Kamis, 13 Februari 2014

Sejarah 17

Kemerdekaan Semu
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, merdeka dimaknai sebagai bebas (dari penghambaan, penjajahan dan sebagainya); tidak terkena atau lepas dari tuntutan; tidak terikat; tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu; dan leluasa. Berkaitan dengan penjajahan, merdeka berarti lepas dari berbagai bentuk penjajahan dan penghambaan manusia terhadap manusia lainnya, baik penjajahan secara fisik maupun penjajahan dalam bentuk ekonomi, sosial, politik, dan budaya.

Secara realitas, kita belum benar-benar merdeka; kita baru merdeka semu. Betul, penjajah Belanda maupun Jepang telah lama angkat kaki dari bumi Indonesia, tetapi itu sebatas fisik.

Sementara itu, sistem dan aturan yang ada, bahkan kebergantungan kepada pihak asing, khususnya negara-negara besar, demikian tinggi.

Dalam bidang ekonomi, umat Islam, termasuk Indonesia, masih terjajah; baik melalui penanaman modal asing (PMA), utang luar negeri, dolar sebagai standar mata uang, dan perdagangan bebas lewat WTO. Dengan PMA, perusahaan makanan, minuman, otomotif, elektronik, pertambangan, semen, perikanan-kelautan, dan lainnya dikuasai asing. Di Indonesia sendiri, sejak tahun 1998 terdapat 80 perusahaan yang dicengkeram oleh asing (Warta Ekonomi, no. 14/XII/9 April 2001). Negara-negara maju dapat menekan negeri Muslim terbesar ini karena jeratan utang luar negeri. Untuk menutupinya harus ada pinjaman lagi dari luar negeri; tutup lobang gali lobang terjadi. Akhirnya, utang luar negeri menyebabkan ketergantungan terus-menerus.

Hingga kini, dolar diterapkan sebagai standar mata uang dunia. Karenanya, melalui permainan nilai dolar ini, negara Barat dapat mengintervensi negara lain. Sebagai contoh, krisis ekonomi, sosial, dan politik yang terjadi di Indonesia ini diawali dan dipicu oleh krisis moneter dengan anjloknya rupiah tahun 1997 hingga mencapai Rp 15.000 perdolar. Defisit anggaran sebesar 86 triliun saat itu juga disebabkan karena perubahan kurs rupiah terhadap dolar. Harga-harga di dalam negeri melonjak hanya karena perubahan nilai rupiah terhadap dolar AS. Jelaslah, dengan dolar sebagai standar mata uang, keguncangan di dalam negeri dapat direkayasa kapan saja. Realitas hidup ditentukan oleh kafir imperialis.

Pada sisi lain, WTO dengan perdagangan bebasnya senantiasa merancang berbagai strategi ekonomi dan mempublikasikan kajian-kajian yang berkaitan dengan perdagangan bebas dan investasi ekonomi untuk menghilangkan hambatan tarif dan membuka pasar-pasar internasional. Dengan pasar bebas berarti kualitas menjadi tolok ukur. Sementara itu, kualitas ditentukan oleh teknologi yang dimiliki. Padahal, teknologi canggih hanya dipunyai oleh negara-negara besar dan maju. Negeri-negeri kaum Muslim tidak memiliki kemampuan itu. Akibatnya, dengan pasar bebas, kafir imperialis dapat memasarkan produk-produk mereka, termasuk peralatan militer. Sementara negeri-negeri Islam kalah bersaing. Konsekuensinya, alih-alih dapat menyaingi, negara-negara Dunia Ketiga akan terus bergantung pada negara-negara maju.

Sebagai contoh, Senin (26/7/2004), Menteri Perhubungan AS Norman Y. Mineta dan Menteri Perhubungan Indonesia, menandatangani perjanjian penerbangan Langit Terbuka (Open Skies) antara kedua negara yang akan menghapus berbagai hambatan pada pelayanan udara ke, dari, dan di luar wilayah udara masing-masing. Sebagai akibat dari perjanjian itu, Amerika Serikat sekarang mempunyai hubungan Langit Terbuka dengan 65 mitra. Berkaitan dengan masalah ini, ngocor hibah dari Badan Perdagangan dan Pembangunan A.S. bernilai total 1,1 juta dolar AS. Hibah-hibah tersebut akan dipakai pada sistem kontrol dan perlengkapan lalu-lintas udara guna membantu Indonesia mengelola kawasan udaranya dengan aman di atas Kepulauan Natuna.

Dalam bidang sosial dan budaya kecenderungan pem-Barat-an dengan meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan menuju nilai hewani tampak jelas di depan mata. Bidang politik pun tidak luput dari berbagai campur tangan pihak-pihak negara besar. Kasus Pemilu yang baru lalu memberikan banyak indikasi tentang campur tangan asing tersebut.

Walhasil, saat ini kita baru merdeka secara fisik dari tangan penjajah. Namun, kita tetap masih terjajah dalam bidang, ekonomi, sosial, politik, dan budaya; bahkan keyakinan dan sistem hidup.


Kemerdekaan Hakiki


Di dalam al-Qur’an, istilah merdeka (al-hurr, at-tahrîr) senantiasa terkait dengan pembebasan budak dari cengkeraman majikannya. Nash-nash yang menyatakan hal ini adalah:

Tidak layak bagi seorang Mukmin membunuh seorang Mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Barangsiapa membunuh seorang Mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar denda (diyat) yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. (Qs. an-Nisaa’ [4]: 92).

Istilah merdeka juga terdapat dalam Qs. al-Baqarah (2) ayat 178, Qs al-Maa’idah (5) ayat 89, dan Qs. al-Mujadilah (58) ayat 3. Berdasarkan hal ini dapat dipahami bahwa merdeka berarti lepasnya manusia dari cengkeraman dan penghambaan terhadap sesama manusia, lalu beralih kepada penghambaan semata kepada Allah SWT. Istilah merdeka dalam arti ini terdapat dalam firman Allah SWT:

(Ingatlah), ketika istri Imran berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang salih dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu terimalah (nazar) itu daripadaku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Mahatahu.” (Qs. Ali Imran [3]: 35).

Dengan demikian, kemerdekaan yang hakiki adalah lepasnya manusia dari menjadikan sesama manusia sebagai tuhan, lalu hanya berkhidmat dan tunduk kepada Allah SWT dengan menegakkan hukum-hukum-Nya. Dalam firman lain-Nya Allah SWT menegaskan bahwa penghambaan manusia kepada Allah SWT merupakan misi penciptaan-Nya. Allah SWT berfirman:

Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (Qs. Adz-Dzariyat [51]: 56).


Tobat dan Syukur


Melihat realitas seperti ini, kita harus melakukan dua hal sekaligus, yaitu tobat dan syukur. Keterjajahan ekonomi, sosial, politik, dan budaya yang hingga kini masih berjalan akibat tidak menerapkan Islam patut ditobati. Sebaliknya, lepasnya kita dari penjajahan fisik pun patut disyukuri. Sebab, setiap kenikmatan apapun diperintahkan Allah SWT untuk kita syukuri.

Tobat adalah perbuatan hati yang mencakup perasaan dan pengakuan bersalah, benci atas perbuatan salahnya tersebut, dan usaha serius untuk tidak mengulanginya lagi. Tobat berarti kembali pada kebenaran (rujû’ il al-haq). Padahal, kebenaran terdapat dalam wahyu Allah SWT; kebenaran terdapat dalam Islam. Oleh sebab itu, tobat berarti kembali pada aturan-aturan Islam secara total. Dengan kata lain, kita wajib sadar akan kesalahan, yakni tidak menerapkan Islam.

Secara individual dan spiritual, tobat dapat diwujudkan dengan mengadu sepuas-puasnya, memohon atas segala kemurahan-Nya, seraya berdoa memohon ampunan kepada-Nya.
Sementara itu, tobat secara praktis dan implementatif hanya dapat ditempuh dengan penerapan syariat Islam yang berasal dari Allah SWT, Zat Yang Maha Pengasih.

Pada sisi lain, kekayaan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang dianugerahkan Allah SWT serta syariat Islam yang telah diturunkan-Nya merupakan kenikmatan yang patut disyukuri. Dia Yang Mahamulia menjelaskan bahwa kenikmatan yang diberikan olehnya akan dapat disikapi dengan dua sikap berbeda, syukur ataukah kufur. Dia berfirman:

Berkatalah seseorang yang mempunyai ilmu dari Al-Kitab, “Aku membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip.” Tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, ia pun berkata, “Ini termasuk kurnia Rabb-ku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur ataukah mengingkari (akan nikmatnya). Barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya ia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri; barangsiapa yang ingkar maka sesungguhnya Rabb-ku Mahakaya lagi Mahamulia.” (Qs. an-Naml [27]: 40).

Bersyukur kepada-Nya atas segala nikmat yang diberikan-Nya akan semakin menambah kenikmatan itu kepada kita. Bersyukur merupakan satu ciri kehambaan seorang hamba. Selain itu, syukur mencirikan kebutuhan hamba akan kelanggengan dan pertambahan nikmat yang selama ini diterimanya. Sebaliknya, ketika kenikmatan tersebut dikufuri maka keburukan-keburukan akan menimpa manusia akibat pilihannya tidak bersyukur atas nikmat tersebut. Allah berfirman:

Ingatlah ketika Rabb kalian memaklumkan, “Sesungguhnya jika kalian bersyukur pasti kami akan menambahkan nikmat kepada kalian. Jika kalian mengingkari nikmat-Ku sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Qs. Ibrahim [14]: 7).

Apa syukur itu? Para ulama memaknai syukur sebagai upaya menggunakan sesuatu sesuai dengan kehendak si pemberi. Imam al-Ghazali menyatakan bahwa jika seseorang menggunakan nikmat itu untuk taat, berarti ia bersyukur karena bertindak sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah SWT. Jika dipergunakannya untuk maksiat maka itu berarti mengkufuri nikmat, karena bertindak tidak sesuai dengan yang dikehendaki Allah SWT. Sungguh, Allah SWT tidak meridhai kekufuran dan kemaksiatan hamba-Nya. Andaikata ia pun menyia-nyiakan nikmat itu, tidak dipergunakan untuk maksiat atau untuk taat, itu pun berarti kufur kepada nikmat. Dengan demikian, mensyukuri berbagai kenikmatan materil dan aturan yang diberikan Allah SWT adalah dengan cara taat total kepada-Nya melalui penerapan syariat Islam secara total.

Berdasarkan hal di atas, berbagai keburukan yang menimpa masyarakat kini harus ditobati, dan kurnia Allah SWT mutlak disyukuri. Caranya, tobat dan syukur tersebut diwujudkan dalam bentuk ketaatan kepada Allah SWT. Ketaatan kepada Allah SWT berarti taat pada syariat Islam sebagai aturan dan sistem hidup yang diridhai-Nya untuk mengurus segenap manusia. Dengan kata lain, kesalahan menerapkan aturan kufur dan sekular yang selama ini dilakukan merupakan kesalahan dan karenanya harus segera dihentikan, lalu bertobatlah dan syukuri kemerdekaan secara fisik ini dengan penerapan syariat Islam. [Buletin Al-Islam, Edisi 217]



Tidak ada komentar:

Posting Komentar