Kamis, 13 Februari 2014

Sejarah 18

imageAPA jadinya jika para "ekstremis" dan serdadu Hollander bertemu? Di masa perjuangan kemerdekaan Indonesia dulu, pertemuan itu bisa berbuntut kematian bagi salah satu pihak. Tapi, di masa damai sekarang ini, yang ada adalah pelukan hangat dan gelak tawa.

Itulah yang terjadi saat sejumlah veteran perang Belanda berkunjung ke sejumlah tempat di Jawa Barat, dua pekan lalu. Selama lima hari, 34 orang anggota rombongan ini menapaktilasi tempat-tempat yang punya kenangan buat mereka.

Di Bandung, misalnya, mereka berkunjung ke pemakaman Pandu, Kerkhof Leuwigajah, dan perkebunan teh Malabar. "Kini kami datang sebagai sahabat. Tidak ada perasaan dendam sedikit pun," kata Jenderal Noordzy, Komandan Divisi Zeven December, tentara Belanda yang bertugas di Jawa Barat pada 1946 sampai 1949.

Meski sudah gaek dimakan usia, para veteran Belanda itu masih tampak gagah dan punya ingatan tajam. Beberapa kosakata bahasa Indonesia dan Sunda masih diingatnya. Misalnya selamat pagi, terima kasih, dan selamat tinggal. Bahkan Otto, 76 tahun, langsung berujar, "Abdi kapungkur di Cimahi (Saya dulu tinggal di Cimahi)."

Saat mengunjungi Museum Linggarjati di Kabupaten Kuningan, beberapa veteran itu mereka-reka apa yang dulu pernah mereka lakukan di tempat itu. Fred Mulder, 79 tahun, memuaskan rasa penasarannya terhadap gedung itu. "Dulu ini markas komandan. Kami tidak boleh masuk ke sini," katanya.

Fred tampak penasaran di satu pojok Museum Linggarjati. "Dulu ada kolam renang. Saya sering mandi di sini," ujarnya. Pensiunan sersan ini mengaku punya segudang kenangan saat bertugas di Linggarjati sepanjang 1947 sampai 1948.

Di Kuningan ini ia belajar makan nasi. Selain itu, berbagai jenis buah-buahan pernah disantapnya di sini. Ia sama sekali tak pernah menyangka akan kembali ke tempat itu dalam suasana berbeda. "Saya kembali lagi dalam kondisi perdamaian. Ini sebuah karunia. Saya suka Indonesia," katanya.

Yang paling heboh dari anggota rombongan ini adalah G.W.V Mierlo, sersan di bagian teknisi perhubungan darat tentara Belanda. Dia terus diledek teman-temannya hendak mencari gacoannya di Kuningan. "Dulu saya punya pacar bernama Rafnani," katanya terus terang. "Kala itu, ia baru berusia 20 tahun. Rafnani sangat cantik."

Tapi kisah kasih mereka tak berlanjut ke pelaminan karena Rafnani menolak diboyong ke Belanda. "Ah, siapa tahu di sini saya bisa bertemu dia kembali," kata Mierlo. Aki-aki ini kini sudah menduda.

Anggota pasukan Mierlo ada 30 orang. Dalam invasi itu, mereka sering telat menerima kiriman logistik. Agar tetap bertahan, mereka kerap menyantap makanan lokal. Ternyata tentara Belanda itu belajar makan nasi. "Pada awalnya saya merasa jijik makan nasi dan sup buatan juru masak lokal. Saya lihat sendiri juru masak itu bertelanjang dada saat memasak ransum pasukan. Tetes keringatnya masuk ke panci besar berisi sup," kata Mierlo sembari terkekeh.

Pria 77 tahun yang sudah memiliki 13 cucu ini punya cerita menarik saat bertugas di Kuningan. Setelah menguasai kota, mereka membuat tangsi di sekitar alun-alun kota. Untuk menghilangkan rasa jenuh, mereka bermain bola. Selagi asyik bermain, tiba-tiba terdengar tembakan dari kejauhan. Mierlo mengaku, dia dan teman-temannya sama sekali tak gentar. "Ah, biarkan saja, toh itu jauh. Lagi pula, tentara Siliwangi itu kan tidak profesional menembak," katanya.

Herman Sarens Sudiro, veteran tentara Siliwangi yang mendampingi serdadu Belanda ini, hanya tersenyum mendengar cerita Mierlo. "Tapi perlawanan kami memakan banyak korban tentara Belanda," kata Herman.

Suasana akrab memang tergambar dalam pertemuan itu. Ini bukan kali pertama mereka bertemu. Veteran Siliwangi bahkan sudah dua kali berkunjung ke markas Zeven December di Appeldoorn, Belanda, pada 1995 dan Desember tahun lalu.

Di sana mereka dijamu sangat hangat. "Selama dua mingu kami menjadi tamu mereka," kata F. Adhi Saputra, pengurus Legiun Veteran Republik Indonesia Jawa Barat, kepada Dadan Firmansyah dari Gatra. Saat perang itu berkecamuk, Adhi adalah prajurit dari Tentara Pelajar.

Kehangatan Divisi Zeven December itu tecermin dari sambutan yang disampaikan Jenderal Noordzy waktu itu. "Pejuang TNI dan Belanda telah melakukan kewajiban waktu perang. Kita prajurit hanya bisa mengikuti perintah dari mereka yang menguasai politik. Atas nama persahabatan, semoga kita bisa melupakan masa suram," kata Noordzy.

Hanya bedanya, veteran Siliwangi berkunjung ke Belanda dengan biaya ditanggung pihak Zeven December. Sedangkan veteran Belanda itu berkunjung ke Indonesia, ya, atas biaya kantong pribadi masing-masing. Mereka bahkan menyumbang untuk rehabilitasi Museum Linggarjati.

Divisi Zeven December ini tergolong pasukan terlatih dalam ketentaraan Belanda. Saat itu, ada sekitar 20 anggota divisi ini yang bertugas di seluruh Jawa. Kebanyakan bertugas di Jawa Barat. Para "ekstremis" yang mereka buru waktu itu, ya, tentara Siliwangi.

Harap maklum. Waktu itu, Siliwangi pun bukanlah organisasi tentara modern seperti pihak lawannya, Divisi Zeven December itu. Para pemuda yang tergabung dalam BKR (Badan Keamanan Rakyat), TP (Tentara Pelajar), dan organisai pejuang kepemudaan lainnya adalah personel utamanya. Senjatanya tentu saja kalah canggih. "Bisa dibilang keunggulan kami hanyalah bertempur dengan penuh semangat," kata Herman Sarens Sudiro. Kala itu, Herman baru berusia 16 tahun.

Divisi Zeven December kembali ke Belanda pada 1950. Setahun sesudah Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Namun rupanya penugasan di tatar Sunda ini sangat berkesan hampir di semua benak anggota Zeven December. Mereka bahkan punya buku yang memuat detail operasi Zeven December di Jawa Barat. "Bahkan di kita sendiri tidak ada dokumentasi selengkap itu," kata Adhi Saputra.

Divisi ini tampaknya memang punya kedekatan emosional dengan tatar Sunda. Maka tak mengherankan, meski berbalut kunjungan pariwisata ke berbagai tempat di Indonesia --dari Kuningan mereka melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta dan Bali-- saat berada di Jawa Barat, mereka punya kesan mendalam.

Tempat-tempat bersejarah yang mereka kunjungi tidak hanya bermakna penting bagi generasi berikutnya. Bagi mereka, tempat-tempat itu juga membangkitkan suasana heroik tugas mulia membela negara. Merekalah pelaku sejarah.

Taufik Abriansyah dan Sulhan Syafi'i (Bandung)
[Astakona, Gatra Nomor 52 beredar Jumat 5 November 2004]




Tidak ada komentar:

Posting Komentar