Dari Kasim Menjadi
Laksamana Proses Islamisasi di Asia Tenggara tidak steril dari campur
tangan Laksamana Cheng Ho. Fakta mencatat, usai persinggahannya, banyak suku
Tionghoa Muslim yang mendiami pesisir utara Jawa.
Arahkan perhatian
sejenak ke kota Semarang. Pekan ini, dari tanggal 1-7 Agustus, sebuah gelaran
akbar tengah berlangsung di sana, Festival Cheng Ho. Festival ini khusus
dicanangkan untuk memperingati 600 tahun kedatangan laksamana ternama ini.
Sejak sebulan lalu, persiapan sudah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi
Jawa Tengah. Maklum, untuk tahun ini, festival tersebut dirancang berskala
internasional. Para tamu dan peserta yang bakal hadir pun tak hanya berasal dari
dalam negeri, namun juga dari luar negeri.
Kamar-kamar hotel sejak
jauh-jauh hari sudah habis terpesan. Dan kemeriahan bukan cuma nampak di kawasan
Klenteng Sam Poo Kong, Gedung Batu, dan arena PRPP Semarang yang menjadi pusat
kegiatan. Segenap penduduk kota Semarang juga antusias menyambutnya.
Kegairahan serta semangat untuk merayakan HUT 600 tahun pelayaran
Laksamana Cheng Ho amatlah membanggakan. Apalagi bila ditilik lebih dalam
tentang adanya pesan penting yang hendak disampaikan yaitu mengembangkan
kerukunan antar masyarakat.
Seperti terungkap dalam Seminar Nasional
"Sumbangan Cheng Ho Dalam Perkembangan Kehidupan Antar Etnis di Nusantara" pada
Selasa (2/8) lalu di Wisma Perdamaian Semarang, ekspedisi Cheng Ho selama 32
tahun (1405-1433) telah membawa arti penting bagi upaya membina toleransi antar
sesama. Cheng Ho meramunya melewati batas perbedaan etnis, budaya, dan agama.
Dalam paparannya, Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Diponegoro
Semarang, Prof Dr AM Juliati Suroyo, mengatakan, sebagai pelaksana misi kaisar,
Cheng Ho kemudian menjalin hubungan di berbagai bidang dengan penguasa di setiap
wilayah yang disinggahinya, baik dari segi politik, ekonomi maupun
sosio-kultural.
Namun di pihak lain, lanjut dia, Cheng Ho adalah juga
seorang pemeluk Islam yang taat. Dan karenanya, pada setiap tempat yang
didatangi, dia senantiasa menekankan pentingnya toleransi dan
kerukunan.
Yang perlu pula dicermati, lanjut dia, kedatangan Cheng Ho ke
Jawa, bersamaan dengan awal proses Islamisasi. Ketika itu banyak pedagang asal
Cina bermukim di kawasan pantai utara, dan sebagian mereka beragama Islam.
"Kedatangan Cheng Ho sekaligus memberikan dukungan bagi para imigran Tionghoa
ini agar menjalin hubungan akrab dengan penduduk setempat," tegasnya.
Menurutnya, ada dua alasan yang mendorong Cheng Ho mengharapkan
demikian. Pertama, karena para pedagang itu sulit kembali ke tanah Cina akibat
tekanan pemerintah, dan kedua, mereka yang Muslim merasa lebih bebas menetap di
Nusantara.
Di samping itu, mengutip Sumanto al-Qurtubi, Juliati
menyatakan kemungkinan besar, Cheng Ho memiliki agenda pribadi untuk turut
menyebarkan agama Islam. "Meski begitu, diyakini dakwah yang dilakukan Cheng Ho
bukan seperti dakwah yang kita kenal selama ini, melainkan berupa penyebaran
nilai-nilai moral agama Islam," tukasnya.
Pada kesempatan sama, Prof Dr
A Dahana, Guru Besar Studi Cina Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas
Indonesia, berpendapat, perkiraan bahwa Cheng Ho juga menyebarkan Islam dalam
ekspedisinya tidak mengada-ada. Fakta itu bisa ditelusuri dari faktor Tionghoa
dalam Islamisasi di Asia Tenggara.
Selama ini, imbuhnya, arus Islamisasi
yang dikenal hanya berasal dari dua tempat, yakni Gujarat dan Timur Tengah.
"Munculnya teori tentang peran warga Tionghoa dalam penyebaran Islam di
Nusantara merupakan proses pengayaan khazanah kesejarahan kita. Meski begitu,
untuk lebih mendukung teori tadi, masih diperlukan bukti-bukti yang kuat," kata
Dahana lebih lanjut.
Dia menilai maksud dan tujuan Cheng Ho dalam
menanamkan rasa persaudaraan cukup berhasil. Hal tersebut ditandai bahwa di
beberapa tempat yang dikunjungi, kemudian masih terdapat tempat-tempat
peribadatan yang menunjukkan adanya sinkretisme antara Islam, budaya lokal, dan
Tionghoa.
Semangat itulah yang seharusnya bisa dipelihara, tandas
Dahana, terutama ketika menghadapi berbagai tantangan zaman. Akan tetapi
diakuinya, untuk mewujudkan tata hubungan masyarakat seperti pada masa lalu,
teramat sulit kecuali di masing-masing kelompok masyarakat telah bersedia
menerima perbedaan.
Gubernur Jawa Tengah Mardiyanto mengemukakan harapan
senada. Dalam sambutannya, ia menyatakan kerukunan yang telah ditanamkan oleh
Laksamana Cheng Ho di masa lalu, masih tetap relevan pada masa kini. Kerukunan
menurutnya merupakan kunci untuk memperkokoh persatuan serta senjata guna
menghadapi era global.
Dijelaskan, bangsa Indonesia terkenal akan
kemajemukannya. Dan kemajemukan itu apabila diyakini sebagai suatu rahmat, maka
niscaya akan menjelma sebagai sumber kekuatan bangsa. Sebaliknya, bila tidak
disikapi secara bijaksana, dapat berpotensi menimbulkan perpecahan.
''Sehingga yang perlu ditanamkan dalam peringatan ekspedisi Cheng Ho
kali ini adalah, kerukunan bukanlah hal yang langsung jadi. Kerukunan adalah
faktor penting yang harus diupayakan realisasinya untuk kemudian dipertahankan
keberlangsungannya,'' tambahnya.
Salah seorang Ketua Panitia HUT 600
Tahun Pelayaran Cheng Ho, Haryanto Halim, mengharapkan perayaan ini tidak
sekedar seremonial semata. ''Namun hendaknya dapat menjadi semangat dalam
menumbuhkan kearifan lokal,'' ujarnya.
Mengingkari kearifan budaya, kata
dia, sama dengan mengingkari nilai kemanusiaan. "Cheng Ho telah mengajarkan
damai. Hendaknya kita saat ini mengartikulasikan ajaran tersebut dengan
pendekatan yang humanis," ujar Halim. Festival Cheng Ho, adalah satu titik untuk
membangun kebersamaan yang dulu pernah berjaya. (RioL) (yus )
Dari Kasim Menjadi Laksamana
Dia memimpin armada raksasa untuk mengunjungi lebih dari 30 negara.
Sebagai Muslim, dia menunjukkan Islam yang rahmatan lil alamin, kendati ia
menjadi laksamana pada kerajaan bukan Islam.
Ekspedisi fenomenal
Laksamana Cheng Ho telah tercatat dalam tinta emas sejarah. Di samping memiliki
nuansa politik dan ekonomi, pelayaran armada Cheng Ho ke sejumlah negara itu
juga berdimensi sosio-kultural yang menjadi perekat hubungan antar masyarakat
dan budaya.
Dari situlah kemudian, banyak kajian dan ulasan yang
mengupas kaitan makna pelayaran tersebut dengan kehidupan masa kini. Tak
ketinggalan pula, latar belakang kehidupan Laksamana Cheng Ho tak habisnya
dibahas untuk menyelami lebih dalam sosok kharismatik ini. Dan pepatah memang
mengatakan, tak kenal maka tak sayang.
Banyak literatur sejarah mengenai
asal usul Cheng Ho. Salah satunya adalah Ming Shi (Sejarah Dinasti Ming).
Disebutkan bahwa dia dilahirkan di Desa He Dai, Kabupaten Kunyang, Provinsi
Yunan, pada tahun Hong Wu ke-4 (1371 M). Keluarganya bermarga Ma, dari suku Hui
yang mayoritas beragama Islam.
Ma He merupakan nama kecil Cheng Ho.
Tapi, dia memiliki nama lain, yakni Sam Po (Sam Poo atau San Po) dalam dialek
Fujian atau San Bo dalam dialek bahasa nasional Tiongkok (Mandarin).
Dia
anak ketiga dari enam bersaudara. Ayahnya bernama Ma Hadzi sedangkan ibunya
bernama Wen. Keluarga ini menganut agama Islam.
Ayah Cheng Ho adalah
seorang pelaut dan Muslim taat. Tercatat dia pernah menuaikan ibadah haji,
begitu pun dengan kakek dan buyutnya. Sampai saat ini, keluarga besar Ma atau
Cheng merupakan penganut Islam yang taat.
Sejak kecil Cheng Ho sering
mendengar cerita ayahnya tentang perjalanan naik haji dengan kapal layar selama
berminggu-minggu. Banyak rintangan yang dihadapi, seperti hujan badai, iklim
yang berbeda dari waktu ke waktu serta keanekaragaman adat istiadat. Sejarah
mencatat, pengalaman sang ayah ini memberikan pengaruh besar bagi perjalanan
hidup Cheng Ho.
Ketika masih berumur 12 tahun, Yunan yang kala itu
berada di bawah kekuasaan Dinasti Yuan, berhasil direbut oleh Dinasti Ming. Para
pemudanya ditawan, lalu dibawa ke Nanjing untuk dijadikan kasim istana.
Tak terkecuali Cheng Ho. Dia kemudian mengabdi kepada Raja Zhu Di di
istana Beiping (kini Beijing). Oleh raja, ia lantas diserahkan untuk menjadi
pelayan putranya yang ke-4, Zhu Di.
Pada masa itu, kedudukan kasim
umumnya tidak begitu disukai dan tidak dihargai oleh masyarakat Tiongkok. Namun
Cheng mampu mengubah citra buruk seorang kasim. Selama mengabdi sebagai pelayan,
Cheng Ho tidak menyia-nyiakan kesempatan dan yang ada di hadapannya. Ia membaca
berbagai literatur dan ikut bertempur dalam peperangan antara pihak Zhu Di dan
penguasa pusat Dinasti Ming.
Abdi yang berpostur tinggi besar dan
bermuka lebar ini tampak begitu gagah menyerang lawan-lawannya. Setelah Zhu Di
berhasil merebut tahta kaisar, maka sebagai bentuk penghargaan, Cheng Ho
diangkat sebagai kepala kasim intern.
Sampai ketika kaisar mencanangkan
program pengembalian kejayaan Tiongkok yang merosot akibat kejatuhan Dinasti
Mongol (1368), tanpa ragu-ragu Cheng Ho menawarkan diri untuk memimpin ekspedisi
ke berbagai penjuru negeri. Terkejut kaisar sekaligus terharu mendengar
permintaan itu lantaran resiko besar yang akan dihadapi.
Maka persiapan
pun dilakukan. Ini misi akbar. Ekspedisi Cheng Ho ke Samudera Barat, sebutan
untuk lautan sebelah barat Laut Tiongkok Selatan sampai Afrika Timur, bakal
mengerahkan armada raksasa. Pada muhibah pertama, tercatat sebanyak 62 kapal
besar dan belasan kapal kecil dengan 27.800 ribu awak dikerahkan.
Kapal
yang ditumpangi Cheng Ho sendiri yang disebut 'kapal pusaka' merupakan kapal
terbesar pada abad ke-15. Panjangnya 44,4 zhang (138 m) dan lebar 18 zhang (56
m). Sejarawan, JV Mills menduga, kapal itu berkapasitas 2500 ton. Desainnya
bagus serta dilengkapi teknologi mutakhir -- pada masa itu -- seperti kompas
magnetik.
Armada Tiongkok di bawah komando Cheng Ho itu pun berangkat
pada tahun 1405. Namun terlebih dahulu rombongan menunaikan shalat di sebuah
masjid tua di kota Quanzhou (Provinsi Fujian).
Ekspedisi pertama ini
akhirnya mencapai wilayah Asia Tenggara (Semenanjung Malaya, Sumatera, dan
Jawa). Ketika berkunjung ke Samudera Pasai, dia menghadiahi lonceng raksasa
Cakradonya kepada Sultan Aceh. Tempat lain di Sumatera yang dikunjungi adalah
Palembang dan Bangka.
Kemudian armada itu singgah di Pelabuhan Bintang
Mas (kini Tanjung Priok) dan di Muara Jati (Cirebon). Saat menyusuri Laut Jawa,
Wang Jinghong (orang kedua dalam armada itu) sakit keras. Mereka mendarat di
pantai Simongan, Semarang, dan tinggal sementara di sana.
Wang--yang
kini dikenal sebagai Kiai Jurumudi Dampo Awang--akhirnya menetap dan menjadi
cikal bakal warga Tionghoa di sana. Wang juga mengabadikan Cheng Ho menjadi
sebuah patung (disebut Mbah Ledakar Juragan Dampo Awang Sam Po Kong), dan
membangun kelenteng Sam Po Kong atau Gedung Batu.
Tuban dan Gresik
adalah persinggahan berikutnya. Kepada warga pribumi, Cheng Ho mengajarkan
tatacara pertanian, peternakan, pertukangan, dan perikanan. Berlanjut ke
Surabaya, bertepatan dengan hari Jumat, maka Cheng Ho menyampaikan khotbah di
hadapan warga Surabaya.
Ekspedisi kedua berlayar tahun 1407-1409.
Ekspedisi ketiga dilakukan 1409-1411. Ketiga ekspedisi tersebut menjangkau India
dan Srilanka. Tahun 1413-1415 ekspedisi berikutnya mencapai mencapai Aden, Teluk
Persia, dan Mogadishu (Afrika Timur). Jalur ini diulang kembali pada ekspedisi
kelima (1417-1419) dan keenam (1421-1422). Ekspedisi terakhir (1431-1433)
berhasil mencapai Laut Merah.
Dalam setiap misi pelayaran, terdapat
banyak anggota rombongan beragama Islam. Beberapa tokoh Muslim yang pernah ikut
adalah Ma Huan, Guo Chongli, Fei Xin, Hassan, Sha'ban, Pu Heri, dan banyak lagi.
Sebagai seorang Muslim, Laksamana Cheng juga tak melupakan kemakmuran
masjid. Tahun 1413 misalnya, dia merenovasi Masjid Qinging (timur laut Kabupaten
Xian). Tahun 1430 memugar Masjid San San di Nanjing yang rusak karena terbakar.
Selama 28 tahun (1405-1433), Cheng Ho memimpin armada raksasa untuk
mengunjungi lebih dari 30 negara. Di setiap negeri yang disinggahi, Cheng Ho
merajut persahabatan dan perdamaian yang ditransformasikan lewat seni, budaya,
dan pendidikan. Selain itu Laksamana Cheng juga berupaya menanamkan toleransi
beragama. (RioL)
"Pusaka' Armada Cheng Ho
Katanya, Christophorus Columbus dianggap hebat karena berhasil menemukan
benua Amerika. Namun tahukah Anda bahwa ada penjelajah yang lebih hebat. Dia
adalah Laksamana Cheng Ho
Selama hidupnya, Cheng Ho atau Zheng He
melakukan petualangan antarbenua selama 7 kali berturut-turut dalam kurun waktu
28 tahun (1405-1433). Tak kurang dari 30 negara di Asia, Timur Tengah, dan
Afrika pernah disinggahinya. Pelayarannya lebih awal 87 tahun dibanding
Columbus.
Juga lebih dulu dibanding bahariwan dunia lainnya seperti
Vasco da Gama yang berlayar dari Portugis ke India tahun 1497. Ferdinand
Magellan yang merintis pelayaran mengelilingi bumi pun kalah duluan 114 tahun.
Ekspedisi Cheng Ho ke 'Samudera Barat' (sebutan untuk lautan sebelah barat Laut
Tiongkok Selatan sampai Afrika Timur) mengerahkan armada raksasa.
Pertama mengerahkan 62 kapal besar dan belasan kapal kecil yang
digerakkan 27.800 ribu awak. Pada pelayaran ketiga mengerahkan kapal besar 48
buah, awaknya 27 ribu. Sedangkan pelayaran ketujuh terdiri atas 61 kapal besar
dan berawak 27.550 orang.
Bila dijumlah dengan kapal kecil, rata-rata
pelayarannya mengerahkan 200-an kapal. Sementara Columbus, ketika menemukan
benua Amerika 'cuma' mengerahkan 3 kapal dan awak 88 orang.
Kapal yang
ditumpangi Cheng Ho disebut 'kapal pusaka' merupakan kapal terbesar pada abad
ke-15. Panjangnya mencapai 44,4 zhang (138 m) dan lebar 18 zhang (56 m). Lima
kali lebih besar daripada kapal Columbus. Menurut sejarawan, JV Mills kapasitas
kapal tersebut 2500 ton.
Model kapal itu menjadi inspirasi petualang
Spanyol dan Portugal serta pelayaran modern di masa kini. Desainnya bagus, tahan
terhadap serangan badai, serta dilengkapi teknologi yang saat itu tergolong
canggih seperti kompas magnetik.
Mengubah Peta Pelayaran Dunia Dalam
Ming Shi (Sejarah Dinasti Ming) tak terdapat banyak keterangan yang menyinggung
tentang asal-usul Cheng Ho. Cuma disebutkan bahwa dia berasal dari Provinsi
Yunnan, dikenal sebagai kasim (abdi) San Bao.
Nama itu dalam dialek
Fujian biasa diucapkan San Po, Sam Poo, atau Sam Po. Sumber lain menyebutkan, Ma
He (nama kecil Cheng Ho) yang lahir tahun Hong Wu ke-4 (1371 M) merupakan anak
ke-2 pasangan Ma Hazhi dan Wen. Saat Ma He berumur 12 tahun, Yunnan yang
dikuasai Dinasti Yuan direbut oleh Dinasti Ming.
Para pemuda ditawan,
bahkan dikebiri, lalu dibawa ke Nanjing untuk dijadikan kasim istana. Tak
terkecuali Cheng Ho yang diabdikan kepada Raja Zhu Di di istana Beiping (kini
Beijing).
Di depan Zhu Di, kasim San Bao berhasil menunjukkan kehebatan
dan keberaniannya. Misalnya saat memimpin anak buahnya dalam serangan militer
melawan Kaisar Zhu Yunwen (Dinasti Ming). Abdi yang berpostur tinggi besar dan
bermuka lebar ini tampak begitu gagah melibas lawan-lawannya. Akhirnya Zhu Di
berhasil merebut tahta kaisar.
Ketika kaisar mencanangkan program
pengembalian kejayaan Tiongkok yang merosot akibat kejatuhan Dinasti Mongol
(1368), Cheng Ho menawarkan diri untuk mengadakan muhibah ke berbagai penjuru
negeri. Kaisar sempat kaget sekaligus terharu mendengar permintaan yang
tergolong nekad itu. Bagaimana tidak, amanah itu harus dilakukan dengan
mengarungi samudera. Namun karena yang hendak menjalani adalah orang yang
dikenal berani, kaisar oke saja.
Berangkatlah armada Tiongkok di bawah
komando Cheng Ho (1405). Terlebih dahulu rombongan besar itu menunaikan shalat
di sebuah masjid tua di kota Quanzhou (Provinsi Fujian). Pelayaran pertama ini
mampu mencapai wilayah Asia Tenggara (Semenanjung Malaya, Sumatera, dan Jawa).
Tahun 1407-1409 berangkat lagi dalam ekspedisi kedua.
Ekspedisi ketiga
dilakukan 1409-1411. Ketiga ekspedisi tersebut menjangkau India dan Srilanka.
Tahun 1413-1415 kembali melaksanakan ekspedisi, kali ini mencapai Aden, Teluk
Persia, dan Mogadishu (Afrika Timur). Jalur ini diulang kembali pada ekspedisi
kelima (1417-1419) dan keenam (1421-1422). Ekspedisi terakhir (1431-1433)
berhasil mencapai Laut Merah.
Pelayaran luar biasa itu menghasilkan buku
Zheng He's Navigation Map yang mampu mengubah peta navigasi dunia sampai abad
ke-15. Dalam buku ini terdapat 24 peta navigasi mengenai arah pelayaran, jarak
di lautan, dan berbagai pelabuhan. Jalur perdagangan Tiongkok berubah, tidak
sekadar bertumpu pada 'Jalur Sutera' antara Beijing-Bukhara.
Dalam
mengarungi samudera, Cheng Ho mampu mengorganisir armada dengan rapi.
Kapal-kapalnya terdiri atas atas kapal pusaka (induk), kapal kuda (mengangkut
barang-barang dan kuda), kapal penempur, kapal bahan makanan, dan kapal duduk
(kapal komando), plus kapal-kapal pembantu. Awak kapalnya ada yang bertugas di
bagian komando, teknis navigasi, militer, dan logistik.
Berbeda dengan
bahariwan Eropa yang berbekal semangat imperialis, Armada raksasa ini tak pernah
serakah menduduki tempat-tempat yang disinggahi. Mereka hanya mempropagandakan
kejayaan Dinasti Ming, menyebarluaskan pengaruh politik ke negeri asing, serta
mendorong perniagaan Tiongkok. Dalam majalah Star Weekly HAMKA pernah menulis,
"Senjata alat pembunuh tidak banyak dalam kapal itu, yang banyak adalah 'senjata
budi' yang akan dipersembahkan kepada raja-raja yang
diziarahi."
Sementara sejarawan Jeanette Mirsky menyatakan, tujuan
ekspedisi itu adalah memperkenalkan dan mengangkat prestise Dinasti Ming ke
seluruh dunia. Maksudnya agar negara-negara lain mengakui kebesaran Kaisar
Tiongkok sebagai The Son of Heaven (Putra Dewata). Bukan berarti armada
tempurnya tak pernah bertugas sama sekali.
Laksamana Cheng Ho pernah
memerintahkan tindakan militer untuk menyingkirkan kekuatan yang menghalangi
kegiatan perniagaan. Jadi bukan invasi atau ekspansi. Misalnya menumpas
gerombolan bajak laut Chen Zhuji di perairan Palembang, Sumatera (1407).
Dalam kurun waktu 1405-1433, Cheng Ho memang pernah singgah di Kepulauan
Nusantara selama tujuh kali. Ketika berkunjung ke Samudera Pasai, dia
menghadiahi lonceng raksasa Cakradonya kepada Sultan Aceh. Lonceng tersebut saat
ini tersimpan di Museum Banda Aceh. Tempat lain di Sumatera yang dikunjungi
adalah Palembang dan Bangka.
Selanjutnya mampir di Pelabuhan Bintang Mas
(kini Tanjung Priok). Tahun 1415 mendarat di Muara Jati (Cirebon). Beberapa
cindera mata khas Tiongkok dipersembahkan kepada Sultan Cirebon. Sebuah piring
bertuliskan Ayat Kursi saat ini masih tersimpan baik di Kraton Kasepuhan
Cirebon.
Ketika menyusuri Laut Jawa, Wang Jinghong (orang kedua dalam
armada itu) sakit keras. Sauh segera dilempar di pantai Simongan, Semarang.
Mereka tinggal di sebuah goa, sebagian lagi membuat pondokan. Wang yang kini
dikenal dengan sebutan Kiai Jurumudi Dampo Awang, akhirnya menetap dan menjadi
cikal bakal keberadaan warga Tionghoa di sana. Wang juga mengabadikan Cheng Ho
menjadi sebuah patung (disebut Mbah Ledakar Juragan Dampo Awang Sam Po Kong),
serta membangun kelenteng Sam Po Kong atau Gedung Batu.
Perjalanan
dilanjutkan ke Tuban (Jatim). Kepada warga pribumi, Cheng Ho mengajarkan
tatacara pertanian, peternakan, pertukangan, dan perikanan.
Hal yang sama
juga dilakukan sewaktu singgah di Gresik. Lawatan dilanjutkan ke Surabaya. Pas
hari Jumat, dan Cheng Ho mendapat kehormatan menyampaikan khotbah di hadapan
warga Surabaya yang jumlahnya mencapai ratusan orang. Kunjungan dilanjutkan ke
Mojokerto yang saat itu menjadi pusat Kerajaan Majapahit.
Di kraton,
Raja Majapahit, Wikramawardhana, berkenan mengadakan audiensi dengan rombongan
bahariwan Tiongkok ini.
Muslim Taat Sebagai orang Hui (etnis di Tiongkok
yang identik dengan Muslim) Cheng Ho sudah memeluk agama Islam sejak lahir.
Kakeknya seorang haji. Ayahnya, Ma Hazhi, juga sudah menunaikan rukun Islam
kelima itu. Menurut Hembing Wijayakusuma, nama hazhi dalam bahasa Mandarin
memang mengacu pada kata 'haji'.
Bulan Ramadhan adalah masa yang sangat
ditunggu-tunggu Cheng Ho. Pada tanggal 7 Desember 1411 sesudah pelayarannya yang
ke-3, pejabat di istana Beijing ini menyempatkan mudik ke kampungnya, Kunyang,
untuk berziarah ke makam sang ayah. Ketika Ramadhan tiba, Cheng Ho memilih
berpuasa di kampungnya yang senantiasa semarak. Dia tenggelam dalam kegiatan
keagamaan sampai Idul Fitri tiba.
Setiap kali berlayar, banyak awak
kapal beragama Islam yang turut serta. Sebelum melaut, mereka melaksanakan
shalat jamaah. Beberapa tokoh Muslim yang pernah ikut adalah Ma Huan, Guo
Chongli, Fei Xin, Hassan, Sha'ban, dan Pu Heri. "Kapal-kapalnya diisi dengan
prajurit yang kebanyakan terdiri atas orang Islam," tulis HAMKA.
Ma Huan
dan Guo Chongli yang fasih berbahasa Arab dan Persia, bertugas sebagai
penerjemah. Sedangkan Hassan yang juga pimpinan Masjid Tang Shi di Xian
(Provinsi Shan Xi), berperan mempererat hubungan diplomasi Tiongkok dengan
negeri-negeri Islam. Hassan juga bertugas memimpin kegiatan-kegiatan keagamaan
dalam rombongan ekspedisi, misalnya dalam melaksanakan penguburan jenazah di
laut atau memimpin shalat hajat ketika armadanya diserang badai.
Kemakmuran masjid juga tak pernah dilupakan Cheng Ho. Tahun 1413 dia
merenovasi Masjid Qinging (timur laut Kabupaten Xian). Tahun 1430 memugar Masjid
San San di Nanjing yang rusak karena terbakar. Pemugaran masjid mendapat bantuan
langsung dari kaisar.
Beberapa sejarawan meyakini bahwa petualang sejati
ini sudah menunaikan ibadah haji. Memang tak ada catatan sejarah yang
membuktikan itu, tapi pelaksanaan haji kemungkinan dilakukan saat ekspedisi
terakhir (1431-1433). Saat itu rombongannya memang singgah di Jeddah.
Selama hidupnya Cheng Ho memang sering mengutarakan hasrat untuk pergi
haji sebagaimana kakek dan ayahnya. Obsesi ini bahkan terbawa sampai menjelang
ajalnya. Sampai-sampai ia mengutus Ma Huan pergi ke Mekah agar melukiskan Ka'bah
untuknya. Muslim pemberani ini meninggal pada tahun 1433 di Calicut (India),
dalam pelayaran terakhirnya. (shofy, pam/hidayatullah)
|
|