything more than simple, whimsical fantasy? Nobody would take it seriously, would they?
Probably not. But that's part of the problem. Children fill their minds with images that represent the new global paradigm, and few take either message or the effects seriously. But leading educators who call themselves "change agents" are dead serious about the visual tactics they use to reach their goal. They seek to mold minds that embrace the new global paradigm (worldview) and reject the old Christian paradigm. "The purpose of education and the schools is to change the thoughts, feelings and actions of students," admits Dr. Benjamin Bloom, the "Father of Outcome-Based Education, in his book, All Our Children Learning."7
Bloom and his followers have come a long way. Suddenly earth-centered spirituality – with its sun-gods, nature spirits, and occult rituals from around the world – has become the favored model for the new sustainable communities. This new ideology is reinforced through today's movies, television, books, and schools. As a result, most children face an irresistible array of pagan images that support the new paradigm. Many already consider paganism far more normal and acceptable than Christianity.
Our political, education, and media leaders want to introduce these influences early -- before children become "indoctrinated" with Biblical truths. (See "Clinton’s War on Hate Bans Christian Values"). They know that if parents follow God's command to "train up your child in the way he should go," their children might not start school with the "open-mindedness" needed to create social solidarity. Biblical values would stand in the way. Therefore "early childhood education" has moved to the forefront of the "lifelong learning" agenda.
America's PBS and its British partner, BBC, fit right into the international program for pre-school education. Their words as well as their programs show their desire to introduce small children to new images and "thinking skills so that [they] will be ready for more formal training."8 In the context of the new education outcomes, that means opening young minds to global beliefs and values. The Teletubby world is their best attempt to touch pre-schoolers with the seeds of the new ideology.
The envisioned global spirituality blends the world’s earth-centered religions into a more universal belief system. Both major and minor civilizations through history – Egyptian, Hittite, Babylonian, Greek, Roman, Mayan, Celtic, etc. -- worshipped sun gods that watched the earth and mingled with humans. These man-made gods shared human characteristics and responded to human activities with favor or anger, according to man’s compliance with their self-centered standards. In other words, men and women had created gods in their own image.9
Those old sun-gods have now been revised to fit today's demand for kinder, more permissive gods -- gods that appeal to pre- and grade-school children. Look at some of contemporary lessons:
Winter Solstice: On December 19, 1991, a public elementary school in Portland, Oregon, replaced the traditional Christmas party with a Solstice festival. Their printed program, titled "Celebrate the Return of the Light," pictured the Sun God and Moon Goddess. Ponder the events listed in the program:
* Each [student] will partake of the sun and moon cake before entering the auditorium where they will seat themselves according to their astrological signs. Chanting will begin on entering the auditorium.
* The Sun God and Moon Goddess will enter with attendants...
* Dancers and Drummers: [lists participants followed]
* Bar Code Children and Animal Spirits
* Dancing in a circle all together... [with] whooping and hugs all around!
Summer Olympics in Atlanta, 1996: Those who watched the opening ceremony saw five "Olympic spirits" wrapped in silvery cloth and masked as sun gods rising out of the earth. Representing the five regions and colors of the world, they writhed like serpents while chanting mystical, incomprehensible invocations to "summon the tribes" of the world. Moments later, five hundred tribes-people streamed into the arena. After a frenzied dance to the beat of a percussion arrangement by Mickey Hart, a "Grateful Dead" drummer, the color-coded groups formed the five interlocking rings of the Olympic symbol, welcoming the "the global family" to celebrate the renewal of the Olympic dream.
School Assignment: A fourth grader brought home a worksheet with this story titled "When The Sun Went Away." It told about a Japanese sun goddess and her brother, the god of night. The people loved the goddess who made the crops grow and the trees bloom. But they feared the god of night, who "brought evil spirits to harm the land." Naturally, he began to envy his sister.
"One day when the sun goddess was sitting in her temple, the god of night crept in with a big bag. When he opened the bag, a huge snake crawled out and coiled itself around the sun goddess' chair. She was so frightened that she ran into a cave and would not come out at all. Now the earth was always dark. ….
"So the people gathered at the cave. They beat drums, rang bells, and sang. The goddess heard the noise and became curious. Finally she crept to the mouth of the cave…. The earth became bright again, and the people danced for joy. When the god of night saw how happy the people were, he felt bad for having frightened his sister. And he promised never to do it again."
Celebrating the Sacred Feminine: The above story was also told at a conference on feminist spirituality at the Grace [Episcopal] Cathedral in San Francisco. But the ending had changed. Harmony between the sun goddess and the evil male god would have been inappropriate. The new story fit the feminist demand for self-esteem and self-deification. So this time the sun goddess won over her own fear by looking into a mirror and delighting in her own glorious image.
 
 "The Sun"
A Tarot card
used for
divination. 10
 The 4th chakra in a Theosophical adaption of Kundalina yoga. 11  Detail from an Alchemist image of the all-seeing sun watching over the Philosopher's Stone. 12  Part of an 18th century
symbolic Masonic
painting. 13
 Book ad in Mystic Trader, a catalog full of occult signs, symbols and suggestions. 14 Harry Potter creator, J.K. Rowling's mirror brings her own image into the sun frame.15
Look again at the picture on the far right. This mirror was pictured in a Time Magazine article about the Harry Potter books. In the photograph, Ms. Rowling sat next to a large gray gargoyle with her back to the mirror. It's possible that she didn't attach any spiritual significance to this representation of the sun -- one that would carry the image of whoever gazed at it. But whether she was consciously aware or not, her mirror fits today's feminist quest to "re-imagine God" in one's own image. No one illustrates this pursuit better than Patricia Lynn Reilly who told me she was "born again" as a Christian. Her book title says it all: A God that Looks Like Me -- Discovering a Woman's Self-Affirming Spirituality. Even toddlers can absorb the subtle message behind a transcendent god-like sun that sees, giggles and smiles -- just like them.
In today’s climate, any cultural myth is open game for expedient revisions. Since few children now learn the old foundational facts of history, most will never know what is true or false. They won't even know whether the myths they read represent the original culture or have been adapted for today's agenda. A child's primary mental filter will be his or her feelings. Those emotions are being molded and trained through stories and images they learn to love -- or hate. The Teletubbies, Pokemon, Harry Potter books, and countless other politically correct myths, games, and films support the global program for universal behavior modification. (See Mind Control)

3. What do those antennas on the four teletubby heads symbolize?

First, look at these official descriptions, for each teletubby's character fits his or her antenna:
"Po is the smallest Teletubby. She often jumps up and down to express her feelings of joy, enthusiasm, and surprise. The natural place for Po is to be on her scooter zipping around the hills. She makes the noise 'quickly, quickly, quickly' or 'slowly, slowly, slowly' when riding her scooter. Po spends a lot of time on her own. Next to riding her scooter, Po likes to keep an eye on the panel switches and controls on the central column inside the Teletubbies' house."
"Laa-Laa is the second smallest Teletubby. She is the happiest and most smiley of the Teletubbies. She too loves to sing and dance. Her favorite word is 'nice'. Laa-Laa loves the way her ball bounces and wobbles and grows bigger and smaller. Laa-Laa always likes to know where all of the Teletubbies are. She has her own special La-la-la-la-la song."
"Dipsy is the second biggest Teletubby. He is known for his distinctive steps and ways of saying 'hello'. He loves his hat very much. Dipsy sings a song with a reggae beat and when he is feeling 'especially cool' will go for a walk by himself, wearing his hat and singing the song."
"Tinky Winky is the biggest Teletubby. He is the gentlest of the Teletubbies. His favorite thing is his bag, which he likes to take out with him for walks. He usually sings his song 'Tinky Winky'. He loves to dance and fall over on his back. Tinky Winky loves all of the Teletubbies, and his best friend is Po, the smallest one."
In fact, Tinky Winky loves wearing a lacy white ballet skirt when he dances. Dipsy, the slightly smaller male, does not. When pressured to wear the same skirt, he tears it off and runs away.
Dipsy's hat has no top, otherwise it wouldn't fit over his antenna. But Dipsy really loves that hat. You can tell by the song he made up: Hat, hat haaat,Hat, hat haaat, Hat, hat haaat hat.(repeat)
The symbols in the show, like the letters in the alphabet, have meanings. They communicate a message. Familiar symbols may summarize and send messages more quickly and effectively than words. And since visual images tend to bypass the critical scrutiny that words provoke, they serve as tools for transformation in the hands of today’s change agents.
"There is growing excitement among educators about old myths and symbols, oral history, earth festivals, primitive rites of passage and customs, extraordinary abilities documented in cultures less linear than our own," wrote Marilyn Ferguson in her 1980 blueprint for change, The Aquarian Conspiracy. She had already explained how tomorrow’s children must learn a new perception of reality. In fact, their minds must be so steeped in this new paradigm that their intuitive response to the old ways would be instant rejection.
"The dictionary defines intuition as ‘quick perception of truth without conscious attention or reasoning," Ferguson explains. Training the intuition to fit the new paradigm is simple. Make symbols and their evolving and politically correct meanings more fun and familiar than the home taught words, values, and meanings. To speed the process, children would be surrounded by symbols that send the right message and affirm the new way of thinking.
Po's antenna is a CIRCLE: An ancient and universal symbol of unity, wholeness, infinity, and the goddess, it also represents the feminine spirit or force, a spiritualized Mother Earth, and a sacred space. To contemporary pagans and radical feminists, it is "one of the primary feminine signs, as opposed to the line or phallic shaft representing the masculine spirit."1
  Dipsy's antenna is a ROD: Earth-centered cultures around the world have worshipped a phallic rod or pillar as symbol of male power to bring the seed of new life to the earth. Hindu worshippers called it a "lingam," Egyptians called it an obelisk. According to 2 Kings 17:9-10, God’s people "set up for themselves sacred pillars and wooden images on every high hill…." In the old Celtic fertility rituals called Beltane or May Day (Walpurgisnacht to the Teutons) -- which is now being revived and adapted for modern times by contemporary pagans -- the May pole symbolized male power and fertility.
.Laa Laa's antenna is a SPIRAL (see also a circle) and ROD: Ancient symbol of the goddess, the womb, fertility, feminine serpent force, continual change, and the evolution of the universe. Notice how the spiral (female) and the rod (male) are combined in La-La’s antenna. (Because the spiral has become such a popluar symbol, we plan provide a link to a page full of interesting spirals.)
  Tinky-Winky's antenna is a TRIANGLE pointing down: The triangle in its multiple forms has been pictured in symbols and rituals around the world, from European alchemy to the sexual rites of Tantric Buddhism. Pointing up, it has represented the Trinity to Christians. Pointing down it has represented the female womb. More recently, many members of the homosexual community has claimed this symbol -- along with the color purple -- as their own. However, lesbians generally identify with a pink rather than purple triangle.
Of course, all these symbols -- the circle, rod, spiral, and triangle pointing down -- are simple shapes that occur in nature as well as in the minds and beliefs of people. Apart from a particular ideology, they have little cultural significance. But when shown in the context of the global education agenda, they are no longer neutral. Many of today's influential leaders have embraced these symbols as wordless representations that point to certain beliefs. They have given them meanings that match the new global spirituality and promote an anti-Christian global ethic. In our pluralistic society, this process of communicating visual messages through symbols, images, and impressions has been replacing the factual and logical communication using the alphabet. It makes school easier and more fun. Few realize the consequence of eroding the old foundations for truth, history, science and progress. (See symbols)

4. How do the teletubbies fit into the global agenda for lifelong learning?

UNESCO introduced the concept of "lifelong learning" back in 1973. This lifelong process of socialization would start soon after birth with community training sessions for parents. From cradle to grave, human resources would be trained and conformed to the new global society, then assessed for their worth to the global community and monitored for compliance with the new pluralistic beliefs and values. (See The UN Plan for Your Mental Health)
As you have seen, early childhood education is essential to this plan. Children must be raised in an environment that encourages them to absorb multicultural attitudes, including a broader view of sex and gender issues, before parents and pastors "close" their minds with Biblical views of right and wrong. Otherwise home-taught Christian values could encourage resistance to the consensus process and to the planned solidarity.
At the 1995 UN Conference on Women in Beijing, the liberal delegations from Canada, the U.S., and European Union sought approval of their concept of gender. Many saw five distinct kinds: male and female heterosexuals, male and female homosexuals, and trans- or bisexuals. Gone was God's view of gender: "He who made them at the beginning 'made them male and female.'" (Matthew 19:4)
 

At the Beijing Conference, traditional values were equated with hate and violence. "We strive to eliminate economic, political, domestic, cultural, environmental, religious and sexual violence against women,"16 announced the Anglican Women's Network.
This hostility toward traditional values seethed through the many discussions of sex, gender, and reproductive rights. It shut out the more pressing and global concerns: hunger, illness, drought and violence. Yet, Western delegates seemed focused on their feminist issues. Why?
"We intend to fight like mad for all we want," said Donna Shalala, the leader of the U.S. delegation and the Secretary of Health and Human Services. "There is extensive opposition to sexual orientation . . . we have had opposition on other issues. . . but we shall overcome them."17
Feminist leaders had planned their offensive long before they came to Beijing. At the "PrepCom" (Preparatory Committee meeting) they discussed the meaning of the word "gender." Mentioned 216 times in the pre-conference Platform for Action adopted at their meeting, it was defined as a "socially constructed" role, not a biological fact. "Gender," they said, "indicates that sex roles and behaviors are artificially constructed and freely chosen."18
Do you see how this reasoning fits feminist goals? Lesbians win sympathy for their cause by blaming those "socially constructed" gender roles on male oppression. This frees them to spread their message through public education (formal and informal, such as public television) and increase their number. The larger their number, the greater their political strength. No wonder they have been fighting hard to gain access to the world's children through sex education and "gender-sensitive" classroom lessons.
"We will not be forced back to the 'biology is destiny' concept," thundered Bella Abzug, the late "feminist warhorse" who, for decades, led the global sisterhood of feminist activist. It's not surprising that she also promoted goddess worship in place of the hated "patriarchal" church culture.19
Mandatory lifelong learning is the planned solution to this gender controversy. The Teletubbies provide a good start.

5. Why do they wear television screens on the tummies?

Part of the answer lies in this statement from the PBS teletubby website:
"If we can show children at an early age that television isn't something that should just wash over them, but something you should question, play with, challenge, have fun with - then we're preparing them for the interactive use of media that will be their world when they grow up."
BBC has big plans for interactive digitized television programs that will be integrated into home computers. A large number of global interactive education programs are preparing programs that will teach, assess, monitor, and remediate human resources around the world. 20 Everyone will be part of the new global tracking system.21 The positive spin on this new technology is presented by BBC in its report on The Changing World. For the real purpose of visually oriented interactive learning programs, read The UN Plan for Your Mental Health.
When each child is linked to his or her individual computer program, the dissemination of politically correct "information" and the gathering of personal data for individual personality profiles can be accelerated and controlled. Dustin Heuston of Utah's World Institute for Computer-Assisted Teaching (WICAT) shares his delight in the power of this interactive technology:
"We've been absolutely staggered by realizing that the computer has the capability to act as if it were ten of the top psychologists working with one student. You've seen the tip of the iceberg. Won't it be wonderful when the child in the smallest county in the most distant area or in the most confused urban setting can have the equivalent of the finest school in the world on that terminal and no one can get between that child and that computer?"22
"But what does all this have to do with a simple teletubby show?" you might ask. A lot, actually! And the goal is to accomplish the cultural shift with the consent of the people. That means cloaking the tactics for change in normal, pleasant activities that few would dare criticize. If this is hard to believe, read about "edutainment" and other aspects of the worldwide plans for synthetic learning environments. As Professor Raymond Houghton wrote in an NEA publication in the seventies:
"The critical point of behavior control, in effect, is sneaking up on mankind without his self-conscious realization that a crisis is at hand. Man will not even know that it is about to happen." 23
Not only do parents need to see how a global children's program fits into the big picture and long-term plan. They need to realize how our children's minds are being manipulated through "fun" images and strategic imaginary experiences, then resist the process with love, truth and logic. God’s Word provides some helpful guidelines:
Know the Truth: Colossians 3:16
Don’t be deceived: Colossians 2:8
Follow the Shepherd: Psalm 23
Don’t be conformed to the world: Romans 12:2
Be prepared to face persecution: John 15:20-21
Don’t heed ungodly counsel: Psalm 1:1-2
Trust God to be your guide: Psalm 25:4-5

"Now thanks be to God who always leads us in triumph in Christ...." (2 Corinthians 2:14)

Endnotes:
2.Our Creative Diversity, UNESCO, 1995, p.11.
5. The PBS Teletubbies page: http://www.pbs.org/teletubbies
6.John Goodlad, Preface to Schooling for a Global Age, edited by James Becker (New York: McGraw Hill, 1979). Goodlad was a member of the Board of Directors of Global Perspectives in Education, Inc., based in NY. According to Dr. Dennis Cuddy, Schooling for a Global Age is part of a series of books published under the auspices of the Institute for Development of Educational Activities (IDEA) and supported by the National Institute of Education, the U.S. Office of Education, the Rockefeller Foundation. For more information about the education partnership between UNESCO and the U.S., read Brave New Schools.
7. Benjamin Bloom, All Our Children Learning (New York: McGraw- Hill, 1981); 180.
9. See Psalm 50:21.
10. James Wasserman, Art and Symbols of the Occult (Rochester, Vermont: Destiny Books, 1993), page 112.
11. Ibid., page 44.
12. David Fontana, The Secret Language of Symbols (San Francisco: Chronicle Books, 1993), page 148.
13. Ancient Wisdom and Secret Sects (Alexandria, VA: Time-Life Books, 1989), page 88.
14. Mystic Trader Catalog.
15. Paul Gray, "Wild About Harry," Time (September 20, 1999); page 72.
16. Diane Knippers, "Power!" (November/December 1995); 10.
17. Donna Shalala's answer to a question posed by a reporter from the San Francisco Chronicle, September 11, 1995. She was referring to item #48 in the Platform for Action. Cited by Family Concerns Representative Nancy Shaefer in her conference report, page 12. For a more complete report on the UN Conference in Beijing, read chapter 9 in A Twist of Faith.
18. Frederica Mathewes-Green, "The Gender Agenda," 1995 Religion News Service, August 22, 1995.
19. Ibid.
20.Websites that promote interactive classroom technology: http://www.worldbank.org/worldlinks/english/html/m-e.html* http://www.usq.edu.au/users/campbede/globaled.html * http://www.iste.org/ * http://www.sri.com/policy/ctl/html/world.htm(See also an unfinished report on human resource development)
22. Dustin H. Heuston, "Discussion--Developing the Potential of an Amazing Tool," Schooling and Technology, Vol. 3, Planning for the Future: A Collaborative Model (Southeastern Regional Council for Educational Improvement), p. 8.
23. Raymond Houghton, To Nurture Humaneness: Commitment for the ‘70’s (The Association for Supervision and Curriculum Development of the NEA, 1970).