Kamis, 13 Februari 2014

Sejarah 16

Renungan Kemerdekaan
Indonesia memang sudah setengah abad lebih merdeka dan tanggal 17 Agustus 2004 yang akan datang merupakan HUT RI ke-59. Usia tersebut untuk ukuran manusia sudah tergolong senja. Hanya saja, bagi sebuah negara masih tergolong muda. Sehingga meskipun sudah konsensus kebangsaan sudah dicetuskan pada sumpah pemuda dan baru benar-benar terwujud sebagai bangsa pada proklasmi kemerdekaan yang bacakan Seokarno pada tanggal 17 Agustus 1945, potensi konflik seputar masalah itu masih sangat kuat.

Persoalan tersebut mengemuka, karena persoalan nasionalisme (kebangsaan) di republik ini belum selesai. Barangkali, karena masih adanya sejumlah ras dan etnis yang merasa didomenasi oleh ras dan etnis tertentu, sehingga menimbulkan kecemburuan dan rasa ketidakadilan. Untuk itu, sudah selayaknya dilakukan rekonstruksi kebangsaan dengan satu persoalan utama, yaitu: Kapan bangsa Indonesia lahir?

Berkaitan dengan itu, ketika berbicara mengenai kerajaan-kerajaan yang ada di nusantara yang sebagian besar wilayahnya kini menjadi Negara Indonesia, hendaklah diletakkan dalam konteks kerajaan-kerajaan yang pernah ada di Indonesia bukan sebagai kelanjutan kebangsaan dengan bangsa Indonesia saat ini. Sebab, bagaimanapun besarnya kerajaan pada masa lalu seperti Sriwijaya dan Majapahit konsensus kebangsaan nusantara itu apalagi Indonesia tidak pernah ada. Justru yang ada adalah domenasi sebuah ras atas ras yang lain melalui penaklukkan. Sehingga ketika, kerajaan itu hancur, wilayah-wilayah taklukan itu kembali kepada keberadaan semula. Ini menunjukkan bahwa konsensus kebangsaan memang belum pernah ada yang ada ada adalah sejarah ras tertentu di nusantara ini yang mendomenasi yang lain.

Itulah sebabnya, meskipun Indonesia sudah 59 tahun merdeka gesekan antara suku tertentu dengan negara masih sering terjadi yang dikarenakan belum ada kata sepakat perihal kelahiran bangsa Indonesia itu sendiri. Untuk itu, perlu ditegaskan bahwa bangsa Indonesia lahir sejak Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 bukan sebelum dari itu. Dengan adanya penegasan itu, diharapkan adanya keterikatan emosional antara suku yang sama-sama mengalami penjajahan sehingga harus dibangun solidaritas yang kuat dalam rangka menjaga kometmen tersebut. Sebab, jika masa lalu yang dijadikan landasan lahirnya bangsa Indonesia, maka yang terasosiasikan adalah dominasi suku tertentu (Jawa) atas suku-suku lain di nusantara. Dan, jika itu yang terjadi, maka gerakan untuk melepaskan diri dari domenasi itu bisa jadi tidak akan menurun bahkan mungkin akan meningkat, jika negara tidak bisa menciptakan kemakmuran dan keadilan di antara warganegaranya.

Oleh sebab itu, dalam rangka memperingati kemerdekaan yang ke 59 ini perlu ditegaskan bahwa bangsa dan negara Indonesia bukanlah warisan nenek moyang apalagi kerajaan-kerajaan besar masa lalu, melainkan entitas bangsa yang dibangun berdasarkan persamaan nasib suku terjajah dan itu benar-benar terwujud sebagai bangsa secara de facto ketika Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan. Oleh karena bangsa ini dibangun berdasarkan solidaritas itu, sudah semestinya, ketika ada benturan-benturan antara kelompok masyarakat dengan sesamanya dan dengan negara, penyelesaian secara dialogis seharusnya menjadi prioritas utama dengan harapan kesan dominasi suku atau ras tertentu atas lainnya tidak menyeruak ke permukaan. Hal yang penting dari semua itu adalah bagaimana pemerintah menegakkan hukum secara adil kepada semua pihak yang melanggar konsensus tersebut.

Persoalan kedaulatan


Secara fisik, masalah itu memang tidak diragukan lagi bahwa Indonesia memang merdeka dan berdaulat, karena memang wilayah yang terbentang dari Sabang sampai Merauke ini di bawah pemerintahan sendiri. Namun, jika ditinjau dari aspek lain, persoalan kedaulatan tampaknya masih sangat debatable, karena banyak indikasi menunjukkan bahwa kedaulatan yang dicita-citakan oleh pendiri bangsa, seperti berdiri di atas kaki sendiri (Soekarno) masih jauh dari kenyataan. Ambil contoh penambangan pasir laut yang mengancam luas wilayah laut RI dan penebangan dan pencurian di kalimantan di kalimantan. Kedua kasus tersebut menunjukkan bahwa kedaulatan yang sering dikumandangkan oleh petinggi republik ini terutama kalangan militer masih sebatas jargon belaka. Betapa tidak, karena seperti penambangan pasir laut bukan tidak berlangsung di hadapan aparat seperti polisi, tentara, dan otoritas lainnya. Padahal semua pihak sadar, jika pengerukan pasir laut menimbulkan persoalan serius bagi luas laut Indonesia. Hal itu, bisa dilihat dari dua hal.

Pertama, pengerukan itu mengacam eksistensi sebuah pulau di perbatasan RI-Singapura. Jika pulau itu sampai tenggelam, batas laut Singapura akan semkain luas, sebaliknya batas RI akan semakin sempit. Kedua, pasir yang dibawa ke Singpura dipergunakan untuk menguruk pantai di mana hal itu akan membuat garis pantainya akan semakin membuat sempit perairan Indonesia.

Begitu juga dengan penebangan hutan di Kalimantan. Menurut sebuah sumber luas hutan yang hilang di Kalimantan berkisar 1,6 sampai dengan 2,4 hektar pertahunnya atau setara dengan enam kali luas lapangan bola setiap menitnya. Dan, jika kerugian itu dinilai dengan uang, maka negara diperkiran mengalami kerugian sekitar Rp 83 miliar akibat perambahan hutan tersebut.

Kerugian yang sangat besar bukan tidak diketahui oleh otoritas Indonesia, karena hal itu berlangsung secara kasat mata. Bahkan, kendaraan Malaysia yang mengangkut hasil hutan ilegal itu mondar-mandir di jalanan Kalimantan tanpa ada hambatan sedikitpun dari aparat yang bewenang. Hal ini sangat berbeda dengan susahnya kendaraan Indonesia jika ingin memasuki wilayah Malaysia. Apakah sudah begitu tergadainya harga diri bangsa ini? Atau sudah begitu miskinnya, sehingga harus mengorbankan kekayaan bangsa?

Bahkan, lebih mengenaskan lagi, penebangan hutan oleh pihak Malaysia tidak hanya mengurangi jumlah hutan, tetap berimbas kepada luas wilayah Indonesia. Berdasarkan ulasan Majalah Tempo dalam sebuah edisnya pada tahun 2001 disebutkan bahwa, karena persyaratan membuka lahan di Malaysia sangat ketat, sejumlah warganya yang masih mempunyai hubungan famili dengan orang-orang di Kalimantan meminjam tanah untuk pertanian. Namun, proses peminjaman itu tidak hanya sampai di situ, melainkan diikuti juga dengan pemindahan patok perbatasan wilayah.

Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa masalah kedaulatan dalam tataran praktisnya masih persoalan, karena meskipun ada ancaman terhadap hak negara ini, tidak mendapatkan respon yang memadai dari pemerintah. Apakah, karena penabangan itu dianggap tidak mengancam integritas wilayah Indonesia? Akan tetapi, jika seperti diberitakan Tempo itu benar, berarti ancaman berpindahnya wilayah Indonesia (sedikit demiki sedikit) seperti Pulau Sipadan dan Ligitan masih akan berlanjut. Belum lagi, berkaitan dengan persoalan keseriusan pemerintah mangadvokasi wilayah-wilayah terluar seperti perbatasan Papua-PNG, RI-Timor Leste, dan lainnya. Itu perlu ditangani serius. Sebab jika tidak, apa artinya kata kedaulatan bagi bangsa Indonesia?

Berkaitan dengan HUT RI ke 59 ini, tampaknya masih banyak perkerjaan yang harus dilakukan oleh semua lapisan terutam pemerintah terutama yang berkaitan dengan masalah nasionalisme dan kedaulatan agar tujuan kemerdekaan benar-benar bisa terwujud. Semoga dengan perayaan hari kemerdekaan ke-59 ini rasa kebangsaan bangsa Indonesia semakin kuat guna menangkal setiap gerakan yang mengarah kepada separatisme. (eramuslim)

Mahmudi Asyari.
Pemerhati masalah sosial dan politik dan mahasiswa S3 UIN Jakarta





Tidak ada komentar:

Posting Komentar