Kamis, 13 Februari 2014

Sejarah 31


imageSebuah film dokumenter berjudul "The Forsaken Promise" produksi Hatikvah Film Trust, sebuah organisasi Kristen yang berbasis di Inggris, mulai melakukan pemutaran perdana film tersebut di bekas kamp tahanan milik Inggris di Atlit. Sebuah tempat di kawasan laut Mediterania, sebelah selatan kota pantai Haifa yang masuk dalam wilayah Israel.

Inggris memanfaatkan Atlit untuk memenjarakan para imigran Yahudi 'ilegal' yang pindah dari kawasan Eropa era tahun 1930-an dan 1940an. Pada saat itu, banyak warga Yahudi yang berharap akan menemukan tempat berlindung yang aman di wilayah Palestina yang kemudian menjadi mandat pemerintah Inggris itu. Tetapi ternyata para pengungsi Yahudi itu mendapat perlawanan kuat, mereka yang ditangkap kemudian dibawa ke kamp-kamp tahanan Inggris, terutama ke Cyprus.

"The Forsaken Promise" sendiri mengisahkan tentang pemerintah Inggris yang pada tahun 1917 berjanji akan membantu warga Yahudi untuk membentuk tanah airnya sendiri. Tapi janji itu diingkari oleh Inggris selama bertahun-tahun sampai akhirnya terbentuk negara Israel pada 1948, setelah perang Arab-Israel dengan menduduki sebagian besar wilayah Palestina.

Menurut produser dan sutradara film tersebut Hugh Kitson, seorang warga Inggris beragama Kristen, tindakan pemerintah Inggris yang ingkar janji itu memberi kontribusi besar bagi tewasnya ratusan ribu warga Yahudi yang dikenal dengan tragedi Holocaust. Ia mengatakan, tujuan dari pembuatan film dokumenter ini, untuk mendorong adanya 'penyesalan' dari Inggris Raya terhadap fakta sejarah yang hanya diketahui oleh sedikit orang.

Film dokumenter yang terdiri dari tiga episode ini memadukan arsip-arsip film tentang kamp-kamp konsentrasi pada masa perang dunia II dan wawancara-wawancara dengan sejumlah saksi mata dan sejarawan Yahudi dan Kristen.

Dalam film itu dijelaskan, bagaimana Liga Dunia-cikal bakal PBB- setelah Perang Dunia I memberikan mandat pada Inggris Raya untuk berkuasa di wilayah yang kini dikenal dengan wilayah Palestina, Yordania, Israel, Tepi Barat dan Jalur Gaza. Sebelumnya, selama ratusan tahun, wilayah-wilayah itu merupakan wilayah kekuasaan dinasti Utsmani Turki.

Dalam surat tertanggal 2 November 1917, Menlu Inggris Arthur James Balfour menulis surat pada pemimpin komunitas Yahudi di Inggris, Lord Rothschild. Pada Rothschild, Balfour mengatakan keinginan pemerintah Inggris untuk membangun tanah air bagi warga Yahudi di Palestina dan akan menggunakan segala daya upayanya untuk memfasilitasi sampai tercapainya tujuan ini. Pendek kata, dalam surat itu Inggris berjanji akan membantu warga Yahudi untuk membentuk negaranya sendiri.

Surat yang kemudian dikenal sebagai Deklarasi Balfour ini menimbulkan kemarahan warga Arab Palestina dan negara-negara Arab sekitarnya. Mereka berupaya keras agar janji pemerintah Inggris itu tidak terwujud.

Era tahun 1920-an, 30-an dan 40-an merupakan periode kekisruhan di Arab dan pembunuhan atas warga Yahudi meluas di seluruh Palestina namun dibiarkan oleh otoritas pemerintahan Inggris. Salah seorang tokoh yang dianggap penghasut munculnya peristiwa yang dikenal sebagai kerusuhan Paskah pada era 1920-an adalah Amin Al-Husseini. Tokoh ini diduga dekat dengan Adolph Hitler dan masih kerabat dari mantan pemimpin PLO Yasir Arafat. Oleh otoritas pemerintah Inggris saat itu, Al-Husseini ditunjuk sebagai Mufti di Yerusalem.

Titik perubahan terjadi setelah Inggris di bawah pemerintahan Neville Chamberlain, mengeluarkan kebijakan yang dikenal sebagai White Paper pada 1939. Kebijakan ini mementahkan janji Inggris yang akan membagi wilayah Palestina untuk tanah air warga Yahudi dan membatasi jumlah warga Yahudi yang diizinkan untuk berimigrasi ke wilayah yang menjadi mandat pemerintahan Inggris itu.

Bukan untuk Serang Islam


Sejumlah cendikiawan Yahudi dan mantan pilot angkatan udara Inggris yang diwawancarai dalam film itu pada Cybernews mengungkapkan, pesan yang ingin disampaikan oleh film ini sangat kuat dan relevan dengan situasi yang terjadi saat ini terkait dengan konflik Palestina-Israel.

Sutradara Hugh Kitson bahkan mengatakan, "Saya yakin bangsa-bangsa lain dan khususnya Uni Eropa serta AS bisa belajar dari apa yang telah diperbuat Inggris."

Sementara itu, pengajar Injil, David Noakes yang ikut terlibat dalam pembuatan film ini berharap film dokumenter ini bisa diputar di televisi-televisi Inggris meski ia mengakui akan muncul penentangan.

"Film ini sama sekali tidak anti Islam. Kami berusaha untuk tidak menyinggung Islam. Yang kami usahakan adalah ingin menyinggung pemerintah Inggris, meski saya pikir televisi-televisi di Inggris mungkin akan sulit untuk menayangkan film ini," kata Noakes.

Di luar itu semua, fakta-fakta yang di film The Forsaken Promise ini kemungkinan akan membangkitkan kembali isu siapa sebenarnya yang paling bertanggung jawab atas penderitaan bangsa Yahudi di masa lalu. Kita tentu masih ingat kritik pedas Presiden Iran beberapa waktu lalu yang mengatakan, bahwa Eropalah yang harus bertanggung jawab memberikan sebagian wilayahnya pada bangsa Yahudi, bukan malah membebankannya pada bangsa Palestina. (ln/CNsNews)




Sejarah 30

Baca : Wawancara Ridwan Saidi : Melacak Zionis di Indonesia
imageSalah satu cara orang Indonesia memuji kehebatan sesuatu adalah dengan kata, “Wow, emang yahud!”. Kata ini diambil dari frase bahasa Arab yahud atau yahudu yang berarti Yahudi. Kenapa yahud? Konon itu lambang yang diambil dari kecerdasan yang melekat pada orang Yahudi. Apa benar?

Berbicara tentang Yahudi berarti berbicara tentang asa-usul, sejarah, taktik, dan permainan hitam sebuah etnis kutukan Tuhan. Kenapa?

Para sejarawan berpendapat bahwa etnis Yahudi pada dasarnya adalah etnis campuran antara berbagai unsur (mixed race) yang dipersatukan oleh satu nasib dan watak. Karena itu dalam Yahudi terdapat kelas-kelas seperti: Yahudi Bani Israil (lahir dari ayah-ibu Yahudi), Yahudi Aria (campuran Yahudi dengan Eropa dan Iran), Yahudi Arab (campuran Yahudi dengan Mesir, Irak, Syiria, dan sebagainya), Yahudi Mestiz (campuran Yahudi dengan Kazak (Yahudi Rusia), Turki, Cina, India, dan sebagainya), Yahudi Falasha (campuran Yahudi dengan Mulat), dan Yahudi Mulat (campuran langsung Yahudi dan Negro).

SEJARAH HITAM ETNIS KUTUKAN


Mereka hidup mengembara seperti kaum gypsy karena nggak punya negara. Mereka ini tersebar di Amerika, Eropa, Afrika Utara, Asia Barat, Asia Tengah, Asia Tenggara, sampai India.

Etnis Yahudi berkeyakinan bahwa mereka adalah umat pilihan Tuhan dan dipilih untuk memimpin dunia. Menurut ajaran Talmud, kitab suci orang Yahudi, etnis non-Yahudi (gayim) adalah para pendosa, karenanya Tuhan mengizinkan orang Yahudi untuk mengambil, merampas, menindas, menzalimi, membunuh, dan atau menjajah ( 6M ) etnis non-Yahudi demi mengembalikan keistimewaan mereka yang dirampas. Oleh sebab itu, ke mana pun orang Yahudi pergi, mereka merasa berhak menjalankan aksi 6 M itu kepada siapa saja.

Pada jaman para nabi, kelakuan jahat orang Yahudi dimulai dengan rencana membunuh dan membuang Nabi Yusuf (QS 12:9-19), membohongi Nabi Musa (QS 3:55), membunuh Nabi Zakaria, mengaku membunuh Nabi Isa (QS 4:157), berusaha membunuh Nabi Harun (QS 7:150), dan berkali-kali berusaha membunuh Nabi saw. Pada jaman khalifah Abu Bakar orang Yahudi memprovokasi kaum Muslimin untuk murtad, bersekongkol membunuh Umar bin Khattab, memfitnah Usman bin Affan, dan mengadu domba pengikut Ali bin Abi Thalib dengan pengikut Muawiyah. Puncak kekejian mereka terjadi ketika mereka menghina Tuhan (QS 3:181). Maka kemudian Allah mengutuk orang Yahudi menjadi kera yang hina (QS 2:65).

YAHUDI DI TANAH AIR


Untuk menundukkan etnis non-Yahudi di seluruh dunia, Yahudi membentuk gerakan Freemasonry, sebuah gerakan rahasia yang telah menyusup ke seluruh dunia, termasuk ke negeri kita.

Ketika Belanda datang ke Indonesia, orang-orang Yahudi yang bergerak dalam Kelompok Cahaya (salah satu agen Freemasonry) ikut mendompleng. Di bawah pimpinan Sneevliet, pada tahun 1914 mereka melebarkan jaringan di Semarang dan Surabaya. Sneevliet berhasil memikat beberapa orang pengurus Serikat Islam cabang Semarang, di antaranya Semaun dan Darsono. Sneevliet sering diundang oleh Semaun untuk memberikan ceramah tentang sosialisme dan marxisme di gedung Serikat Islam.

Pada Mei 1914 di Surabaya Sneevliet bersama HW. Dekker, JA Brandstender, dan P. Bergsma mendirikan Indische Sociaal Democratische Vereniging (ISDV). Semaun dan Darsono menjadi anggota ISDV pada tahun 1917 merangkap sebagai pimpinan SI Semarang. Mereka kerap melakukan kontak dengan Kelompok Cahaya Nederland. Akibatnya, Serikat Islam terpecah menjadi dua: SI Putih di bawah komando HOS Cokroaminoto yang tetap berpegang pada prinsip Islam dan SI Merah pimpinan Semaun yang berhalauan Sosialis Marxis.

Setelah diadakan Kongres Komunis Internasional ke-3 di Rusia, SI Merah berubah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).

Selain Kelompok Cahaya, agen Freemasonry lainnya adalah Masonik yang menyebarkan paham Plotisma. Paham ini menganggap semua agama benar dan kalau perlu disatukan. Dalam Islam, Masonik berhasil membentuk paham ingkar sunah (mengingkari hadis Nabi saw), aliran Quraniyah (berislam berdasarkan Quran saja), gerakan kemahdian (pemimpin suatu kelompok yang mengaku Imam Mahdi), paham sekularisme (memisahkan kehidupan agama dan dunia), gerakan Islam campuran (mencampuradukkan Islam dengan budaya non-Islam seperti perayaan Valentine Day), dan paham Islam kebangsaan.


ORBEK YAHUDI DUNIA


Nah sobat, kayaknya kata “Emang Yahud” dipakai akibat orang-orang kita pada ngefans orbek Yahudi dunia seperti ilmuwan Albert Einstein, sutradara Steven Spielberg, aktor dan aktris kayak Mill Broxy, Woody Allen, Bop Hope, Jerry Lewis, Neil Simon, Kare Ryener, Mickey Rony, Jack Limond, Elizabeth Taylor, Anne Prancoft, Barbara Straysand, Shelly Duval, Dyan Keton, Jill Clay Borg, Kary Fisher, Alien Prestin, Marie Killer, Suzane Anspac, Mercia Mason, Debi Reynolds, Dian Canon, Joan Woodward, Paula Brintes, Sally Calirman, Kirk Douglas, Tonny Curtis, Gary Grant, Jack Nicholas, B. Azar, Walter Mathion, George Cygal, Burt Reynolds, Jean Hackman, James Kan, Wedy S, George Rod Scott, Michael London, Ryan O’Neil, Astin Hoffman, Natalie Portman, en masih banyak lagi.

Mereka ini berkiprah di dunia dan menjadi terkenal berkat lobi kuat Yahudi di perusahaan-perusahaan film Hollywood seperti Fox Company milik William Fox, Golden Company milik Samuel Golden, Metro Company milik Lewis Mayer, Warner Bross Company milik Harny Warner, dan Paramount Company milik Hod Dixon. Nggak heran, di Amerika 90% dari seluruh pekerja filmnya adalah orang Yahudi yang menduduki jabatan produser, editor, artis, dan kru lainnya.

Sementara itu lobi Yahudi di jaringan televisi internasional meliputi NBC,ABC, dan CBS. Kantor berita, penerbitan koran, majalah, dan buku yang dikuasai Yahudi adalah Associated Press (AP), The United Press International (UPI), The Times, The Sunday Time, Chicago Sun Times, City Magazine, The Daily Express, The News Chronicle, The Daily Herald, The Manchester Guardian, The Observer, Evening News, Sunday Express, New York Times, The Washington Post, The Daily News, The New York Post, New York Magazine, Vanity Fair, Time, Newsweek, Sun, Sun Time, Business Week, Random House, dan lain-lain.

Sobat, Yahudi sudah mencengkeram dunia, semua kekuatan sudah bertekuk lutut di hadapannya. Cuma satu kekuatan yang ditakuti Yahudi saat ini: Islam. Nah, apa kita masih mau ngomong “Emang Yahud!”? (Iyus)

sumber : br_oyom@ikhlas.com




Sejarah 29

imageHari ini, 82 tahun yang lalu, umat Islam kehilangan garis kekalifahan. Pada tanggal itu, Khilafah Islamiyah secara resmi dihapuskan oleh pemerintahan sekuler Turki.

Para ahli sejarah sepakat, zaman Khalifah Sulaiman Al-Qanuni (1520-1566) merupakan zaman kejayaan dan kebesaran Khilafah Usmaniyah. Pada masa ini, Khilafah Usmaniyah telah jauh meninggalkan negara-negara Eropa di bidang militer, sains, dan politik.

Namun sayang, setelah Sulaiman al-Qanuni meninggal dunia, khilafah mulai mengalami kemerosotan terus-menerus. Banyak analisa menyebut, ada dua faktor utama yang menyebabkan kemunduran Khilafah Usmaniyah. Pertama, buruknya pemahaman Islam. Kedua, kesalahan dalam menerapkan Islam.

Pada masa ini, terjadi banyak penyimpangan dalam pengangkatan khalifah, yang justru tak tersentuh oleh undang-undang. Akibatnya, setelah berakhirnya kekuasaan Sulaiman al-Qanuni, yang diangkat menjadi khalifah justru orang-orang yang tidak mempunyai kelayakan.

Kelemahan Khilafah Usmaniyah pada abad ke-17 M itu dimanfaatkan oleh Austria dan Venesia untuk memukul khilafah. Melalui Perjanjian Carlowitz (1699 ), wilayah Hungaria, Slovenia, Kroasia, Hemenietz, Padolia, Ukraina, Morea, dan sebagian Dalmatia lepas; masing-masing ke tangan Venesia dan Habsburg.

Bahkan, Khilafah Usmaniyah terpaksa harus kehilangan wilayahnya di Eropa, setelah kekalahannya dari Rusia dalam Perang Crimea pada abad ke-18 Masehi. Nasib Khilafah Usmaniyah semakin tragis setelah dilakukannya Perjanjian San Stefano (1878) dan Berlin (1887).

Di sisi lain, karena lemahnya pemahaman terhadap Islam, para penguasa ketika itu mulai membuka diri terhadap demokrasi, yang didukung oleh fatwa-fatwa syekh Islam yang penuh kontroversi. Bahkan, dengan dibentuknya Dewan Tanzimat tahun 1839, cengkeraman Barat di dunia Islam semakin kokoh.

Keadaan ini diperparah dengan dirumuskannya Konstitusi 1876 oleh Gerakan Turki Muda, yang berusaha untuk membatasi fungsi dan kewenangan khalifah. Boleh dikata, saat itu sedikit demi sedikit telah terjadi sekularisasi terhadap Khilafah Islam.

Perjanjian dengan Bizantium (1521), Prancis (1535), dan dengan Inggris (1580) membuat warga non-Muslim mendapat hak-hak istimewa. Dengan hak-hak istimewa ini, populasi orang-orang Kristen dan Yahudi di dalam negeri meningkat.

Kondisi ini ini kemudian dimanfaatkan oleh kaum misionaris untuk melakukan gerakannya secara intensif di dunia Islam sejak abad ke-16. Di tengah kemunduran intelektual yang dihadapi oleh dunia Islam, mereka mendirikan berbagai pusat kajian, sebagai kedok gerakan mereka.

Gerakan ini dimanfaatkan oleh Inggris, melalui agennya, Ibn Saud, untuk menyulut pemberontakan di beberapa wilayah khilafah. Di Eropa, wilayah-wilayah yang telah dikuasai oleh khilafah terus diprovokasi agar melakukan pemberontakan sejak abad ke-19 hingga abad ke-20. Khilafah Usmaniyah pada akhirnya kehilangan banyak wilayahnya, hingga yang tersisa kemudian hanya Turki.

Konspirasi untuk meruntuhkan


Tahun 1855 negara-negara Eropa, khususnya Inggris, memaksa Khilafah Usmaniyah untuk melakukan amandemen UUD. Maka, keluarlah Hemayun Script pada tanggal 11 Pebruari 1855. Tahun 1908, Turki Muda yang berpusat di Salonika -- pusat komunitas Yahudi Dunamah -- melakukan pemberontakan.

Tanggal 18 Juni 1913, pemuda-pemuda Arab mengadakan kongres di Paris dan mengumumkan Nasionalisme Arab. Inggris dan Prancis di belakang mereka.

Perang Dunia I tahun 1914 dimanfaatkan oleh Inggris untuk menyerang Istanbul, dan menduduki Gallipoli. Dari sinilah, kampanye Dardanelles yang terkenal itu mulai dilancarkan. Pendudukan Inggris di kawasan ini juga dimanfaatkan untuk mendongkrak popularitas Mustafa Kamal Pasha, yang sengaja dimunculkan sebagai pahlawan dalam Perang Ana Forta, tahun 1915.

Sejarah kemudian mencatat, Kamal Pasha -- pemuda asal Salonika -- akhirnya menjalankan agenda Inggris: melakukan revolusi untuk menghancurkan khilafah Islam. Itu diawali dengan perjanjian yang melahirkan "Persyaratan Curzon" pada 21 November 1923. Isinya, Turki harus menghapuskan khilafah Islamiyah, mengusir khalifah, dan menyita semua harta kekayaannya.

Persyaratan tersebut diterima oleh Mustafa Kamal dan perjanjian ditandatangani pada 24 Juli 1923. Delapan bulan setelah itu, tepatnya 3 Maret 1924, Kamal Pasha mengumumkan pemecatan khalifah, pembubaran sistem khilafah, mengusir khalifah ke luar negeri, dan menjauhkan Islam dari negara. Inilah titik klimaks revolusi yang dilakukan oleh Kamal Attaturk dan menandai berakhirnya kekhalifahan Islam sejak zaman nabi SAW.

Mustafa Kemal
Jauhkan Ruh Islam dari Turki


imagePria yang menjadi presiden pertama Turki ini lahir dengan nama Mustafa pada 12 Maret 1881 di Tesalonika (kini menjadi bagian Yunani). Ayahnya Ali Riza, seorang mantan pegawai rendahan di kantor pemerintah, meninggal akibat TBC. Ibunya Zubeyde Hanim, adalah Muslimah taat yang buta huruf.

Zubeyde memfokuskan hidupnya untuk mengurus Mustafa. Karena taat Islam, ia berharap Mustafa menjadi ulama faqih.

Namun jauh panggang dari api. Mustafa memilih berkarier di militer sebelum akhirnya berhasil menggulingkan pemerintahan dan menjadi doktator baru di Turki.

Tidak lama setelah berkuasa, ia menyatakan bahwa akan menghancurkan Islam dalam kehidupan Turki. Menurutnya hanya dengan mengeliminasi segala hal berbau Islam, Turki bisa 'maju' menjadi bangsa modern yang dihormati.

Pada 3 Maret 1924, ia mengajukan UU yang menghapuskan khalifah selamanya dan mendirikan negara Turki sekuler. Dengan membungkam dan mengancam para penetangnya, ia berhasil menggolkan UU tersebut, dan khalifah sekeluarga diasingkan ke Swiss.

Setelah menjadi diktator absolut, rakyat Turki terpaksa menerima reformasi anti-Islam. Mereka dilarang berkopiah Turki dan berjilbab, wajib berbusana Eropa, memakai aksara Latin, kalender Masehi, dan hari Minggu sebagai hari libur. Ribuan ulama dan pengikutnya rela berkorban jiwa daripada menerima kehancuran segala hal yang disucikan.

Mustafa Kemal menetapkan agar tiap warga Turki mencantumkan nama keluarganya seperti masyarakat Eropa dan Amerika. Ia juga memilih menggunakan nama "Attaturk" atau Bapak Bangsa Turki.

Pada 1938, kesehatannya memburuk. Pada 10 November 1938, Mustafa Kemal akhirnya meninggal karena penyakit radang hati yang disebabkan oleh alkohol yang selalu menemani hidupnya. (RioL)

( uli/dam/wikipedia/berbagai sumber )




Sejarah 28


Ada upaya sistematis Zionis Yahudi untuk menghancurkan Masjid Al-Aqsha dalam rangka membangun kembali Temple of Solomon yang mereka yakini terletak di bawah masjid tersebut. Mampukah umat Islam seluruh dunia menggagalkan rencana Zionis Yahudi itu?

image

Masjid AI-Aqsha dan Kubah Al-Shakhrah


"Subhanalladz? asra bi'abdihf lailan minal masjidil-haram Hal masjdil-aqsha, alladz? Barakna hawlahu linuriyahu min ayatina."

Demikian firman Allah SWT dalam Al Quran surat Al-lsra ayat 1. Artinya: "Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dan Masjid Al-Haram ke Masjid Al-Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya untuk Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda kekuasaan Kami."

Firman Allah tersebut selalu atau sering menjadi referensi dalam acara peringatan Isra-Mi'raj Nabi Muhammad SAW (27 Rajab) yang setiap tahun diselenggarakan umat Islam. Setiap Muslim tentu mengetahui di mana letak kedua masjid tersebut. Masjid Al-Aqsha yang terletak di Baitulmaqdis (Jerusalem), Palestina, pernah menjadi kiblat pertama umat Islam sebelum Allah memindahkan kiblat shaiat ke arah Masjid AI-Haram di Makkah. Perintah pengalihan arah itu turun pada saat Nabi Muhammad SAW sedang melaksanakan shaiat Ashar di salah satu masjid di Madinah yang kemudian diberi nama Masjid Qiblatain (Masjid Dua Kiblat) (QS. Al Baqarah :144).

Kata al-aqsha mengandung dua arti. Secara harfiah ia berarti "jauh", maksudnya jauh dari Masjid AI-Haram. Arti makna-wiyahnya menurut sebagian ulama "bebas dari segala jenis kotoran, karena masjid ini tempat turun malaikat dan wahyu serta kiblat para Nabi sebeluim Nabi Muhammad SAW".

Menurut riwayat, Masjid Al-Aqsha di-bangun oleh Nabi Adam AS setelah beliau membangun Masjid Al-Haram. Dengan demikian Masjid Al-Aqsha adalah masjid kedua yang dibangun di muka bumi. Masjid itu rusak dan runtuh dimakan waktu, kemudian dibangun kembali oleh Nabi Ya'qub AS, 40 tahun setelah Ka'bah dibangun kembali oleh kakeknya, Nabi Ibrahim AS. Nabi Daud AS membangun ulang masjid itu dan disempurnakan oleh putranya, Nabi Sulaiman AS.

Bagi umat Islam, Masjid Al-Aqsha merupakan masjid ketiga termulia setelah Masjid Al-Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah. Nabi Muhammad SAW bersabda, 'Janganlah kamu merasa berat melakukan perjalanan ke tiga masjid : Masjid Al-Haram, Masjidku, dan Masjid Al-Aqsha. Shalat di Masjid Al-Haram lebih utama dari seratus ribu kali di tempat lain, kecuali di Masjid Al-Aqsha." (HR. Ad-Darimi, An-Nasai, dan Ahmad)

Berulangkali para Khalifah dinasti Islam melakukan perbaikan dan pembaruan masjid tersebut. Bahkan pada tahun 691 (72 H), Khalifah Abdul Malik bin Marwan dari dinasti Umayyah, selain merehab dan merenovasi Masjid Al-Aqsha, dengan kubah berwarna hijau dan plaza yang luas, juga mendirikan sebuah bangunan berbentuk kubah untuk melindungi batu tempat pijakan Rasulullah SAW saat beliau akan dimi'rajkan. Bangunan itu terletak tak jauh (sekitar 100 meter) di sebelah utara Masjid AI-Aqsha, kemudian disebut Masjid Qubbah Al-Shakhrah (Qubbatush-Sha-khrah, artinya Kubah Batu, Inggris: Dome of the Rock). Kubahnya berwarna kuning keemasan.

image

Zionis Yahudi berusaha meruntuhkan Masjid Al-Aqsha


Sejak Perang Arab-Israel pada 1967, Jerusalem jatuh ke tangan Israel. Termasuk kompleks Masjid AI-Aqsha yang lazim disebut Haram al-Syarif, atau Haram al-Quds (Tanah Haram yang Suci) kini berada dalam cengkeraman Israel. Kompleks itu berbentuk persegi panjang dengan luas 285 x 470 meter, sekelilingnya dipagari tembok.

Dr. Marwan Saeed Saleh, guru besar matematika di Universitas Zayed, Dubai, menulis di Harian AI-Dastour, tentang anggapan kaum Yahudi bahwa Haram al-Quds tersebut merupakan tempat suci yang dianugerahkan Tuhan kepada Ibrahim dan keturunannya. Terlebih lagi kaum Yahudi meyakini bahwa di bawah Masjid AI-Aqsha terletak bangunan tempat ibadah Nabi Sulaiman AS yang disebut Haekal Sulaiman (Temple of Solomon). Haekal tersebut telah dihan-curkan oleh Kaisar Titus dari Romawi.

Sejak 1967 kaum Zionis Yahudi bertekad akan membangun kembali Temple of Solomon itu, apa pun dampaknya terhadap bangunan Masjid Al-Aqsha, bahkan kalau perlu masjid itu akan dirubuhkan sama sekali. Sementara ini kaum Yahudi telah membangun Tembok Ratapan (Wailing Wall), persis di dinding barat Masjid Al-Aqsha. Mereka juga melakukan penggalian-penggalian di bawah Masjid Al-Aqsha dan Masdjid Qubbah Al-Shakhrah.

Sekelompok ekstrim Yahudi pernah merencanakan akan meledakkan tempat-tempat suci umat Islam itu pada 1985, namun terbongkar dan dapat digagalkan.

Di samping itu, menurut Marwan Saeed Saleh, kaum Zionis Yahudi secara sistematis melakukan kampanye penyesatan terhadap umat Islam. Mereka sengaja lebih menonjolkan pemberitaan dan foto-foto Masjid Qubbah Al-Shakhrah untuk mengalihkan perhatian umat Islam dari Masjid Al-Aqsha, Harapan mereka, suatu saat nanti umat Islam akan menganggap Masjid Qubbah Al-Shakhrah itulah Masjid Al-Aqsha, sehingga kaum Zionis Yahudi merasa akan lebih leluasa untuk melenyapkan Masjid Al-Aqsha dari muka bumi.

Mungkin tanpa sengaja, atau karena faktor kesulitan mendapatkan foto Masjid Al-Aqsha, ilustrasi yang ditampilkan di dalam Ensiklopedi Islam, terbitan PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, pada saat mem-bicarakan Masjidilaksa (jilid 3, halaman 190), juga adalah foto Masjid Qubbah Al-Shakhrah, bukan foto Masjid AI-Aqsha. Mudah-mudahan ini bukan bukti ke-berhasilan kampanye Zionis Yahudi.

Galang partisipasi umat


Tak ada jalan lain bagi umai Islam di seluruh dunia kecuali menggalang persatuan untuk menggagalkan rencana dan upaya kaum Zionis Yahudi yang ingin meruntuhkan Masjid Al-Aqsha. Umat Islam dan pemerintah negara-negara berpen-duduk mayoritas Muslim hendaklah meningkatkan terus solidaritas bersama membantu perjuangan bangsa Palestina untuk membebaskan seluruh wilayahnya dari pendudukan Israel, termasuk Jerusalem dan terutama kompleks Haram al-Quds , lokasi Masjid AI-Aqsha dan Masjid Qubbah Al-Shakhrah.

Batu Pijakan Nabi Muhammad SAW Saat Mi'raj


Di tengah-tengah Masjid Qubbah Al-Shakhrah (Dome of the Rock), terdapat sebuah batu gunung (Arab : shakhrah) berukuran kurang lebih 13,8 x 17 meter, yang seolah-olah tergantung di udara. Di bawahnya terdapat gua berbentuk kubus berukuran 4,5 x 4,5 x 1,5 meter. Di bagian atas terdapat lubang besar bergaris tengah 1 meter. Di dalam ruangan itu terdapat sebuah mimbar dan orang dapat masuk ke dalamnya melalui sebuah pintu dengan menuruni sebuah tangga.

Menurut sebagian ulama, kesucian shakhrah itu sama dengan kesucian Hajar Aswad (batu hitam) di Ka'bah yang selalu dicium oleh jamaah haji/umrah saat tawaf; kedua batu itu sama-sama berasal dari surga. Itu sebabnya, batu pijakan Nabi Muhammad SAW saat akan mi'raj itu disebut Shakhrah al-Muqaddasah (batu yang disucikan).

Meskipun bangunan itu disebut masjid, peziarah tidak dianjurkan melaksanakan shalat di dalamnya karena bangunan itu didirikan semata-mata untuk mengabadikan peristiwa Isra-Mi'raj Nabi Muhammad SAW, bukan untuk tempat shalat. Ketika penulis berkunjung ke sana (1996), beberapa peziarah terlihat langsung sujud tapi tidak shaiat di masjid itu. Tak salah bila bangunan itu disebut masjid, sebab secara harfiah masjid berarti "tempat sujud".

A.Nawawi Rambe/Majalah Amanah


Sejarah 27

imageDari Kasim Menjadi Laksamana
Proses Islamisasi di Asia Tenggara tidak steril dari campur tangan Laksamana Cheng Ho. Fakta mencatat, usai persinggahannya, banyak suku Tionghoa Muslim yang mendiami pesisir utara Jawa.

Arahkan perhatian sejenak ke kota Semarang. Pekan ini, dari tanggal 1-7 Agustus, sebuah gelaran akbar tengah berlangsung di sana, Festival Cheng Ho. Festival ini khusus dicanangkan untuk memperingati 600 tahun kedatangan laksamana ternama ini.

Sejak sebulan lalu, persiapan sudah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Maklum, untuk tahun ini, festival tersebut dirancang berskala internasional. Para tamu dan peserta yang bakal hadir pun tak hanya berasal dari dalam negeri, namun juga dari luar negeri.

Kamar-kamar hotel sejak jauh-jauh hari sudah habis terpesan. Dan kemeriahan bukan cuma nampak di kawasan Klenteng Sam Poo Kong, Gedung Batu, dan arena PRPP Semarang yang menjadi pusat kegiatan. Segenap penduduk kota Semarang juga antusias menyambutnya.

Kegairahan serta semangat untuk merayakan HUT 600 tahun pelayaran Laksamana Cheng Ho amatlah membanggakan. Apalagi bila ditilik lebih dalam tentang adanya pesan penting yang hendak disampaikan yaitu mengembangkan kerukunan antar masyarakat.

Seperti terungkap dalam Seminar Nasional "Sumbangan Cheng Ho Dalam Perkembangan Kehidupan Antar Etnis di Nusantara" pada Selasa (2/8) lalu di Wisma Perdamaian Semarang, ekspedisi Cheng Ho selama 32 tahun (1405-1433) telah membawa arti penting bagi upaya membina toleransi antar sesama. Cheng Ho meramunya melewati batas perbedaan etnis, budaya, dan agama.

Dalam paparannya, Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Semarang, Prof Dr AM Juliati Suroyo, mengatakan, sebagai pelaksana misi kaisar, Cheng Ho kemudian menjalin hubungan di berbagai bidang dengan penguasa di setiap wilayah yang disinggahinya, baik dari segi politik, ekonomi maupun sosio-kultural.

Namun di pihak lain, lanjut dia, Cheng Ho adalah juga seorang pemeluk Islam yang taat. Dan karenanya, pada setiap tempat yang didatangi, dia senantiasa menekankan pentingnya toleransi dan kerukunan.

Yang perlu pula dicermati, lanjut dia, kedatangan Cheng Ho ke Jawa, bersamaan dengan awal proses Islamisasi. Ketika itu banyak pedagang asal Cina bermukim di kawasan pantai utara, dan sebagian mereka beragama Islam. "Kedatangan Cheng Ho sekaligus memberikan dukungan bagi para imigran Tionghoa ini agar menjalin hubungan akrab dengan penduduk setempat," tegasnya.

Menurutnya, ada dua alasan yang mendorong Cheng Ho mengharapkan demikian. Pertama, karena para pedagang itu sulit kembali ke tanah Cina akibat tekanan pemerintah, dan kedua, mereka yang Muslim merasa lebih bebas menetap di Nusantara.

Di samping itu, mengutip Sumanto al-Qurtubi, Juliati menyatakan kemungkinan besar, Cheng Ho memiliki agenda pribadi untuk turut menyebarkan agama Islam. "Meski begitu, diyakini dakwah yang dilakukan Cheng Ho bukan seperti dakwah yang kita kenal selama ini, melainkan berupa penyebaran nilai-nilai moral agama Islam," tukasnya.

Pada kesempatan sama, Prof Dr A Dahana, Guru Besar Studi Cina Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, berpendapat, perkiraan bahwa Cheng Ho juga menyebarkan Islam dalam ekspedisinya tidak mengada-ada. Fakta itu bisa ditelusuri dari faktor Tionghoa dalam Islamisasi di Asia Tenggara.

Selama ini, imbuhnya, arus Islamisasi yang dikenal hanya berasal dari dua tempat, yakni Gujarat dan Timur Tengah. "Munculnya teori tentang peran warga Tionghoa dalam penyebaran Islam di Nusantara merupakan proses pengayaan khazanah kesejarahan kita. Meski begitu, untuk lebih mendukung teori tadi, masih diperlukan bukti-bukti yang kuat," kata Dahana lebih lanjut.

Dia menilai maksud dan tujuan Cheng Ho dalam menanamkan rasa persaudaraan cukup berhasil. Hal tersebut ditandai bahwa di beberapa tempat yang dikunjungi, kemudian masih terdapat tempat-tempat peribadatan yang menunjukkan adanya sinkretisme antara Islam, budaya lokal, dan Tionghoa.

Semangat itulah yang seharusnya bisa dipelihara, tandas Dahana, terutama ketika menghadapi berbagai tantangan zaman. Akan tetapi diakuinya, untuk mewujudkan tata hubungan masyarakat seperti pada masa lalu, teramat sulit kecuali di masing-masing kelompok masyarakat telah bersedia menerima perbedaan.

Gubernur Jawa Tengah Mardiyanto mengemukakan harapan senada. Dalam sambutannya, ia menyatakan kerukunan yang telah ditanamkan oleh Laksamana Cheng Ho di masa lalu, masih tetap relevan pada masa kini. Kerukunan menurutnya merupakan kunci untuk memperkokoh persatuan serta senjata guna menghadapi era global.

Dijelaskan, bangsa Indonesia terkenal akan kemajemukannya. Dan kemajemukan itu apabila diyakini sebagai suatu rahmat, maka niscaya akan menjelma sebagai sumber kekuatan bangsa. Sebaliknya, bila tidak disikapi secara bijaksana, dapat berpotensi menimbulkan perpecahan.

''Sehingga yang perlu ditanamkan dalam peringatan ekspedisi Cheng Ho kali ini adalah, kerukunan bukanlah hal yang langsung jadi. Kerukunan adalah faktor penting yang harus diupayakan realisasinya untuk kemudian dipertahankan keberlangsungannya,'' tambahnya.

Salah seorang Ketua Panitia HUT 600 Tahun Pelayaran Cheng Ho, Haryanto Halim, mengharapkan perayaan ini tidak sekedar seremonial semata. ''Namun hendaknya dapat menjadi semangat dalam menumbuhkan kearifan lokal,'' ujarnya.

Mengingkari kearifan budaya, kata dia, sama dengan mengingkari nilai kemanusiaan. "Cheng Ho telah mengajarkan damai. Hendaknya kita saat ini mengartikulasikan ajaran tersebut dengan pendekatan yang humanis," ujar Halim. Festival Cheng Ho, adalah satu titik untuk membangun kebersamaan yang dulu pernah berjaya. (RioL)
(yus )


Dari Kasim Menjadi Laksamana


Dia memimpin armada raksasa untuk mengunjungi lebih dari 30 negara. Sebagai Muslim, dia menunjukkan Islam yang rahmatan lil alamin, kendati ia menjadi laksamana pada kerajaan bukan Islam.

Ekspedisi fenomenal Laksamana Cheng Ho telah tercatat dalam tinta emas sejarah. Di samping memiliki nuansa politik dan ekonomi, pelayaran armada Cheng Ho ke sejumlah negara itu juga berdimensi sosio-kultural yang menjadi perekat hubungan antar masyarakat dan budaya.

Dari situlah kemudian, banyak kajian dan ulasan yang mengupas kaitan makna pelayaran tersebut dengan kehidupan masa kini. Tak ketinggalan pula, latar belakang kehidupan Laksamana Cheng Ho tak habisnya dibahas untuk menyelami lebih dalam sosok kharismatik ini. Dan pepatah memang mengatakan, tak kenal maka tak sayang.

Banyak literatur sejarah mengenai asal usul Cheng Ho. Salah satunya adalah Ming Shi (Sejarah Dinasti Ming). Disebutkan bahwa dia dilahirkan di Desa He Dai, Kabupaten Kunyang, Provinsi Yunan, pada tahun Hong Wu ke-4 (1371 M). Keluarganya bermarga Ma, dari suku Hui yang mayoritas beragama Islam.

Ma He merupakan nama kecil Cheng Ho. Tapi, dia memiliki nama lain, yakni Sam Po (Sam Poo atau San Po) dalam dialek Fujian atau San Bo dalam dialek bahasa nasional Tiongkok (Mandarin).

Dia anak ketiga dari enam bersaudara. Ayahnya bernama Ma Hadzi sedangkan ibunya bernama Wen. Keluarga ini menganut agama Islam.

Ayah Cheng Ho adalah seorang pelaut dan Muslim taat. Tercatat dia pernah menuaikan ibadah haji, begitu pun dengan kakek dan buyutnya. Sampai saat ini, keluarga besar Ma atau Cheng merupakan penganut Islam yang taat.

Sejak kecil Cheng Ho sering mendengar cerita ayahnya tentang perjalanan naik haji dengan kapal layar selama berminggu-minggu. Banyak rintangan yang dihadapi, seperti hujan badai, iklim yang berbeda dari waktu ke waktu serta keanekaragaman adat istiadat. Sejarah mencatat, pengalaman sang ayah ini memberikan pengaruh besar bagi perjalanan hidup Cheng Ho.

Ketika masih berumur 12 tahun, Yunan yang kala itu berada di bawah kekuasaan Dinasti Yuan, berhasil direbut oleh Dinasti Ming. Para pemudanya ditawan, lalu dibawa ke Nanjing untuk dijadikan kasim istana.

Tak terkecuali Cheng Ho. Dia kemudian mengabdi kepada Raja Zhu Di di istana Beiping (kini Beijing). Oleh raja, ia lantas diserahkan untuk menjadi pelayan putranya yang ke-4, Zhu Di.

Pada masa itu, kedudukan kasim umumnya tidak begitu disukai dan tidak dihargai oleh masyarakat Tiongkok. Namun Cheng mampu mengubah citra buruk seorang kasim. Selama mengabdi sebagai pelayan, Cheng Ho tidak menyia-nyiakan kesempatan dan yang ada di hadapannya. Ia membaca berbagai literatur dan ikut bertempur dalam peperangan antara pihak Zhu Di dan penguasa pusat Dinasti Ming.

Abdi yang berpostur tinggi besar dan bermuka lebar ini tampak begitu gagah menyerang lawan-lawannya. Setelah Zhu Di berhasil merebut tahta kaisar, maka sebagai bentuk penghargaan, Cheng Ho diangkat sebagai kepala kasim intern.

Sampai ketika kaisar mencanangkan program pengembalian kejayaan Tiongkok yang merosot akibat kejatuhan Dinasti Mongol (1368), tanpa ragu-ragu Cheng Ho menawarkan diri untuk memimpin ekspedisi ke berbagai penjuru negeri. Terkejut kaisar sekaligus terharu mendengar permintaan itu lantaran resiko besar yang akan dihadapi.

Maka persiapan pun dilakukan. Ini misi akbar. Ekspedisi Cheng Ho ke Samudera Barat, sebutan untuk lautan sebelah barat Laut Tiongkok Selatan sampai Afrika Timur, bakal mengerahkan armada raksasa. Pada muhibah pertama, tercatat sebanyak 62 kapal besar dan belasan kapal kecil dengan 27.800 ribu awak dikerahkan.

Kapal yang ditumpangi Cheng Ho sendiri yang disebut 'kapal pusaka' merupakan kapal terbesar pada abad ke-15. Panjangnya 44,4 zhang (138 m) dan lebar 18 zhang (56 m). Sejarawan, JV Mills menduga, kapal itu berkapasitas 2500 ton. Desainnya bagus serta dilengkapi teknologi mutakhir -- pada masa itu -- seperti kompas magnetik.

Armada Tiongkok di bawah komando Cheng Ho itu pun berangkat pada tahun 1405. Namun terlebih dahulu rombongan menunaikan shalat di sebuah masjid tua di kota Quanzhou (Provinsi Fujian).

Ekspedisi pertama ini akhirnya mencapai wilayah Asia Tenggara (Semenanjung Malaya, Sumatera, dan Jawa). Ketika berkunjung ke Samudera Pasai, dia menghadiahi lonceng raksasa Cakradonya kepada Sultan Aceh. Tempat lain di Sumatera yang dikunjungi adalah Palembang dan Bangka.

Kemudian armada itu singgah di Pelabuhan Bintang Mas (kini Tanjung Priok) dan di Muara Jati (Cirebon). Saat menyusuri Laut Jawa, Wang Jinghong (orang kedua dalam armada itu) sakit keras. Mereka mendarat di pantai Simongan, Semarang, dan tinggal sementara di sana.

Wang--yang kini dikenal sebagai Kiai Jurumudi Dampo Awang--akhirnya menetap dan menjadi cikal bakal warga Tionghoa di sana. Wang juga mengabadikan Cheng Ho menjadi sebuah patung (disebut Mbah Ledakar Juragan Dampo Awang Sam Po Kong), dan membangun kelenteng Sam Po Kong atau Gedung Batu.

Tuban dan Gresik adalah persinggahan berikutnya. Kepada warga pribumi, Cheng Ho mengajarkan tatacara pertanian, peternakan, pertukangan, dan perikanan. Berlanjut ke Surabaya, bertepatan dengan hari Jumat, maka Cheng Ho menyampaikan khotbah di hadapan warga Surabaya.

Ekspedisi kedua berlayar tahun 1407-1409. Ekspedisi ketiga dilakukan 1409-1411. Ketiga ekspedisi tersebut menjangkau India dan Srilanka. Tahun 1413-1415 ekspedisi berikutnya mencapai mencapai Aden, Teluk Persia, dan Mogadishu (Afrika Timur). Jalur ini diulang kembali pada ekspedisi kelima (1417-1419) dan keenam (1421-1422). Ekspedisi terakhir (1431-1433) berhasil mencapai Laut Merah.

Dalam setiap misi pelayaran, terdapat banyak anggota rombongan beragama Islam. Beberapa tokoh Muslim yang pernah ikut adalah Ma Huan, Guo Chongli, Fei Xin, Hassan, Sha'ban, Pu Heri, dan banyak lagi.

Sebagai seorang Muslim, Laksamana Cheng juga tak melupakan kemakmuran masjid. Tahun 1413 misalnya, dia merenovasi Masjid Qinging (timur laut Kabupaten Xian). Tahun 1430 memugar Masjid San San di Nanjing yang rusak karena terbakar.

Selama 28 tahun (1405-1433), Cheng Ho memimpin armada raksasa untuk mengunjungi lebih dari 30 negara. Di setiap negeri yang disinggahi, Cheng Ho merajut persahabatan dan perdamaian yang ditransformasikan lewat seni, budaya, dan pendidikan. Selain itu Laksamana Cheng juga berupaya menanamkan toleransi beragama. (RioL)


"Pusaka' Armada Cheng Ho


Katanya, Christophorus Columbus dianggap hebat karena berhasil menemukan benua Amerika. Namun tahukah Anda bahwa ada penjelajah yang lebih hebat. Dia adalah Laksamana Cheng Ho

Selama hidupnya, Cheng Ho atau Zheng He melakukan petualangan antarbenua selama 7 kali berturut-turut dalam kurun waktu 28 tahun (1405-1433). Tak kurang dari 30 negara di Asia, Timur Tengah, dan Afrika pernah disinggahinya. Pelayarannya lebih awal 87 tahun dibanding Columbus.

Juga lebih dulu dibanding bahariwan dunia lainnya seperti Vasco da Gama yang berlayar dari Portugis ke India tahun 1497. Ferdinand Magellan yang merintis pelayaran mengelilingi bumi pun kalah duluan 114 tahun. Ekspedisi Cheng Ho ke 'Samudera Barat' (sebutan untuk lautan sebelah barat Laut Tiongkok Selatan sampai Afrika Timur) mengerahkan armada raksasa.

Pertama mengerahkan 62 kapal besar dan belasan kapal kecil yang digerakkan 27.800 ribu awak. Pada pelayaran ketiga mengerahkan kapal besar 48 buah, awaknya 27 ribu. Sedangkan pelayaran ketujuh terdiri atas 61 kapal besar dan berawak 27.550 orang.

Bila dijumlah dengan kapal kecil, rata-rata pelayarannya mengerahkan 200-an kapal. Sementara Columbus, ketika menemukan benua Amerika 'cuma' mengerahkan 3 kapal dan awak 88 orang.

Kapal yang ditumpangi Cheng Ho disebut 'kapal pusaka' merupakan kapal terbesar pada abad ke-15. Panjangnya mencapai 44,4 zhang (138 m) dan lebar 18 zhang (56 m). Lima kali lebih besar daripada kapal Columbus. Menurut sejarawan, JV Mills kapasitas kapal tersebut 2500 ton.

Model kapal itu menjadi inspirasi petualang Spanyol dan Portugal serta pelayaran modern di masa kini. Desainnya bagus, tahan terhadap serangan badai, serta dilengkapi teknologi yang saat itu tergolong canggih seperti kompas magnetik.

Mengubah Peta Pelayaran Dunia Dalam Ming Shi (Sejarah Dinasti Ming) tak terdapat banyak keterangan yang menyinggung tentang asal-usul Cheng Ho. Cuma disebutkan bahwa dia berasal dari Provinsi Yunnan, dikenal sebagai kasim (abdi) San Bao.

Nama itu dalam dialek Fujian biasa diucapkan San Po, Sam Poo, atau Sam Po. Sumber lain menyebutkan, Ma He (nama kecil Cheng Ho) yang lahir tahun Hong Wu ke-4 (1371 M) merupakan anak ke-2 pasangan Ma Hazhi dan Wen. Saat Ma He berumur 12 tahun, Yunnan yang dikuasai Dinasti Yuan direbut oleh Dinasti Ming.

Para pemuda ditawan, bahkan dikebiri, lalu dibawa ke Nanjing untuk dijadikan kasim istana. Tak terkecuali Cheng Ho yang diabdikan kepada Raja Zhu Di di istana Beiping (kini Beijing).

Di depan Zhu Di, kasim San Bao berhasil menunjukkan kehebatan dan keberaniannya. Misalnya saat memimpin anak buahnya dalam serangan militer melawan Kaisar Zhu Yunwen (Dinasti Ming). Abdi yang berpostur tinggi besar dan bermuka lebar ini tampak begitu gagah melibas lawan-lawannya. Akhirnya Zhu Di berhasil merebut tahta kaisar.

Ketika kaisar mencanangkan program pengembalian kejayaan Tiongkok yang merosot akibat kejatuhan Dinasti Mongol (1368), Cheng Ho menawarkan diri untuk mengadakan muhibah ke berbagai penjuru negeri. Kaisar sempat kaget sekaligus terharu mendengar permintaan yang tergolong nekad itu. Bagaimana tidak, amanah itu harus dilakukan dengan mengarungi samudera. Namun karena yang hendak menjalani adalah orang yang dikenal berani, kaisar oke saja.

Berangkatlah armada Tiongkok di bawah komando Cheng Ho (1405). Terlebih dahulu rombongan besar itu menunaikan shalat di sebuah masjid tua di kota Quanzhou (Provinsi Fujian). Pelayaran pertama ini mampu mencapai wilayah Asia Tenggara (Semenanjung Malaya, Sumatera, dan Jawa). Tahun 1407-1409 berangkat lagi dalam ekspedisi kedua.

Ekspedisi ketiga dilakukan 1409-1411. Ketiga ekspedisi tersebut menjangkau India dan
Srilanka. Tahun 1413-1415 kembali melaksanakan ekspedisi, kali ini mencapai Aden, Teluk Persia, dan Mogadishu (Afrika Timur). Jalur ini diulang kembali pada ekspedisi kelima (1417-1419) dan keenam (1421-1422). Ekspedisi terakhir (1431-1433) berhasil mencapai Laut Merah.

Pelayaran luar biasa itu menghasilkan buku Zheng He's Navigation Map yang mampu mengubah peta navigasi dunia sampai abad ke-15. Dalam buku ini terdapat 24 peta navigasi mengenai arah pelayaran, jarak di lautan, dan berbagai pelabuhan. Jalur perdagangan Tiongkok berubah, tidak sekadar bertumpu pada 'Jalur Sutera' antara Beijing-Bukhara.

Dalam mengarungi samudera, Cheng Ho mampu mengorganisir armada dengan rapi. Kapal-kapalnya terdiri atas atas kapal pusaka (induk), kapal kuda (mengangkut barang-barang dan kuda), kapal penempur, kapal bahan makanan, dan kapal duduk (kapal komando), plus kapal-kapal pembantu. Awak kapalnya ada yang bertugas di bagian komando, teknis navigasi, militer, dan logistik.

Berbeda dengan bahariwan Eropa yang berbekal semangat imperialis, Armada raksasa ini tak pernah serakah menduduki tempat-tempat yang disinggahi. Mereka hanya mempropagandakan kejayaan Dinasti Ming, menyebarluaskan pengaruh politik ke negeri asing, serta mendorong perniagaan Tiongkok. Dalam majalah Star Weekly HAMKA pernah menulis, "Senjata alat pembunuh tidak banyak dalam kapal itu, yang banyak adalah 'senjata budi' yang akan dipersembahkan kepada raja-raja yang diziarahi."

Sementara sejarawan Jeanette Mirsky menyatakan, tujuan ekspedisi itu adalah memperkenalkan dan mengangkat prestise Dinasti Ming ke seluruh dunia. Maksudnya agar negara-negara lain mengakui kebesaran Kaisar Tiongkok sebagai The Son of Heaven (Putra Dewata). Bukan berarti armada tempurnya tak pernah bertugas sama sekali.

Laksamana Cheng Ho pernah memerintahkan tindakan militer untuk menyingkirkan kekuatan yang menghalangi kegiatan perniagaan. Jadi bukan invasi atau ekspansi. Misalnya menumpas gerombolan bajak laut Chen Zhuji di perairan Palembang, Sumatera (1407).

Dalam kurun waktu 1405-1433, Cheng Ho memang pernah singgah di Kepulauan Nusantara selama tujuh kali. Ketika berkunjung ke Samudera Pasai, dia menghadiahi lonceng raksasa Cakradonya kepada Sultan Aceh. Lonceng tersebut saat ini tersimpan di Museum Banda Aceh. Tempat lain di Sumatera yang dikunjungi adalah Palembang dan Bangka.

Selanjutnya mampir di Pelabuhan Bintang Mas (kini Tanjung Priok). Tahun 1415 mendarat di Muara Jati (Cirebon). Beberapa cindera mata khas Tiongkok dipersembahkan kepada Sultan Cirebon. Sebuah piring bertuliskan Ayat Kursi saat ini masih tersimpan baik di Kraton Kasepuhan Cirebon.

Ketika menyusuri Laut Jawa, Wang Jinghong (orang kedua dalam armada itu) sakit keras. Sauh segera dilempar di pantai Simongan, Semarang. Mereka tinggal di sebuah goa, sebagian lagi membuat pondokan. Wang yang kini dikenal dengan sebutan Kiai Jurumudi Dampo Awang, akhirnya menetap dan menjadi cikal bakal keberadaan warga Tionghoa di sana. Wang juga mengabadikan Cheng Ho menjadi sebuah patung (disebut Mbah Ledakar Juragan Dampo Awang Sam Po Kong), serta membangun kelenteng Sam Po Kong atau Gedung Batu.

Perjalanan dilanjutkan ke Tuban (Jatim). Kepada warga pribumi, Cheng Ho mengajarkan tatacara pertanian, peternakan, pertukangan, dan perikanan.

Hal yang sama juga dilakukan sewaktu singgah di Gresik. Lawatan dilanjutkan ke Surabaya. Pas hari Jumat, dan Cheng Ho mendapat kehormatan menyampaikan khotbah di hadapan warga Surabaya yang jumlahnya mencapai ratusan orang. Kunjungan dilanjutkan ke Mojokerto yang saat itu menjadi pusat Kerajaan Majapahit.

Di kraton, Raja Majapahit, Wikramawardhana, berkenan mengadakan audiensi dengan rombongan bahariwan Tiongkok ini.

Muslim Taat Sebagai orang Hui (etnis di Tiongkok yang identik dengan Muslim) Cheng Ho sudah memeluk agama Islam sejak lahir. Kakeknya seorang haji. Ayahnya, Ma Hazhi, juga sudah menunaikan rukun Islam kelima itu. Menurut Hembing Wijayakusuma, nama hazhi dalam bahasa Mandarin memang mengacu pada kata 'haji'.

Bulan Ramadhan adalah masa yang sangat ditunggu-tunggu Cheng Ho. Pada tanggal 7 Desember 1411 sesudah pelayarannya yang ke-3, pejabat di istana Beijing ini menyempatkan mudik ke kampungnya, Kunyang, untuk berziarah ke makam sang ayah. Ketika Ramadhan tiba, Cheng Ho memilih berpuasa di kampungnya yang senantiasa semarak. Dia tenggelam dalam kegiatan keagamaan sampai Idul Fitri tiba.

Setiap kali berlayar, banyak awak kapal beragama Islam yang turut serta. Sebelum melaut, mereka melaksanakan shalat jamaah. Beberapa tokoh Muslim yang pernah ikut adalah Ma Huan, Guo Chongli, Fei Xin, Hassan, Sha'ban, dan Pu Heri. "Kapal-kapalnya diisi dengan prajurit yang kebanyakan terdiri atas orang Islam," tulis HAMKA.

Ma Huan dan Guo Chongli yang fasih berbahasa Arab dan Persia, bertugas sebagai penerjemah. Sedangkan Hassan yang juga pimpinan Masjid Tang Shi di Xian (Provinsi Shan Xi), berperan mempererat hubungan diplomasi Tiongkok dengan negeri-negeri Islam. Hassan juga bertugas memimpin kegiatan-kegiatan keagamaan dalam rombongan ekspedisi, misalnya dalam melaksanakan penguburan jenazah di laut atau memimpin shalat hajat ketika armadanya diserang badai.

Kemakmuran masjid juga tak pernah dilupakan Cheng Ho. Tahun 1413 dia merenovasi Masjid Qinging (timur laut Kabupaten Xian). Tahun 1430 memugar Masjid San San di Nanjing yang rusak karena terbakar. Pemugaran masjid mendapat bantuan langsung dari kaisar.

Beberapa sejarawan meyakini bahwa petualang sejati ini sudah menunaikan ibadah haji. Memang tak ada catatan sejarah yang membuktikan itu, tapi pelaksanaan haji kemungkinan dilakukan saat ekspedisi terakhir (1431-1433). Saat itu rombongannya memang singgah di Jeddah.

Selama hidupnya Cheng Ho memang sering mengutarakan hasrat untuk pergi haji sebagaimana kakek dan ayahnya. Obsesi ini bahkan terbawa sampai menjelang ajalnya. Sampai-sampai ia mengutus Ma Huan pergi ke Mekah agar melukiskan Ka'bah untuknya. Muslim pemberani ini meninggal pada tahun 1433 di Calicut (India), dalam pelayaran terakhirnya. (shofy, pam/hidayatullah)


Sejarah 26


imageimageZionis-Yahudi mengakar kuat di Indonesia. Melalui antek-anteknya yang ada di Indonesia, mereka berhasil menguasai sektor ekonomi, terutama bidang perbankan dan merasuki budaya Indonesia…

Sejak mencuatnya kasus grup band Dewa yang diprotes lantaran menginjak-
injak karpet bermotif lafaz Allah saat manggung di salah satu stasiun televisi, obrolan seputar Yahudi, Zionis dan Freemasonry makin rame. Apalagi, pentolan Dewa, Ahmad Dhani, selama ini kerap dijumpai mengenakan kalung Bintang David, simbol Zionis-Israel.

Untuk mengetahui lebih dalam jaringan kaum yang dikutuk Allah SWT itu, berbagai kalangan menggelar berbagai forum diskusi dan dialog tentang Zionis-Yahudi. Selasa (31/5) lalu, misalnya, Kajian Islam Cibubur Pesantren Tinggi Husnayain, Pimpinan KH A Cholil Ridwan menggelar sebuah diskusi yang bertajuk “Bahaya Gerakan YAHUDI di Indonesia”.

Ridwan Saidi, salah seorang pembicara dalam dialog itu, mengaku prihatin dengan kondisi umat saat ini. Sebab, banyak umat yang masih tidak percaya gerakan Zionis-Yahudi. Bahkan sebagian kaum Muslimin memandang tudingan gerakan Zionis-Yahudi sebagai sesuatu yang mengada-ada. Padahal, dampak dari gerakan Zionis ini sangatlah merugikan kaum Muslimin bahkan umat manusia.

image

“Siapa bilang tidak ada gerakan Zionis-Yahudi di sini. Ada dong, sebab akarnya terlalu kuat di Indonesia. Mereka masuk sejak zaman Hindia Belanda,” ujar pria yang puluhan tahun meneliti dan mengkaji gerakan Zionis-Yahudi itu.

Benarkah akar Zionis-Yahudi begitu kuat di Indonesia? Apa saja indikasi dan buktinya? Memang, tak mudah melacak jejak gerakan berbahaya ini di Indonesia. Apalagi selama ini, Zionis-Yahudi, memang gerakan tertutup. Aktivitas mereka berkedok kegiatan sosial atau kemanusiaan. Namun sasaran dan tujuannya sangat jelas: Merusak kaum lain.

Ibarat orang yang sedang buang angin dengan pelan: tercium baunya, tapi tak nampak wujudnya. Tidak mudah mengendus dan mendeteksi mereka. Namun dengan membuka-buka catatan sejarah, kabut dan misteri seputar jaringan Zionis-Yahudi di Indonesia akan terbuka lebar.

Gedung dan bangunan ternyata tak hanya memiliki estetika, namun juga menyimpan sejarah peradaban, tak terkecuali gerakan Zionis-Yahudi di Indonesia. Dari sejumlah dokumen sejarah, tidak sedikit gedung-gedung yang berdiri dan beroperasi saat ini yang ternyata dulunya pernah menjadi pusat pengendali gerakan Zionis-Yahudi di Indonesia.

Satu di antaranya adalah gedung induk yang saat ini dipakai pemerintah untuk kantor Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) di Jalan Taman Suropati, Menteng, Jakarta Pusat. Dalam buku “Menteng Kota Taman Pertama di Indonesia” karangan Adolf Hueken, SJ, disebutkan, awalnya gedung yang kini berperan penting merencanakan pembangunan Indonesia itu adalah bekas loge-gebouw, tempat pertemuan para vrijmetselaar.

Loge-gebouw atau rumah arloji sendiri adalah sebuah sinagog, tempat peribadatan kaum Yahudi. Dulu, kaum Yahudi memakainya untuk tempat “sembahyang” atau “ngeningkan cipta” kepada Tuhan. Karena tempat itu sering dipergunakan untuk memanggil-manggil roh halus, maka masyarakat Indonesia sering menyebut loge sebagai rumah setan.

Sementara Vrijmetselarij adalah organisasi bentukan Zionis-Yahudi di Indonesia (Dulu Hindia Belanda). Ridwan Saidi dalam bukunya “Fakta dan Data Yahudi di Indonesia” menuliskan bahwa pimpinan Vrjmetselarij di Hindia Belanda sekaligus adalah ketua loge.

Vrijmetselarij bukanlah organisasi yang berdiri sendiri. Ia merupakan bentukan dari organisasi Freemasonry, sebuah gerakan Zionis-Yahudi internasional yang berkedudukan di London, Inggris. Pada tahun 1717, para emigran Yahudi yang terlempar ke London, Inggris, mendirikan sebuah gerakan Zionis yang diberi nama Freemasonry. Organisasi inilah yang kini mengendalikan gerakan Zionis-Yahudi di seluruh dunia.

Dalam kenyataannya, gerakan rahasia Zionis-Yahudi ini selalu bekerja menghancurkan kesejahteraan manusia, merusak kehidupan politik, ekonomi dan sosial negara-negara yang di tempatinya. Mereka ingin menjadi kaum yang menguasai dunia dengan cara merusak bangsa lain, khususnya kaum Muslimin.

Mereka sangat berpegang pada cita-cita. Tujuan akhir dari gerakan rahasia Zionis-Yahudi ini, salah satunya, adalah mengembalikan bangunan [b]Haikal Sulaiman yang terletak di Masjidil Aqsha, daerah Al-Quds yang sekarang dijajah Israel. Target lainnya, mendirikan sebuah pemerintahan Zionis internasional di Palestina, seperti terekam dari hasil pertemuan para rabbi Yahudi di Basel.

Seperti disinggung di atas, gedung Bappenas memiliki sejarah kuat dengan gerakan Zionis-Yahudi. Tentu, bukan suatu kebetulan, jika lembaga donor dunia seperti International Monetary Fund (IMF) yang dikuasai orang-orang Yahudi sangat berkepentingan dan menginginkan kebijakan yang merencanakan pembangunan di Indonesia selaras dengan program mereka.

Satu per satu bukti kuatnya jejak Zionis-Yahudi di Indonesia bermunculan. Jejak mereka juga nampak di sepanjang Jalan Medan Merdeka Barat dengan berbagai gedung pencakar langitnya. Menurut Ridwan Saidi, semasa kolonial Belanda, Jalan Medan Merdeka Barat bernama Jalan Blavatsky Boulevard. Nama Blavatsky Boulevard sendiri tentu ada asal-usulnya. Pemerintah kolonial Belanda mengambil nama Blavatsky Boulevard dari nama Helena Blavatsky, seorang tokoh Zionis-Yahudi asal Rusia yang giat mendukung gerakan Freemasonry.

Siapa Blavatsky? Pada November 1875, pusat gerakan Zionis di Inggris, Fremasonry, mengutus Madame Blavatsky—demikian Helena Balavatsky biasa disebut—ke New York. Sesampainya di sana, Blavatsky langsung mendirikan perhimpunan kaum Theosofi. Sejak awal, organisasi kepanjangan tangan Zionis-Yahudi ini, telah menjadi mesin pendulang dolar bagi gerakan Freemasonry.

Di luar Amerika, sebut misalnya di Hindia Belanda, Blavatsky dikenal sebagai propagandis utama ajaran Theosofi. Pada tahun 1853, saat perjalanannya dari Tibet ke Inggris, Madame Blavatsky pernah mampir ke Jawa (Batavia). Selama satu tahun di Batavia, ia mengajarkan Theosofi kepada para elit kolonial dan masyarakat Hindia Belanda.

Sejak itu, Theosofi menjadi salah satu ajaran yang berkembang di Indonesia. Salah satu ajaran Theosofi yang utama adalah menganggap semua ajaran agama sama. Ajaran ini sangat mirip dan sebangun dengan pemahaman kaum liberal yang ada di Indonesia.

Menurut cerita Ridwan Saidi, di era tahun 1950-an, di Jalan Blavatsky Boulevard (kini Jalan Medan Merdeka Barat) pernah berdiri sebuah loge atau sinagog. Untuk misinya, kaum Yahudi memakai loge itu sebagai pusat kegiatan dan pengendalian gerakan Zionis di Indonesia. Salah satu kegiatan mereka adalah membuka kursus-kursus okultisme (pemanggilan makhluk-makhluk halus).

“Jika saat ini saham mayoritas Indosat dikuasai Singtel, salah satu perusahaan telekomunikasi Yahudi asal Singapura, maka itu sangat wajar. Sebab dulunya Indosat adalah sinagog dan kembai juga ke sinagog,” ujar mantan anggota DPR yang pernah menginjakkan kakinya ke Israel tersebut.

Di sepanjang Jalan Juanda (Noordwijk) dan Jalan Veteran (Rijswijk) jejak Zionis-Yahudi juga ada. Dalam sebuah artikel di sebuah media massa yang terbit di Jakarta, sejarawan Betawi Alwi Shahab menyebutkan, pada abad ke-19 dan ke-20, sejumlah orang Yahudi menjadi pengusaha papan atas di Jakarta. Beberapa di antaranya bernama Olislaegar, Goldenberg dan Ezekie. Mereka menjadi pedagang sukses dan tangguh yang menjual permata, emas, intan, perak, arloji, kaca mata dan berbagai komoditas lainnya. Toko mereka berdiri di sepanjang Jalan Risjwijk dan Noorwijk.

Masih menurut Alwi, pada tahun 1930-an dan 1940-an, jumlah orang Yahudi cukup banyak di Jakarta. Bisa mencapai ratusan orang. Mereka pandai berbahasa Arab, hingga sering dikira sebagai orang keturunan Arab. Bahkan Gubernur Jenderal Belanda, Residen dan Asisten Residen Belanda di Indonesia banyak yang keturunan Yahudi.

Yahudi di Batavia memiliki persatuan yang sangat kuat. Setiap hari Sabtu, hari suci kaum Yahudi, mereka sering berkumpul. Tempatnya di gedung yang kala itu terletak di sekitar Mangga Besar, Jakarta Barat. Di gedung itu, seorang rabbi, imam kaum Yahudi, memberikan wejangan dengan membaca Kitab Zabur.

“Merantau” sudah menjadi tradisi hidup kaum Zionis-Yahudi. Tidak ada daerah yang tidak mereka rambah. Di luar Jakarta, kaum Yahudi menetap di daerah Bandung, Jawa Barat. Pengamat Yahudi asal Bandung, HM Usep Romli mengatakan, mereka masuk Bandung sejak tahun 1900-an. Untuk meredam resistensi masyarakat Bandung, mereka masuk melalui jalur pendidikan dengan berprofesi sebagai guru. Kebanyakan dari mereka adalah pengikut aliran Theosofi, kaki tangan gerakan Freemasonry internasional. Tempat kumpul mereka berada di sebuah rumah yang terletak di dekat Jalan Dipati Ukur. Masyarakat menyebut rumah itu sebagai rumah setan.

“Dulunya, kawasan Dipati Ukur adalah tempat tinggal orang-orang Belanda dan tempat berkumpulnya kaum terpelajar, baik dari Belanda maupun pribumi. Itulah kenapa jika ditengok kawasan Dipati Ukur saat ini, banyak sekali berdiri lembaga-lembaga pendidikan, termasuk Universitas Padjajaran (Unpad). Namun saya tidak tahu di mana tepatnya markas kaum Theosofi tersebut,” ujar Usep.

Pada dasarnya, mereka tidak mengalami kesulitan menjajakan pemahamannya karena berpenampilan lembut, sopan dan ramah. Karenanya banyak masyarakat yang simpati dan tertarik dengan mereka. Sampai-sampai banyak masyarakat mengultuskan ucapan dan ajaran mereka, hingga mengikuti ritual agama Yahudi. “Tanpa disadari ajaran Zionis masuk ke hati dan pikiran masyarakat Bandung dan tumbuh menjadi suatu ajaran yang kuat,” tandas Usep.

Khusus di Surabaya, kaum Yahudi membentuk komunitas sendiri di beberapa kawasan kota lama, seperti Bubutan dan Jalan Kayon. Di Jalan Kayon No 4, Surabaya, hingga kini berdiri sebuah sinagog, tempat peribadatan kaum Yahudi. Selama ini gerakan mereka tidak mudah terdeteksi masyarakat karena mereka berkedok yayasan sosial dan amal. (Baca: Kamuflase Kaum Yahudi di Surabaya).

Panah beracun Zionis-Yahudi terus dilepaskan dari busurnya dan terus mengenai sasarannya. Setelah menunggu satu dekade, kini mereka sedang memanen buahnya. Melalui antek-anteknya di Indonesia, kaum Zionis-Yahudi “menyetir” dunia politik, sektor ekonomi, terutama bidang perbankan dan jaringan telekomunikasi.

Transaksi saham menjadi modal ampuh mengendalikan Indonesia. Singtel, perusahaan telekomunikasi milik orang Yahudi yang berkedudukan di Singapura misalnya, tahun lalu, berhasil menguasai kepemilikan PT Indosat, sebagaimana diungkapkan Ridwan Saidi . Mereka berhasil menjadi pemegang saham terbesar dan berhak mengatur arah policy Indosat ke depan. Komunikasi Indonesia, melalui Indosat misalnya, dalam kendali Yahudi?

Hal serupa terjadi dalam dunia pemberitaan. Bhakti Investama, sebuah perusahaan yang sebagian sahamnya milik George Soros, seorang Yahudi yang pada tahun 1998 mengacak-acak ekonomi Indonesia. Dengan membeli saham, dia mulai memasuki industri media di Indonesia Ritel juga menjadi sasaran utama mereka. Philip Morris, sebuah perusahaan rokok dunia milik seorang Yahudi asal Amerika menguasai kira-kira sembilan puluh persen saham perusahaan rokok PT Sampoerna. Ia pun berhak mengendalikan bisnis perusahaan rokok ternama di Indonesia itu.

Bidang budaya tak luput dari garapan mereka. Untuk menjauhkan Islam dari agamanya, mereka masuk ke dalam kebatinan Jawa. Kuatnya akar Freemasonry dapat dilihat dari mantra-mantra memanggil roh halus atau jin yang memakai bahasa Ibrani, bahasa khas kaum Yahudi.

Bau Zionis-Yahudi juga tercium tajam di dunia perjudian. Dadu yang sering dipakai dalam permainan judi bermata hewan Zionis. “Ini fakta. Oleh sebab itu saat menerima laporan dari bawahannya tentang kuatnya akar Zionisme-Yahudi di Indonesia, Hitler, pemimpin NAZI langsung mengirim pasukannya ke Hindia Belanda untuk memerangi mereka,” ujar Ridwan.

Jelas, gerakan Zionis-Yahudi bukanlah gerakan fiktif atau mengada-ada. Ia benar-benar nyata dan terus akan bergerak sampai cita-citanya tercapai: Menguasai dunia. Oleh sebab itu, kaum Muslimin harus terus memperkuat diri dengan Islam. Tidak boleh lengah atau lalai sedikit pun. Tetap waspada, jangan mudah termakan dengan pikiran atau paham bebas, dan rapatkan barisan, adalah modal kuat melawan mereka. Dan, tak kalah pentingnya, adalah memperkuat dan mengembangkan jaringan dan gerakan yang sedang kita bangun! (Sabili)

Rivai Hutapea


Sejarah 25


image“Habis Gelap Terbitlah Terang” Sesungguhnya Adalah Cahaya Islam.
Pembicaraan tentang Kartini seakan-akan tidak pernah habis-habisnya. Berbagai penulis di luar dan dalam negeri menyorotinya dari berbagai aspek dengan berbeda perspektif dan kepentingan. Aspek spiritual keagamaan tokoh emansipasi ini bisa dilihat dari sisi kejawen, komunis, Islam, dan Kristiani. Sebagaimana terlihat dari tiga buku yang ditulis tentang Kartini.
  1. Pertama, Panggil Aku Kartini Saja, karya Pramoedya Ananta Toer (1962, cetak ulang tahun 2000);
  2. Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia yang ditulis Ahmad Mansur Suryanegara (1995); dan
  3. Tuhan dan Agama dalam Pergulatan Batin Kartini oleh Th Sumartana (1993). Tulisan ini juga menyinggung artikel St Sunardi, Ginonjing: Emansipasi Kartini pada majalah Kalam (No 21, 2004).


Sinkretisme


Ada usaha untuk menggambarkan figur Kartini sebagai wanita yang menganut faham sinkretisme. Kartini mengatakan bahwa ia anak Budha, dan sebab itu pantang daging. Suatu waktu ia sakit keras, dokter yang dipanggil tak bisa menyembuhkan. Lalu datanglah seorang nara pidana Cina yang menawarkan bantuan mengobati Kartini. Ayah Kartini setuju. Ia disuruh minum abu lidi dari sesaji yang biasa dipersembahkan kepada patung kecil dewa Cina. Dengan itu ia dianggap sebagai anak dari leluhur Santik-kong dari Welahan. Setelah minum abu lidi persembahan untuk patung Budha itu, Kartini memang sembuh. Ia sembuh bukan karena dokter, tapi oleh obat dari ''dukun'' Budha. Sejak itu Kartini merasa sebagai ''anak'' Budha dan pantang makan daging.

Pramoedya menulis, ''Bagi Kartini semua agama sama, sedangkan nilai manusia terletak pada amalnya pada sesamanya yaitu masyarakatnya.'' Kartini menemukan dan mengutamakan isi lebih daripada bentuk-bentuk dan syariat-syariat, yaitu kemuliaan manusia dengan amalnya pada sesama manusia seperti dibacanya dalam rumusan Multatuli ''tugas manusia adalah menjadi Manusia, tidak menjadi dewa dan juga tidak menjadi setan''. Menurut Kartini, ''Tolong menolong dan tunjang menunjang, cintai mencintai, itulah nada dasar segala agama. Duh ,kalau saja pengertian ini dipahami dan dipenuhi, agama akan menguntungkan kemanusiaan, sebagaimana makna asal dan makna ilahiah daripadanya: karunia.'' (hlm 235). Sebelumnya Kartini telah menegaskan bahwa ''agama yang sesungguhnya adalah kebatinan dan agama itu bisa dipeluk baik sebagai Nasrani maupun sebagai Islam dan lain-lain.'' (hlm 234)

Kartini dan Alquran


Di dalam buku Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia terdapat sebuah bab yang berjudul 'Pengaruh Al Quran terhadap Perjuangan Kartini'. Pandangan Kartini tentang Islam disoroti secara positif. ''Segenap perempuan bumiputra diajaknya kembali ke jalan Islam. Tidak hanya itu, Kartini bertekad berjuang, untuk mendapatkan rahmat Allah, agar mampu meyakinkan umat agama lain memandang agama Islam, agama yang patut dihormatinya'' (surat kepada Ny van Kol, 21 Juli 1902.)

Menurut Ahmad Mansur Suryanegara, Ny Van Kol berusaha mengajak Kartini beralih kepada agama Kristen. Namun hal ini ditolak oleh sang putri Bupati Jepara itu. Bahkan ia mengingatkan zending Protestan agar menghentikan gerakan Kristenisasinya. Jangan mengajak orang Islam memeluk agama Nasrani.

Sejak lama Kartini resah sebab tidak mampu mencintai Alquran karena Alquran terlalu suci, tiada boleh diterjemahkan ke dalam bahasa manapun. Di sini tiada seorang pun tahu bahasa Arab. Orang disini diajarkan membaca Alquran, tetapi yang dibacanya tiada yang ia mengerti. Demikian pengakuan dirinya tentang kebutaannya terhadap Alquran kepada Stella Zeehandelaar (18 Agustus 1899). Kartini merindukan tafsir Alquran agar dapat dipelajari.

Betapa bahagianya Kartini setelah mendapat penjelasan kandungan isi Alquran, seperti digambarkannya kepada EC Abendanon, ''Alangkah bebalnya, bodohnya kami, kami tiada melihat, tiada tahu, bahwa sepanjang hidup ada gunung kekayaaan di samping kami''. Dirasakannya ada semacam perintah Allah kepada dirinya, ''Barulah sekarang Allah berkehendak membuka hatimu, mengucap syukurlah!''

''Sekarang ini kami tiada mencari penghibur hati pada manusia, kami berpegang teguh teguh di tangan-Nya. Maka hari gelap gulita pun menjadi terang dan angin ribut pun menjadi sepoi-sepoi''. Kata habis gelap terbitlah terang selain tercetus 17 Agustus 1902 juga karena pengaruh cahaya yang menerangi lubuknya hatinya. Minazh zhulumati ilan nur Ini tafsiran Ahmad Mansur Suryanegara.

Akrab dengan ajaran Kristen


Di dalam buku yang ditulis Th Sumartana diakui bahwa Kartini lahir dan meninggal sebagai muslimat (hlm 67). Namun ia memiliki kedekatan dengan ajaran Kristen. Bagaimana pendapatnya tentang zending? Berbeda dengan uraian Ahmad Mansur Suryanegara, Th Sumartana melihat dari sudut pandang lain. Menurutnya, Kartini menganggap tidak jujur apabila zending memancing di air keruh dan mempropagandakan agama Kristen di tengah-tengah orang Jawa yang miskin, penuh penyakit dan bodoh, tanpa lebih dulu mendidik mereka, mengobati dan menolong mereka dari kemiskinan. Iman dan kepercayaan yang benar menurut Kartini hanya bisa dimiliki oleh orang-orang yang sudah benar-benar sadar memilih, dan mereka yang sudah dewasa (hlm 47). Jadi bagi Th Sumartana, persoalannya bukankah masalah mengkristenkan orang Islam, sebagaimana yang disoroti oleh banyak ulama.

Kartini menggambarkan bahwa ada hubungan yang dekat dan intim antara dirinya dengan Tuhannya. Kedekatannya dengan Tuhan tersebut pada gilirannya memperoleh gambaran tertentu yang diambil dari kehidupan keluarganya sendiri, yaitu hubungan antara bapak dan anak. Ia sendiri amat dekat dengan ayahnya, sekalipun dalam banyak perkara mereka tidak sependapat, hal itu tidak mengurangi rasa kasih sayang dan saling menghormati di antara mereka berdua.

Sebab itu ketika Ny van Kol mengintroduksi ungkapan ''Tuhan sebagai Bapa'', Kartini segera menyambutnya dengan semangat. Ungkapan tersebut dianggap tepat, sebagai cetusan pengalaman batinnya sendiri. Dengan demikian, dapat dipahami jikalau dalam surat-surat Kartini ungkapan Tuhan sebagai Bapa yang penuh kasih sayang tersebar di sana-sini. Dalam suratnya kepada Ny van Kol tanggal 20 Agustus 1902, ia menulis: ''Ibu sangat gembira... beliau ingin sekali bertemu dengan Nyonya agar dapat mengucapkan terima kasih secara pribadi kepada Nyonya atas keajaiban yang telah Nyonya ciptakan pada anak-anaknya; Nyonya telah membuka hati kami untuk menerima Bapa Cinta Kasih!''

Pada surat lain, Kartini menulis ''Agama dimaksudkan supaya memberi berkah. Untuk membentuk tali persaudaraan di antara semua makhluk Allah, berkulit putih dan cokelat. Tidak pandang pangkat, perempuan atau lelaki, kepercayaan semuanya kita ini anak Bapa yang Satu itu, Tuhan yang Maha Esa!''

Dari Ny van Kol pula Kartini belajar membaca Bijbel. Dan mengerti sebagian dari beberapa prinsip teologis dari ajaran Kristen. Malahan turut pula mengambil alih beberapa kata yang punya arti tertentu dalam cerita Al-Kitab, seperti Taman Getsemane, tempat Yesus berdoa dan menderita sengsara.

Dalam surat kepada Ny van Kol, Agustus 1901, Kartini menyebut bahwa derita neraka yang dialami oleh kaum perempuan itu disebabkan oleh ajaran Islam yang disampaikan oleh para guru agama pada saat itu. Agama Islam seolah membela egoisme lelaki. Menempatkan lelaki dalam hubungan yang amat enak dengan kaum perempuan, sedangkan kaum perempuan harus menanggungkan segala kesusahannya. Perkawinan cara Islam yang berlaku pada masa itu, dianggap tidak adil oleh Kartini. (hlm 41).

Itu bukan dosa, bukan pula aib; ajaran Islam mengizinkan kaum lelaki kawin dengan empat orang wanita sekaligus. Meskipun hal ini seribu kali tidak boleh disebut dosa menurut hukum dan ajaran Islam, selama-lamanya saya tetap menganggapnya dosa. Semua perbuatan yang menyebabkan sesama manusia menderita, saya anggap sebagai dosa. Dosa ialah menyakiti makhluk lain; manusia atau binatang. (hlm 41)

Kritik Kartini yang keras terhadap poligami mengesankan ia anti-Islam. Tetapi sebetulnya tidak demikian, ujar Haji Agus Salim. ''Suara itu haruslah menjadi peringatan kepada kita bahwa besar utang kita dan berat tanggungan kita akan mengobati kecelakaan dan menolak bahaya itu. Dan kepada marhumah yang mengeluarkan suara itu, tidaklah mengucapkan cela dan nista, melainkan doa mudah-mudahan diampuni Allah kekurangan pengetahuannya dengan karena kesempurnaan cintanya kepada bangsanya dan jenisnya.'' (hlm 43).

St Sunardi dosen Universitas Sanata Dharma Yogyakarta mengulas aspek emansipasi yang dilancarkan oleh Kartini yang mencakup emansipasi kelembagaan dalam bidang pendidikan, emansipasi keluarga, bahasa, dan olah rasa. Ginonjing adalah nama gending kegemaran Kartini dan adik-adiknya yang menggambarkan pengalaman batin yang tidak menentu. Ada suasana muram saat Kartini mengunyah ide emansipasi di Eropa dan membandingkan dengan keadaan di Jepara saat itu. ''Siapa pun yang terpilih oleh nasib menjadi ibu ruhani untuk melahirkan yang baru harus menanggung derita. Ini adalah hukum alam siapa yang melahirkan harus menanggung kesakitan saat melahirkan bayi yang teramat sangat kami cintai.''

Ternyata kemudian Kartini tidak jadi belajar ke negeri Belanda. Ia menerima lamaran Bupati Rembang yang sudah beristri tiga dan punya anak tujuh. Kartini memang manusia biasa dengan segala keterbatasannya. Namun wacana tentang perempuan yang satu ini masih tetap hidup baik di kalangan penganut aliran kepercayaan, Islam, Protestan, Katholik, dan komunis, dengan berbagai versi dan beraneka kepentingan.

Bagi Kartini semua agama sama, amal terhadap sesama manusia lebih penting dari syariat. Demikian interpretasi Pram. ''Habis gelap terbitlah terang'' disebabkan oleh karena lubuk hati Kartini telah memperoleh nur Ilahi, demikian pendapat Ahmad Mansyur Suryanegara. ''Tuhan sebagai Bapa'', merupakan cetusan hati Kartini, begitu ujar Th Sumartana. ''Ibu rohani menanggung derita'', ucap St Sunardi. Meskipun bersuara keras menentang poligami, Kartini bukan anti-Islam, kata Haji Agus Salim.

Kartini tampaknya ditakdirkan menjadi milik semua golongan dan diperebutkan oleh berbagai kepentingan. Pertanyaan yang dapat diajukan di sini, mana yang lebih penting apakah label agama/ideologi seseorang atau perjuangannya untuk emansipasi bangsa? (RioL)

Asvi Warman Adam
Sejarawan LIPI, Visiting Fellow pada KITLV Leiden

“Habis Gelap Terbitlah Terang” Sesungguhnya Adalah Cahaya Islam.


imagesesunggunya di akhir hidup Kartini, Kartini sedang semangat-semangatnya mempelajari Islam, dengan Kyai yang ada di keratonnya. Ketika Kartini mempelajari Islam, dia katakan bahwa sesungguhnya agama Islam tidak memarjinalkan perempuan. Sehingga sesungguhnya semangat Kartini bukan semangat emansipasi, tetapi menuntut bahwa perempuan juga seharusnya diberikan hak untuk mendapatkan pendidikan, karena pendidikan adalah jendela dari seluruh kemajuan.

Tanggal 21 April oleh bangsa Indonesia di abadikan sebagai hari Kartini. Dengan maksud untuk mengenang semangat Kartini dalam memberdayakan kaum perempuan. Apa sebenarnya yang diperjuangkan oleh Kartini? Apa kaitannnya dengan semangat perjuangan Islam. Berikut ini adalah wawancara PKS Online, dengan Anggota Komisi A DPRD DKI Jakarta dari Fraski PKS, Maria Ahdiati. Berikut nukilannya.

Bagaimana pendapat Ibu tentang perayaan Hari Kartini di Indonesia?

Saya melihat perayaan hari Kartini itu harusnya lebih di lihat lagi substansinya. Jadi bukan sekedar pada acara-acara seremonial, atau pemakaian kebaya. Bukan berarti saya anti itu. Tapi marilah kita lihat, bahwa perayaan hari Kartini itu kita lihat secara subtansinya. Kalau Kartini punya semangat pemberdayaan wanita, maka itu juga yang seharusnya diperhatikan oleh kita.

Sekarang inikan bangsa Indonesia dengan berbagai krisis, termasuk yang sedang hangat yaitu kenaikan BBM, saya merasa bahwa yang kena dampak langsung dari kenaikkan BBM adalah kaum perempuan. Karena contoh terkecil di rumahnya, perempuanlah yang paling depan menghadapi itu. Mulai dari kemampuan dia mengatur keuangan supaya bisa mencukupi seluruh kebutuhan keluarganya, termasuk anak-anaknya. Jadi saya melihat, yang mestinya ditekankan sekarang adalah semangat pemberdayaan perempuan di semua lini kehidupan.

Jadi hal apa yang harus dilakukan oleh perempuan Indonesia di hari Kartini ?

Saya pikir tidak terbatas pada kegiatan di hari Kartininya saja. Sepanjang tahun, sepanjang waktu, semestinya semangat pemberdayaan perempuan itu harusnya ada. Bukan saja pada saat hari Kartini itu ada seminar, ada hal-hal yang sifatnya formalitas, tapi lebih kepada penyadaran. Bolehlah di hari Kartini ada semacam seminar atau lokakarya tentang pemberdayaan perempuan, tapi itu bukan hanya selesai di atas kertas, selesai ketika seminar itu usai, tapi harus ada tindak lanjut yang nyata.

Sebenarnya sosok Kartini itu di mata Ibu seperti apa?

Saya melihat Kartini sosok perempuan yang baik, yang ketika itu pada jamannya, Kartini adalah sebuah fenomena yang tidak umum. Karena pada zaman itu, wanita itukan hanya diberikan peluang untuk lebih banyak dikehidupan domestik, sampai untuk sekolah pun Kartini harus berjuang begitu tingginya untuk menyelesaikan Sekolah Rakyat. Jadi saya melihat sosok Kartini adalah sosok yang memang memiliki semangat pemberdayaan wanita, yang saat itu memang belum umum. Apalagi ketika saya membaca, bahwa sesunggunya di akhir hidup Kartini, Kartini sedang semangat-semangatnya mempelajari Islam, dengan Kyai yang ada di keratonnya. Saya pikir, bila Kartini hidup lebih lama lagi, dia akan menemukan bahwa “Habis Gelap Terbitlah Terang” itu sesungguhnya adalah cahaya Islam.

Yang dipahami selama ini, apa yang diperjuangkan Kartini adalah emansipasi, persamaan derajat antara pria dan wanita. Pendapat ibu?

Inilah yang kemudian orang dengan mudah membelokkan sejarah. Maka, kita harus benar-benar jeli mempelajari sejarah dan mensosialisasikannya kepada perempuan dan bangsa ini pada umumnya. Bahwa sesungguhnya, Kartini ketika belum begitu dalam mempelajari Islam, mungkin saja emansipasi yang sekarang ditafsirkan seperti itu. Tapi sesungguhnya ketika Kartini mempelajari Islam, dia katakan bahwa sesungguhnya agama Islam tidak memarjinalkan perempuan. Sehingga sesungguhnya semangat Kartini bukan semangat emansipasi, tetapi menuntut bahwa perempuan juga seharusnya diberikan hak untuk mendapatkan pendidikan, karena pendidikan adalah jendela dari seluruh kemajuan.

Berarti apa yang diperjuangkan Kartini sesuai dengan ajaran Islam?

Ya, kalau kita baca sejarahnya secara rinci, bahwa Kartini itu tidak meminta emansipasi, tapi menuntut hak perempuan untuk memperoleh pendidikan, dan itu oleh Islam 15 abad yang lalu sudah diberikan keleluasaan bagi perempuan untuk mendapatkan pendidikan.

Apa yang bisa dipetik perempuan Indonesia umumnya dan perempuan PKS khususnya, dari perjuangan yang sudah dilakukan oleh Kartini?

Sesungguhnya, ketika nilai-nilai kebaikkan itu datangnya dari mana saja, ketika itu sesuai dengan nilai-nilai Islam, ya kita harus junjung. Begitu juga ketika kita lihat Kartini begitu gigih memperjuangkan hak memperoleh pendidikan kita dukung itu. Apalagi sekarang kesempatan perempuan untuk memperoleh pendidikan itu sudah terbuka sangat luas. Sehingga tentu saja kita harus dorong kaum perempuan, minimal pemahaman kesadaran pada pendidikannya itu harus terus kita bangun. Karena bagaimanapun karena perempuannya terdidik dalam artian bukan saja dari segi teknologi, tapi iman dan taqwanya juga, maka Insya Allah ke depan nasib bangsa ini akan lebih baik.

Apa yang bisa dimanfaatkan oleh perempuan PKS pada momen ini, untuk mengembangkan dakwah?

Sekali lagi kita tidak ingin terjebak dengan momen-momen tertentu, tapi tidak ada salahnya ini dijadikan momen untuk terus memperjuangkan, terus mensosialisasikan tentang perlunya pemberdayaan perempuan Dan saya pikir kader-kader PKS sudah berbuat di lapangan, tanpa mendengung-dengungkan bahwa ini adalah cita-cita Kartini. Saya melihat bahwa kader-kader PKS dengan dana sendiri, dengan tenaga yang mereka miliki, dengan kegiatan Pos Keluarga Keadilan, majelis taklimnya atau TPA-TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an - Red) yang mereka bina, saya pikir itu adalah sebuah kerja nyata untuk melanjutkan perjuangan Kartini. (Ningsih/PKS)




Sejarah 24

Baca : Kuil Sulaiman, Alasan Penghancuran Masjidil Aqsha


Selama beberapa hari terakhir ini, Masjidul Aqsa telah menyaksikan konspirasi baru. Kiblat pertama umat Islam ini, yang juga merupakan tempat suci bagi para penganut Kristen dan Yahudi telah diancam akan dihancurkan oleh kelompok ekstrim Zionis pada tanggal 10 April.

Menurut kelompok ekstrim Zionis, tanggal 10 April adalah hari raya suci orang-orang Yahudi dan oleh karena itu, mereka akan merusak Masjidul Aqsa pada hari itu. Tujuan utama aksi orang-orang Zionis ekstrim itu adalah untuk memaksa Perdana Menteri Rezim Zionis, Ariel Sharon, agar membatalkan program pembubaran kota-kota pendudukan Zionis di Jalur Gaza. Namun ancaman itu berhasil digagalkan setelah puluhan ribu rakyat Palestina bersiaga di seputar Masjidul Aqsa.

Rakyat Palestina selama 57 tahun terakhir ini tidak pernah mau menyerah di hadapan penindasan Rezim Zionis. Kali inipun, ancaman yang dilemparkan oleh kelompok ekstrim Rezim Zionis mendapatkan penentangan keras dari rakyat Palestina. Sebanyak 20 ribu warga muslim dari berbagai penjuru Palestina berkumpul dan bersiaga di Masjidul Aqsa.

Meskipun dihalang-halangi tentara Rezim Zionis yang melarang rakyat Palestina berusia di bawah 40 tahun untuk datang ke Masjidul Aqsa, namun warga Palestina dengan gigih membanjiri Masjidul Aqsa. Perlindungan warga Palestina, dan juga reaksi keras umat Islam dari berbagai penjuru dunia, telah menyebabkan konspirasi untuk merusak Masjidul Aqsa itu ditunda sementara waktu. Namun, kelompok ekstrim Zionis tetap mengancam akan melaksanakan aksi mereka tanggal 9 Mei mendatang.

Diskriminasi dan ancaman terhadap Masjidul Aqsa mempunyai sejarah yang cukup panjang. Pada era Perang Arab-Israel yang meletus tahun 1968, Rezim Zionis berhasil menguasai wilayah Baitul Maqdis dimana Masjidul Aqsa berada. Sejak saat itulah, berbagai usaha perusakan terhadap Masjidul Aqsa telah dimulai. Pada tahun 1969, seorang ekstrimis Zionis telah membakar Masjidul Aqsa sehingga mengakibatkan kerusakan yang cukup parah terhadap masjid itu. Pada tahun 1975, kabinet Rezim Zionis telah memberi izin kepada kelompok ekstrim Zionis untuk masuk ke tempat suci ini dan melakukan upacara agama mereka. Padahal berdasarkan kepada ajaran agama Yahudi, hadir di halaman Masjidul Aqsa adalah sebuah perbuatan yang terlarang.

Pada awal dekade 1980-an terungkap rencana peledakan terhadap Masjidul Aqsa. Pada tahun 2000, Ariel Sharon menjejakkan kakinya di Masjidul Aqsa dan mengeluarkan pernyataan yang menghina umat Islam. Perilaku Sharon ini telah menimbulkan kemarahan dan kebencian umat Islam dari berbagai penjuru dunia. Penghinaan Sharon ini kemudian memicu kebangkitan perjuangan bangsa Palestina untuk kedua kalinya, yang disebut sebagai Intifadah Masjidul Aqsa.

Sejak saat itu hingga sekarang, Rezim Zionis melakukan berbagai konspirasi jahat yang bertujuan memusnahkan Masjidul Aqsa, antara lain dengan menggali terowongan di bawah fondasi masjid itu dan mengalirkan air ke dalamnya. Tujuan dari perbuatan ini adalah untuk merapuhkan pondasi Masjidul Aqsa. Berbagai usaha penghancuran Masjidul Aqsa yang dilakukan Zionis telah membuat masjid ini menjadi tempat suci yang paling mazlum di dunia.

Kini, muncul pertanyaan penting, mengapa orang-orang Zionis sangat berambisi menghancurkan Masjidul Aqsa? Jawaban atas pertanyaan ini ada dua. Pertama, Masjidul Aqsa adalah simbol solidaritas dan persatuan umat Islam dalam menentang Rezim Zionis. Selama Masjidul Aqsa masih berdiri, umat Islam akan terus termotivasi untuk berjuang membebaskan masjid itu dari tangan Rezim Zionis. Masjidul Aqsa juga memberikan inspirasi kepada rakyat Palestina untuk terus bangkit menentang kezaliman Zionis.

Kedua, Masjidul Aqsa diklaim oleh kelompok Yahudi ekstrim sebagai bangunan yang didirikan di atas rumah ibadah mereka yang dulu dibangun oleh Nabi Sulaiman. Kelompok Yahudi ekstrim ingin menghancurkan Masjidul Aqsa dan membangun kembali Kuil Sulaiman di atasnya. Padahal, tidak ada dokumen atau bukti apapun yang membenarkan klaim kelompok Yahudi ekstrim ini. Kelompok Yahudi ekstrim yang ingin merealisasikan rencana penghancuran Masjidul Aqsa ini bekerja sama dengan pemerintahan Tel Aviv. Sepanjang dua dekade lalu, banyak sekali kelompok-kelompok Yahudi ekstrim yang berdiri. Meskipun jumlah anggota kelompok-kelompok itu tidak banyak, tetapi mereka memiliki kekuasaan ekonomi, propaganda, dan politik yang besar.

Meskipun Pemerintah Tel Aviv sering mengeluarkan pernyataan kecaman terhadap kelompok-kelompok ekstrim itu, namun sesungguhnya Tel Aviv selalu memberi dukungan kepada mereka secara sembunyi-sembunyi. Dalam konspirasi terbaru kelompok Yahudi ekstrim untuk memusnahkan Masjidul Aqsa, Pemerintah Zionis memang melakukan berbagai langkah yang seolah-olah menentang aksi-aksi kelompok ekstrim itu. Padahal, sesungguhnya pemerintah Zionis menjalin koordinasi dengan kelompok-kelompok ekstrim ini, sebagaimana diungkapkan oleh sebagian media massa Zionis. Penetapan tanggal baru untuk menghancurkan Masjidul Aqsa juga mengindikasikan adanya koordinasi antara pemerintah Zionis dengan kelompok Yahudi ekstrim. Diprediksikan, krisis ini akan terus berlanjut sampai Tel Aviv mencapai tujuan jahat mereka.

Para pengamat politik menyatakan, konspirasi baru kelompok ekstrim Yahudi terhadap Masjidul Aqsa sesungguhnya berada dalam agenda Perdana Menteri Rezim Zionis, Ariel Sharon. Sebagaimana diketahui, atas tekanan sekutu-sekutunya, Sharon terpaksa menyetujui program pengosongan kawasan-kawasan pemukiman Yahudi di Jalur Gaza. Dengan meningkatnya berbagai aksi kerusuhan dan munculnya ancaman-ancaman dari kelompok ekstrim Yahudi, Sharon menjadi punya alasan untuk mengingkari janjinya mengosongkan kota-kota Zionis di Jalur Gaza.

Sementara itu, janji pengosongan kota-kota Zionis di Jalur Gaza, juga dimanfaatkan Sharon untuk membangun kawasan-kawasan pemukiman baru di sekitar Baitul Maqdis. Dengan cara ini, Masjidul Aqsa akan terkepung di tengah-tengah kawasan-kawasan pemukiman Zionis. Selanjutnya, jumlah penduduk Zionis di Baitul Maqdis akan meningkat dan umat Islam Palestina diusir keluar dari sana. Langkah ini disebut sebagai langkah judaisasi Baitul Maqdis. Dalam sebuah media massa dimuat pernyataan seorang ekstrimis Zionis yang mengatakan, “Orang-orang Yahudi tidak boleh merasa cukup dengan sekadar membangun kembali Kuil Sulaiman menggantikan Masjidul Aqsa. Mereka juga harus mengusir orang-orang Palestina yang tinggal di kawasan timur Baitul Maqdis agar kota ini bersih dari identitas Palestina dan Islam.”

Dalam rangka menguasai Masjidul Aqsa, Presiden Israel, Moshe Katzav, juga mengajukan proposal lain, yaitu agar masjid ini dibagi dua antara kaum Muslimin dan kaum Yahudi. Tujuan di balik proposal ini sudah jelas, yaitu agar kaum Zionis memiliki akses yang lebih besar terhadap Masjidul Aqsa, sehingga mereka dengan mudah dapat menghancurkannya. Mengingat bahwa proposal Presiden Katzav ini diajukan dengan kerjasama antara pemerintah Zionis dan kelompok-kelompok ekstrim Yahudi, terungkaplah kenyataan bahwa kedua pihak itu sesungguhnya berada dalam satu front, yaitu ingin menghancurkan Masjidul Aqsa. (irib)


Sejarah 23

Baca Juga : Kilas balik Perang Salib
image

Saat perang Salib, tentara Kristen, Jerman, Yahudi membantai orang Islam di jalan-jalan. Berbalik 180 derajat dengan perlakuan pasukan Islam terhadap pasukan Kristen. Simak akhlaq Salahuddin al-Ayyubi

“Pemandangan mengagumkan akan terlihat. Beberapa orang lelaki kami memenggal kepala-kepala musuh; lainnya menembaki mereka dengan panah-panah, sehingga mereka berjatuhan dari menara-menara; lainnya menyiksa mereka lebih lama dengan memasukkannya ke dalam api menyala. Tumpukan kepala, tangan, dan kaki terlihat di jalan-jalan kota. Kami berjalan di atas mayat-mayat manusia dan kuda. Tapi ini hanya masalah kecil jika dibandingkan dengan apa yang terjadi di Biara Sulaiman, tempat dimana ibadah keagamaan kini dinyanyikan kembali. Di sana, para pria berdarah-darah disuruh berlutut dan dibelenggu lehernya.”

Kisah di atas bukan skenario film yang fiktif, tapi sungguh-sungguh pernah terjadi. Itu adalah pengakuan seseorang bernama Raymond, salah satu serdadu Perang Salib. Pengakuan ini didokumentasikan oleh August C Krey, penulis buku The First Crusade: The Accounts of Eye-Witnesses and Praticipants (Princeton & London: 1991).

Bagi kaum Muslimin, Perang Salib I memang menyesakkan. Menurut catatan Krey, hanya dalam tempo dua hari, 40.000 kaum Muslimin dan Yahudi di sekitar Palestina, baik pria maupun wanita, dibantai secara massal dengan cara tak berperikemanusiaan. Cara pembantaiannya tergambar dalam pengakuan Raymond di atas.

Sepak Terjang Tentara Salib


Sampai abad ke-11 M, di bawah pemerintahan kaum Muslimin, Palestina merupakan kawasan yang tertib dan damai. Orang-orang Yahudi, Nasrani, dan Islam hidup bersama. Kondisi ini tercipta sejak masa Khalifah Umar bin Khattab (638 M) yang berhasil merebut daerah ini dari kekaisaran Byzantium (Romawi Timur). Namun kedamaian itu seolah lenyap ditelan bumi begitu Tentara Salib datang melakukan invasi.

Ceritanya bermula ketika orang-orang kekhalifahan Turki Utsmani merebut Anatolia (Asia Kecil, sekarang termasuk wilayah Turki) dari kekuasaan Alexius I. Petinggi kaum Kristen itu segera minta tolong kepada Paus Urbanus II, guna merebut kembali wilayah itu dari cengkeraman kaum yang mereka sebut “orang kafir”.

Paus Urbanus II segera memutuskan untuk mengadakan ekspedisi besar-besaran yang ambisius (27 November 1095). Tekad itu makin membara setelah Paus menerima laporan bahwa Khalifah Abdul Hakim—yang menguasai Palestina saat itu—menaikkan pajak ziarah ke Palestina bagi orang-orang Kristen Eropa. “Ini perampokan! Oleh karena itu, tanah suci Palestina harus direbut kembali,” kata Paus.

Perang melawan kaum Muslimin diumumkan secara resmi pada tahun 1096 oleh Takhta Suci Roma. Paus juga mengirim surat ke semua raja di seluruh Eropa untuk ikut serta. Mereka dijanjikan kejayaan, kesejahteraan, emas, dan tanah di Palestina, serta surga bagi para ksatria yang mau berperang.

Paus juga meminta anggota Konsili Clermont di Prancis Selatan—terdiri atas para uskup, kepala biara, bangsawan, ksatria, dan rakyat sipil—untuk memberikan bantuan. Paus menyerukan agar bangsa Eropa yang bertikai segera bersatu padu untuk mengambil alih tanah suci Palestina. Hadirin menjawab dengan antusias, “Deus Vult!” (Tuhan menghendakinya!)

Dari pertemuan terbuka itu ditetapkan juga bahwa mereka akan pergi perang dengan memakai salib di pundak dan baju. Dari sinilah bermula sebutan Perang Salib (Crusade). Paus sendiri menyatakan ekspedisi ini sebagai “Perang Demi Salib” untuk merebut tanah suci.

Mobilisasi massa Paus menghasilkan sekitar 100.000 serdadu siap tempur. Anak-anak muda, bangsawan, petani, kaya dan miskin memenuhi panggilan Paus. Peter The Hermit dan Walter memimpin kaum miskin dan petani. Namun mereka dihancurkan oleh Pasukan Turki suku Seljuk di medan pertempuran Anatolia ketika perjalanan menuju Baitul Maqdis (Yerusalem).

Tentara Salib yang utama berasal dari Prancis, Jerman, dan Normandia (Prancis Selatan). Mereka dikomandani oleh Godfrey dan Raymond (dari Prancis), Bohemond dan Tancred (keduanya orang Normandia), dan Robert Baldwin dari Flanders (Belgia). Pasukan ini berhasil menaklukkan kaum Muslimin di medan perang Antakiyah (Syria) pada tanggal 3 Juni 1098.

Sepanjang perjalanan menuju Palestina, Tentara Salib membantai orang-orang Islam. Tentara Jerman juga membunuhi orang-orang Yahudi. Rombongan besar ini akhirnya sampai di Baitul Maqdis pada tahun 1099. Mereka langsung melancarkan pengepungan, dan tak lupa melakukan pembantaian. Sekitar lima minggu kemudian, tepatnya 15 Juli 1099, mereka berhasil merebut Baitul Maqdis dari tangan kaum Muslimin. Kota ini akhirnya dijadikan ibukota Kerajaan Katolik yang terbentang dari Palestina hingga Antakiyah.

Teladan Shalahuddin Al-Ayyubi


Pada tahun 1145-1147 pecah Perang Salib II. Namun perang besar-besaran terjadi pada Perang Salib III. Di pihak Kristen dipimpin Phillip Augustus dari Prancis dan Richard “Si Hati Singa” dari Inggris, sementara kaum Muslimin dipimpin Shalahuddin Al-Ayyubi.

Pada masa itu, Kekhalifahan Islam terpecah menjadi dua, yaitu Dinasti Fathimiyah di Kairo (bermazhab Syi’ah) dan Dinasti Seljuk yang berpusat di Turki (bermazhab Sunni). Kondisi ini membuat Shalahuddin prihatin. Menurutnya, Islam harus bersatu untuk melawan Eropa-Kristen yang juga bahu-membahu.

Pria keturunan Seljuk ini kebetulan mempunyai paman yang menjadi petinggi Dinasti Fathimiyyah. Melalui serangkaian lobi, akhirnya Shalahuddin Al-Ayyubi berhasil menyatukan kedua kubu dengan damai.

Pekerjaan pertama selesai. Shalahuddin kini dihadapkan pada perilaku kaum Muslimin yang tampak loyo dan tak punya semangat jihad. Mereka dihinggapi penyakit wahn (cinta dunia dan takut mati). Spirit perjuangan yang pernah dimiliki tokoh-tokoh terdahulu tak lagi membekas di hati.

Shalahuddin lantas menggagas sebuah festival yang diberi nama peringatan Maulid Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tujuannya untuk menumbuhkan dan membangkitkan spirit perjuangan. Di festival ini dikaji habis-habisan sirah nabawiyah (sejarah nabi) dan atsar (perkataan) sahabat, terutama yang berkaitan dengan nilai-nilai jihad.

Festival ini berlangsung dua bulan berturut-turut. Hasilnya luar biasa. Banyak pemuda Muslim yang mendaftar untuk berjihad membebaskan Palestina. Mereka pun siap mengikuti pendidikan kemiliteran.

Salahuddin berhasil menghimpun pasukan yang terdiri atas para pemuda dari berbagai negeri Islam. Pasukan ini kemudian berperang melawan Pasukan Salib di Hattin (dekat Acre, kini dikuasai Israel). Orang-orang Kristen bahkan akhirnya terdesak dan terkurung di Baitul Maqdis. Kaum Muslimin meraih kemenangan (1187).

Dua pemimpin tentara Perang Salib, Reynald dari Chatillon (Prancis) dan Raja Guy, dibawa ke hadapan Salahuddin. Reynald akhirnya dijatuhi hukuman mati karena terbukti memimpin pembantaian yang sangat keji kepada orang-orang Islam. Namun Raja Guy dibebaskan karena tidak melakukan kekejaman yang serupa.

Tiga bulan setelah pertempuran Hattin, pada hari yang tepat sama ketika Nabi Muhammad diperjalankan dari Mekah ke Yerusalem dalam Isra’ Mi’raj, Salahuddin memasuki Baitul Maqdis. Kawasan ini akhirnya bisa direbut kembali setelah 88 tahun berada dalam cengkeraman musuh.

Sejarawan Inggris, Karen Armstrong, menggambarkan, pada tanggal 2 Oktober 1187 itu, Shalahuddin dan tentaranya memasuki Baitul Maqdis sebagai penakluk yang berpegang teguh pada ajaran Islam yang mulia. Tidak ada dendam untuk membalas pembantaian tahun 1099, seperti yang dianjurkan Al-Qur`an dalam surat An-Nahl ayat 127: “Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaran itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan.”

Permusuhan dihentikan dan Shalahuddin menghentikan pembunuhan. Ini sesuai dengan firman dalam Al-Qur`an: “Dan perangilah mereka sehingga tidak ada fitnah lagi dan agama itu hanya untuk Allah. Jika mereka berhenti (memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan lagi, kecuali terhadap orang-orang yang zhalim.” (Al-Baqarah: 193)

Tak ada satu orang Kristen pun yang dibunuh dan tidak ada perampasan. Jumlah tebusan pun disengaja sangat rendah. Shalahuddin bahkan menangis tersedu-sedu karena keadaan mengenaskan keluarga-keluarga yang hancur terpecah-belah. Ia membebaskan banyak tawanan, meskipun menyebabkan keputusasaan bendaharawan negaranya yang telah lama menderita. Saudara lelakinya, Al-Malik Al-Adil bin Ayyub, juga sedih melihat penderitaan para tawanan sehingga dia meminta Salahuddin untuk membawa seribu orang di antara mereka dan membebaskannya saat itu juga.

Beberapa pemimpin Muslim sempat tersinggung karena orang-orang Kristen kaya melarikan diri dengan membawa harta benda, yang sebenarnya bisa digunakan untuk menebus semua tawanan. [Uskup] Heraclius membayar tebusan dirinya sebesar sepuluh dinar seperti halnya tawanan lain, dan bahkan diberi pengawal pribadi untuk mempertahankan keselamatan harta bendanya selama perjalanan ke Tyre (Libanon).

Shalahuddin meminta agar semua orang Nasrani Latin (Katolik) meninggalkan Baitul Maqdis. Sementara kalangan Nasrani Ortodoks--bukan bagian dari Tentara Salib—tetap dibiarkan tinggal dan beribadah di kawasan itu.

Kaum Salib segera mendatangkan bala bantuan dari Eropa. Datanglah pasukan besar di bawah komando Phillip Augustus dan Richard “Si Hati Singa”.

Pada tahun 1194, Richard yang digambarkan sebagai seorang pahlawan dalam sejarah Inggris, memerintahkan untuk menghukum mati 3000 orang Islam, yang kebanyakan di antaranya wanita-wanita dan anak-anak. Tragedi ini berlangsung di Kastil Acre. Meskipun orang-orang Islam menyaksikan kekejaman ini, mereka tidak pernah memilih cara yang sama.

Suatu hari, Richard sakit keras. Mendengar kabar itu, Shalahuddin secara sembunyi-sembunyi berusaha mendatanginya. Ia mengendap-endap ke tenda Richard. Begitu tiba, bukannya membunuh, malah dengan ilmu kedokteran yang hebat Shalahudin mengobati Richard hingga akhirnya sembuh.

Richard terkesan dengan kebesaran hati Shalahuddin. Ia pun menawarkan damai dan berjanji akan menarik mundur pasukan Kristen pulang ke Eropa. Mereka pun menandatangani perjanjian damai (1197). Dalam perjanjian itu, Shalahuddin membebaskan orang Kristen untuk mengunjungi Palestina, asal mereka datang dengan damai dan tidak membawa senjata. Selama delapan abad berikutnya, Palestina berada di bawah kendali kaum Muslimin.

***

Perang Salib IV berlangsung tahun 1204. Bukan antara Islam dan Kristen, melainkan antara Takhta Suci Katolik Roma dengan Takhta Kristen Ortodoks Romawi Timur di Konstantinopel (sekarang Istambul, Turki).

Pada Perang Salib V berlangsung tahun 1218-1221. Orang-orang Kristen yang sudah bersatu berusaha menaklukkan Mesir yang merupakan pintu masuk ke Palestina. Tapi upaya ini gagal total.

Kaisar Jerman, Frederick II (1194-1250), mengobarkan Perang Salib VI, tapi tanpa pertempuran yang berarti. Ia lebih memilih berdialog dengan Sultan Mesir, Malik Al-Kamil, yang juga keponakan Shalahuddin. Dicapailah Kesepakatan Jaffa. Isinya, Baitul Maqdis tetap dikuasai oleh Muslim, tapi Betlehem (kota kelahiran Nabi Isa ‘alaihis-salaam) dan Nazareth (kota tempat Nabi Isa dibesarkan) dikuasai orang Eropa-Kristen.

Dua Perang Salib terakhir (VII dan VIII) dikobarkan oleh Raja Prancis, Louis IX (1215-1270). Tahun 1248 Louis menyerbu Mesir tapi gagal dan ia menjadi tawanan. Prancis perlu menebus dengan emas yang sangat banyak untuk membebaskannya.

Tahun 1270 Louis mencoba membalas kekalahan itu dengan menyerang Tunisia. Namun pasukannya berhasil dikalahkan Sultan Dinasti Mamaluk, Bibars. Louis meninggal di medan perang.

Sampai di sini periode Perang Salib berakhir. Namun, beberapa sejarawan Katholik menganggap bahwa penaklukan Konstantinopel oleh Sultan Muhammad II Al-Fatih dari Turki (1453) juga sebagai Perang Salib. Penaklukan Islam oleh Ratu Spanyol, Isabella (1492), juga dianggap Perang Salib.* (Agung Pribadi, Pambudi/Hidayatullah) Sumber: Majalah Hidayatullah edisi Desember 2004.