Kamis, 13 Februari 2014

Sejarah 5

(Mengenang 95 Tahun Mohammad Natsir)
Oleh : Israr

Di era reformasi, sejumlah kalangan sejarawan dan intelektual kembali mengingatkan perihal kecenderungan bangsa Indonesia yang terus memupuk dendam sejarah. Pemupukan dan pewarisan dendam sejarah itu dianggap berbahaya, karena anak bangsa atau generasi penerus tidak akan pernah dapat memetik hikmah dan kearifan dari peristiwa masa lalu untuk kegunaan masa kini dan masa depan.

Karena itu, "rekonsiliasi sejarah" mendesak untuk dilakukan oleh bangsa Indonesia. Upaya ini merujuk kepada pengertian bahwa anak bangsa mesti dapat melihat kembali sejarah bangsanya secara jernih, jujur, adil, dan objektif, sesuai dengan "standar" akademis. Usaha itu pertama-tama tentu dapat dilakukan melalui rekonstruksi sejarah yang selama ini dianggap lebih banyak menurut selera penguasa. Ikhtiar lain berupa penghargaan yang proporsional terhadap tokoh-tokoh pelaku sejarah yang telah berjasa kepada bangsa dan kemanusiaan.

Mohammad Natsir (1908-1993) adalah salah satu founding father Republik Indonesia yang hingga kini dinilai belum mendapatkan penghargaan yang layak dari bangsanya sendiri. Dalam sejarah nasional posisinya pun masih "kabur". Keadaan itu telah berlangsung sejak era Orde Baru dan berlanjut hingga era reformasi ini.

Padahal jasa-jasa mantan Perdana Menteri RI setelah kembali ke negara kesatuan (1950-1951) itu sangat besar kepada bangsa dan negara. Pada momentum 95 tahun Mohammad Natsir sekarang ini, ada baiknya wacana kesadaran historis itu digugah kembali, agar anak-anak bangsa dapat memetik hikmah dan kearifan dari sejarah.

Berdasarkan beberapa literatur sejarah, sulit dipungkiri bahwa sosok Mohammad Natsir yang lahir di Alahan Panjang, Sumatera Barat, 17 Juli 1908 dan wafat di Jakarta, 16 Februari 1993 nampak ibarat sebuah prisma. Banyak segi dan banyak pula sinarnya. Dalam pelbagai bidang yang digelutinya, dia selalu tampil di garda depan. Sebagai politisi, ia pernah sampai ke puncak: ketua umum Partai Masyumi, partai politik Islam terbesar di masa lalu, dan PM RI pertama setelah kembali ke negara kesatuan (1950-1951).

Sebagai ulama, ia merintis dan memimpin Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), sebuah lembaga dakwah terkemuka di Tanah Air. Selaku intelektual, Natsir mungkin seorang ulul-albab: tidak sekadar punya wawasan ilmu yang luas, tetapi juga menaruh keprihatinan, memikirkan, dan mencoba mencari jalan keluar bagi persoalan yang dihadapi bangsanya. Dari semua posisi historis itu, Natsir juga terkenal sebagai pemimpin yang mempraktikkan pola hidup sederhana, santun, jujur, demokratis, dan moderat sejauh moderasi itu tidak melanggar hal-hal yang dinilainya sebagai prinsip.

Namun citra positif Natsir tersebut agaknya perlu disosialisasikan lebih lanjut kepada generasi sekarang dan masa depan. Bagi mereka, seperti disinggung di muka, Natsir barangkali sudah menjadi sebuah gambaran yang kabur di masa lalu. Dalam bacaan sejarah di sekolah-sekolah, nama Natsir mungkin terletak di lembaran hitam atau paling tidak kelabu.

Natsir kira-kira diasosiasikan dengan tokoh ekstrem, fundamentalis, dan sejenisnya - seandainya itupun masuk dalam bacaan mereka. Di samping itu, Natsir juga tergambar "kritis" terhadap idiologi Pancasila, karena dalam sidang-sidang Konstituante tahun 1950-an, ia merupakan tokoh nomor satu yang memperjuangkan dasar negara Islam.

Natsir bahkan kemudian dicitrakan sebagai "pemberontak", lantaran di akhir tahun 1950-an ia "bergabung" dengan gerakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Padahal PRRI sendiri tak bisa serta merta dituding sebagai makar, tanpa memahami secara baik setting sosial politik dekade 1950-an. Dalam kaitan ini, kadar keterlibatan tiap tokoh dalam PRRI itu pun sangat beragam. Natsir diketahui "bergabung" dengan PRRI lebih belakangan.

Ia semula di Jakarta, tapi karena terus mendapatkan teror dari antek-antek PKI, ia bersama beberapa tokoh Masyumi lainnya terpaksa meninggalkan Ibukota menuju Sumatera Barat, basis PRRI. Dan Natsir, seperti dituturkan Kahin dan Kahin (1997:162), sebenarnya tidak banyak ikut serta dalam proses gerakan yang berujung "perang saudara" itu. Satu hal penting lagi: Natsir menolak cara-cara konfrontasi untuk menekan Jakarta.

Mungkin perlu disadari bahwa sebagai manusia, di antara tokoh-tokoh nasional masa lalu juga memiliki "dosa-dosa politik". Sebutlah nama Sukarno, proklamator dan Presiden RI pertama. Sukarno dianggap memiliki "dosa-dosa politik", antara lain karena telah mengeluarkan Dekrit Presiden 1959 yang "melegalisasi" pembubaran Konstituante hasil Pemilu 1955, memberi ruang hidup kepada PKI, serta memaklumkan Demokrasi Terpimpin. Jenderal AH Nasution, mantan KSAD, juga dianggap punya dosa-dosa politik, karena ia dinilai telah "mendorong" dan mendukung keluarnya Dekrit Presiden 1959 itu.

Seiring perjalanan waktu, beberapa tokoh besar masa lalu kemudian menerima perlakuan tidak pantas dari rezim berkuasa. Sebagian di antara mereka telah mengalami nasib tragis sejak masa Demokrasi Terpimpin, khususnya yang "terlibat" PRRI/Permesta atau para penentang rezim otoriter itu.

Di samping Natsir, perlakuan pahit misalnya juga dialami Sutan Sjahrir, bekas PM RI pertama, Sumitro Djojohadikusumo, salah satu "arsitek" PRRI, serta beberapa tokoh Masyumi dan PSI lainnya. Pola perlakuan semacam itu terus berlanjut ke era rezim berikutnya. Bahkan di era Orde Baru, Sukarno sendiri juga mengalami perlakuan yang tragis secara personal maupun peran kesejarahannya.

Tetapi seburuk-buruk nasib Sjahrir, ia masih lebih beruntung dibandingkan Natsir. Ditahan sebagai pengkhianat negara selama tiga tahun, tetapi di hari meninggalnya tahun 1966, tokoh sosialis ini langsung dianugerahi Pahlawan Nasional.

Sedangkan Sukarno, meskipun berpuluh-puluh tahun dikebiri rezim Soeharto, nasibnya kelak masih jauh lebih beruntung ketimbang Natsir. Berbagai atribut dan penghormatan, seperti Pahlawan Nasional telah disandangkan ke pundaknya. Terakhir penghargaan nasional itu tercermin dari peringatan kolosal Satu Abad Bung Karno (2001).

Secara politis, banyak nama-nama tokoh yang sudah direhabilitasi. Tetapi Natsir, selain tidak jelas status kepahlawanannya, citranya sebagai "pemberontak" terhadap Republik tidak pernah secara resmi direhabilitasi pemerintah. Keterlibatannya dalam PRRI, antara lain bersama Sumitro, seakan-akan tetap dianggap sebagai "dosa-dosa politik" yang tak terampunkan.

Dalam konteks ini, nasib Natsir (plus Sjafruddin Prawiranegara dan Burhanuddin Harahap) lagi-lagi tidak lebih baik dibandingkan Sumitro. Buktinya, sejak era Orde Baru, citra sebagai "pemberontak" seakan-akan tidak lagi melekat pada sang "begawan ekonom" itu.

Sebetulnya upaya mendesak pemerintah merehabilitasi nama Natsir cs telah dilakukan sejak masa Orde Baru, tapi selalu gagal. Bahkan yang diterima Natsir bukannya rehabilitasi nama baik, tetapi justru pelbagai kesulitan pribadi dan kelembagaan. Soeharto memang tidak seperti Sukarno yang pernah memenjara Natsir selama tiga tahun tetapi rezim militeristik ini telah pula memperlakukan Natsir secara tidak adil.

Di antaranya pencekalan ke luar negeri. Ini kondisi yang ironis sekali. Padahal di luar negeri kredibilitasnya dihormati. Posisi Natsir sebagai salah satu pemimpin terkemuka dunia Islam cukup mengharumkan nama bangsa. Tidak hanya itu, di belakang layar, Natsir sebenarnya berjasa membantu pemerintah Orde Baru menjalin kontak dengan beberapa negara donatur, seperti Jepang dan negara-negara Timur Tengah.

Barulah setelah pemerintah Presiden Habibie (1998-1999), keluarga dan pengagum Natsir sedikit berbahagia, karena Natsir tokoh pelopor Mosi Integral yang akhirnya mengembalikan Indonesia ke bentuk negara kesatuan diberikan penghargaan Bintang Adipradana, bersama Sjafruddin Prawiranegara dan Burhanuddin Harahap.

Tetapi baru sebatas Bintang Adipradana. Usulan DDII agar ketiga tokoh Masyumi itu diangkat sebagai Pahlawan Nasional, tetap tak terwujud. Sampai pucuk kekuasaan negara beralih ke tangan Abdurrahman Wahid dan Megawati sekarang ini, usulan itu kembali tenggelam dalam hiruk-pikuk situasi politik nasional.

Pada akhirnya, berbicara sejarah semestinya juga berbicara masalah keadilan. Diakui, sebagai manusia, tokoh-tokoh besar bangsa di masa lalu tentu juga memiliki kekurangan dan kelemahan. Maka, ketika beberapa tokoh sejarah nasional yang juga pernah memiliki "dosa-dosa politik" dengan mudah direhabilitasi nama baiknya dan dianugerahi gelar pahlawan, kenapa ada tokoh yang lain diperlakukan tidak sama.

Diktum bahwa "sejarah dikuasai oleh mereka yang berkuasa", agaknya kurang cocok dalam semangat "rekonsiliasi" yang banyak dianjurkan kalangan cendekiawan dewasa ini. Diktum itu harus ditinggalkan, agar sejarah tidak lagi mewariskan dendam, melainkan memberikan hikmah dan kearifan kepada kita bagi masa depan bangsa.

Peneliti sejarah dan politik CIRUS, Jakarta
Republika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar